Motor dan Pergi Haji

Diberikan kesempatan untuk kembali bersama dan dekat dengan beliau, adalah sebuah anugerah indah dalam hidup saya. Setelah tujuh tahun terpisah oleh jarak empat belas jam perjalanan darat, saya kembali disatukan dalam sebuah rumah. Ya! Rumah yang menurut saya adalah surga. Rumah yang selalu dihiasi oleh saling menasehati di antara penghuninya. Rumah yang tentram karena ada begitu banyak limpahan cinta di dalamnya. Rumah yang sama, di mana saya dirawat dan dibesarkan dengan kasih sayang berlebih, sejak kecil hingga usia saya menginjak 24 tahun. Selama itu pula saya tak pernah berpisah dengan beliau. Hingga tiba saat bagi saya untuk menjalani hidup saya sendiri, mandiri, tanpa kehadiran beliau lagi di samping saya. Seperti saat ini.

***
Bapak. Adalah sosok yang selalu mengagumkan buat saya. Tulisan ini saya buat bukan berarti mengabaikan Ibu. Karena perempuan paruh baya yang masih nampak muda itu juga seorang yang tak kalah mencengangkan, dengan perhatian dan cintanya. Namun izinkan saya menceritakan pengalaman saya bersama Bapak, di sebuah petang di beranda rumah kami, dua bulan lalu.

Lelaki enam puluh tahun itu sedang duduk di kursinya. Hmm… kursi plastik kecil berwarna biru yang bergambar ikan di sandarannya, diklaim sebagai kursi beliau. Tempat beliau menghabiskan waktu luang, dengan rokok di tangan. Jarang memang beliau duduk di kursi itu, karena sebagian besar waktu beliau digunakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Uthek, orang jawa bilang. Atau selalu sibuk. Tak pernah diam. Selalu ada yang dikerjakan. Jika tidak, beliau pasti berada di tempat sholat, mengaji. Satu mushaf kadang dikhatamkan dalam waktu tak kurang dari tiga hari saja. Subhannallah! Sementara saya, jika bukan Ramadhan, tiga bulan sudah menjadi rekor.

Dan petang itu. Sebuah tema perbincangan memaksa air mata haru saya keluar tiba-tiba. Pembicaraan seputar motor beliau yang tangguh, berlanjut kepada masalah pergi haji.

“Kalau saja ada orang yang mau memberikan biaya bensin, mengganti ban serta servis motor, Bapak mau Nduk pergi haji pake motor, ” kata beliau dengan mata menerawang dan bibir tersenyum.

Wajah Bapak tidak menampakkan tanda-tanda bercanda seperti biasanya. Itu berarti beliau serius.

“Kata Mas Anto, Bapak bisa mengajukan proposal kepada perusahaan yang membuat motor ini. Nanti bisa dipertimbangkan untuk diluluskan atau tidak. Iya ya Nduk?” Bapak melanjutkan dengan pertanyaan.

Saya belum menanggapi. Karena kerongkongan tercekat oleh pernyataan beliau yang pertama. Lalu saya pun mengangguk. Mata berkaca-kaca, batin merintih.

Duh Rabb… sebegitu besar niat beliau untuk berkunjung ke Rumah-Mu di Tanah Suci. Saya yakin, beliau paham benar bahwa pergi haji adalah rukun Islam kelima yang wajib dilakukan jika mampu. Dan Bapak, adalah seorang pensiunan pegawai negeri, yang saya sendiri yakin seratus persen, belum mempunyai tabungan sebesar biaya pergi haji termurah sekali pun.

Harusnya saya yang bertanggung jawab atas semua ini, Rabb… Semestinya saya yang bisa membahagiakan beliau dengan berita rencana keberangkatan ke Makkah.

Nyatanya, hingga saat ini, semua itu hanyalah sebuah angan saja buat saya. Hanya menjadi bait-bait doa yang selalu hamba panjatkan kepada-Mu setiap sholat lima waktu habis hamba tunaikan.

Seorang ustadz tempat saya mengaji pernah bilang, bahwa untuk bisa diundang Allah ke rumah-Nya, kita harusnya mendaftar. Seberapa pun bukan masalah, yang penting dimulai. Diniatkan dengan kuat, insyaAllah kemudahan itu akan datang. Seperti pengalaman pribadi Pak Ustadz, yang bermodalkan seratus ribu rupiah, selanjutnya malah berulang kali pergi haji.

Faktanya, saya sama sekali belum melaksanakan nasehat Ustadz tersebut. Saya masih sibuk dengan urusan pribadi rumah tangga saya. Masih sibuk dengan urusan perut kami dan pendidikan putra saya.

Rabb… maafkan hamba. Kini kembali izinkan hamba bermohon kepada-Mu… Mudahkan orang tua kami untuk berkunjung ke Baitullah, Ke rumah-Mu Ya Tuhanku Yang Pemurah. Jika mungkin, izinkan kami menjadi perantara itu. Atau, berikanlah yang terbaik menurut pengetahuan-Mu… aamiiin…

Doa itu saya panjatkan diam-diam di sela kalimat Bapak yang terus mengalir tentang motor dan pergi haji. Sebuah azzam pun saya tancapkan dalam hati untuk terus berikhtiar agar Bapak, Ibu dan juga Ibu Mertua saya, dapat pergi haji tanpa harus naik motor.

Semoga, Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Berkuasa, berkenan memperhatikan azzam saya dan memberikan petunjuk-Nya buat saya, aamiiin.

Ummu Thariq & Zaki: malam hari di Kolej Perdana, ketika wajah Bapak terbayang