"Kehilangan" Komitmen?

Hari ini saya merasakan hal yang beda. Perasaan yang sama yang saya alami beberapa waktu yang lalu. Perasaan yang rumit. Antara ketakutan akan kehilangan, keharuan, dan pengharapan akan masa depan yang lebih cerah. Perasaan yang agak mustahil saya sampaikan langsung secara lisan kepada orang-orang yang saya "rasani".

Rabu sore itu, jadwal saya mengajar TPA. Sampai pukul empat sore, hanya ada dua ustadz senior dan dua asisten ustadz yang tampak. Tapi tetap saya pencet bel masuk. Baru sekitar sepuluh menit setelah pelajaran dimulai, tiga ustadz (satu di antaranya ustadzah) menampakkan dirinya. Tapi masih kurang. Biasanya ada satu ustadzah lagi, karena beliau bagian TU, yang jauh lebih intens berangkat ke TPA setiap hari, ketimbang saya yang cuma berstatus ustadz thok. Sampai TPA ditutup jam 5 lebih 10 menit, beliau tak juga menampakkan diri. Prasangka baik saya, mungkin ada acara lain yang jauh lebih penting.

Selepas TPA, tiga orang di antara kami (seorang ustadz, seorang ustadzah, dan saya sendiri) melanjutkan program kami 2 hari yang lalu: berkeliling dari rumah ke rumah menjadi penarik donatur TPA, sekaligus memberitahukan bahwa ada pergantian "donation collector" (pengumpul bantuan dana) untuk bulan-bulan berikutnya, sehingga para dermawan tak merasa kaget dengan orang baru yang datang nantinya. Yaa, itungitung silaturrahmi juga, mendekatkan diri antara kami, pengurus TPA, dengan masyarakat sekitar. Selalu ada hikmah di kala menemui berbagai macam orang yang berbeda karakter. Tapi pada dasarnya mereka adalah sama, pendukung usaha syiar Islami.

Diselingi sholat Maghrib dan Isya’ berjamaah di masjid, kami terus melanjutkan silaturrahmi kami. Saat melewati dua rumah teman kami itulah, saya menyadari, ada hajatan yang sedang berlangsung. Dua rumah teman kami itu terpisah sekitar 200 meter. Tak terlalu kentara, tapi dari jumlah kendaraan bermotor yang mampir di depan rumah mereka, saya bisa menduga ada yang istimewa.

Belum lagi selentingan berita sewaktu Maghrib berjamaah tadi, ada beberapa bapak jamaah masjid yang diundang ke rumah teman kami selepas Isya’ nanti. Ada apa ini, kenapa tak semua orang diundang, kenapa dua rumah itu didatangi banyak tamu dalam waktu yang berbarengan, pertanyaan itu tiba-tiba berputar di langit benak saya.

Terbukalah semua ketika hal ini saya tanyakan ke ustadzah teman silaturrahmi kami, ketika kami sedang berada di ruang tamu salah satu rumah donatur, menunggu tuan rumah menemui kami. Dua teman kami ini, salah satu di antaranya adalah ustadzah yang sore itu tak berangkat ke TPA, sedang melangsungkan ijab qabul sirri mereka. Katanya lagi, walimatul ‘ursy-nya mungkin sekitar bulan April. Subhanallah.. Alhamdulillah.. Sungguh, saya tak mengira akan secepat ini.

Yang satu ustadzah pengurus TPA, aktivis kampung, yang satu lagi saat ini masih menjabat ketua remaja masjid, sudah bekerja…

Perasaan ini sama, seperti sebelum Ramadhan 1430 H lalu, ketika dua orang aktivis kampung kami menikah, juga Sya’ban setahun sebelumnya, lagi-lagi dua orang aktivis kampung kami sendiri. Ada kebahagiaan dan keharuan, tapi juga sedikit kekhawatiran.

Entah ini perasaan yang wajar atau tidak, tapi saya sering khawatir. Ketika mereka menikah, sementara regenerasi belumlah sempurna, kampung kami serasa kehilangan. Pernikahan sering membuat prioritas hidup seseorang berganti. Ada beberapa prioritas yang mungkin hanya bertukar posisi, tapi ada juga yang benar-benar dihilangkan. Terkadang, pertukaran prioritas ini harus merelakan pengorbanan yang bagi sebagian orang, mungkin sedikit mengecewakan, kalau mereka belum memahami.

Pengajar TPA kami semakin berkurang karena mereka yang menikah sudah sibuk atau terlalu lelah secara fisik untuk berangkat mengajar. Atau mungkin sebagian beranggapan mengajar TPA adalah untuk kami yang belum berkeluarga, yang belum merasakan mempunyai anak kecil sendiri. Hehe.. Aktivitas remaja masjid juga menjadi lebih sepi dari segi kehadiran peserta setiap acaranya. Terkadang, memang ada rasa iri muncul. Seolah mereka yang telah menikah, telah memiliki senjata justifikasi, membela diri dari tuntutan aktif di kampung. Tapi kami harus memahami dengan penuh prasangka baik, banyak faktor yang melatarbelakangi. Proses adaptasi sebuah keluarga baru tidaklah mudah. Menyatukan dua insan, sekaligus dua keluarga, dalam ikatan atas nama Allah, bukanlah perkara yang sepele. Belum lagi tuntutan nafkah keluarga, lahir dan batin.

Ada dilema bagi kami. Bagi remaja masjid yang sudah senior, kehadiran kami ternyata me"minder"kan anggota junior. Mereka merasa terlalu muda. Tapi tanpa kehadiran kami, tentu proses regenerasi yang masih berjalan ini jadi tak terpantau dengan baik. Sedangkan mengharapkan mereka yang sudah menikah untuk hadir kembali, rasa-rasanya juga susah. Selain mereka sendiri yang sudah merasa terlalu "tua", menjadi keluarga muda yang sibuk, kehadiran mereka juga akan semakin mengecilkan yang sudah kecil tadi. Dianggapnya nanti ini forum "remaja tua"… (emangnya ada istilah macam itu?) Akhirnya kami merelakan diri harus "kehilangan" teman-teman senior yang menikah, dengan sekuat tenaga berupaya tetap menghadirkan komitmen mendampingi teman-teman junior kami berkembang lebih baik.

Komitmen, itu yang lebih penting. Dan saya yakin, "kehilangan" sebenarnya pun bukan kata yang tepat. Dengan iman di hati kami, insya Allah, komitmen terhadap Islam tak akan hilang, di mana pun kami berkiprah. Kabar gembiranya, pasangan baru kami ini masih berkomitmen untuk membantu kami. Di TPA, dan di remaja masjid. Insya Allah, kami akan terus berjuang. Ya Allah, ikhlashkan dan istiqomahkan hati kami. Sehingga, ketika kami berkeluarga, itu memang dilakukan untuk menambah rasa syukur kami dan rasa cinta kami terhadap-Mu…. bukan semata nafsu…

Robbii au zi’nii an asykuro ni’matakallatii an’amta ‘alayya, wa ‘alaa waalidayya, wa an a’malaa shoolihan tardloohu, wa adkhlini, bi rohmatika, fii ‘ibaadikash shoolihiin…

"Barokallohu laka wa baroka ‘alaika, wa jama’a bainakumaa fii khoir.."

-fadhlijauhari- 4 Maret 2010