Jalan Panjang Menuju Kecerdasan dan Kemandirian

Mentari telah naik sepenggalah di pagi itu, ketika para peserta Islamic Book Fair tengah men-display barang-barang di stand mereka dalam rangka menyambut pengunjung yang diperkirakan mencapai puncaknya pada dua hari terakhir di akhir pekan itu. Rona cerah memancar di masing-masing wajah mereka. Mereka begitu berharap omset di akhir pekan itu bisa menutupi omset di hari-hari biasa yang tidak begitu memuaskan. Agaknya, jumlah pengunjung Islamic Book Fair tahun ini berkurang dibanding tahun sebelumnya. Banyak faktor tentu saja. Salah satunya adalah daya beli mereka yang makin menurun akibat krisis yang kian mendera hingga kini. Sehingga akibatnya, kebutuhan akan buku atau multiproduk muslim pun dibatasi pemenuhannya.

Pagi itu saya hadir sekitar pukul 09.30 di arena pameran bertajuk “Membangun Generasi Islami, Cerdas dan Mandiri”. Ketika saya datang, saya menyaksikan pelataran parkir telah penuh dengan barisan dan deretan mobil-mobil pengunjung. Fenomena di hari itu sangat beda dibanding dengan hari-hari biasa. Dari kejauhan, nampak kerumunan pengunjung memadati pintu utama masuk arena dan terbentuk antrian yang cukup panjang. Saking panjangnya, ada sebagian dari mereka yang akhirnya memilih antri masuk di lantai 2, yaitu di stand non-buku. Pertimbangan mereka barangkali, biarlah mereka berkeliling terlebih dahulu di stand non-buku itu, belanja-belanja busana muslimah dan barang-barang multi produk, kemudian turun ke lantai 1 setelah situasi pengunjung tidak begitu padat. Pukul 10.00 adalah saat pameran buku terbesar itu dibuka untuk umum.

Saya yang menyewa stand di lantai 2, setelah parkir, langsung menuju ke arena pameran dengan memakai bagde tanda peserta sehingga bisa diperkenankan masuk di tengah kerumunan yang ada. Saya membawakan nasi dan lauk-pauk buat sarapan, buah, dan beberapa cemilan untuk penjaga stand kami. Mereka semalaman menginap di sana sebab andai mereka pulang di malam hari dan pergi kembali esok harinya, tenaga mereka akan terkuras dan belum tentu mereka akan bisa datang tepat waktu di tengah situasi Jakarta yang macet di mana-mana. Selain membawa makanan dan minuman, saya juga membawakan stock barang laku untuk didisplay memenuhi stock yang berkurang.

Pukul 10.00 ketika arena dibuka, para pengunjung mulai mendatangi stand-stand secara bergelombang, termasuk di stand kami. Dari arus masuk pengunjung yang hilir-mudik, kami bisa memprediksi bahwa arena pameran untuk dua hari terakhir ini bakal penuh dengan pembeli potensial.

Menjelang pukul 12.00, ada seorang ibu (sudah separuh baya) mengunjungi stand kami. Nampak berdiri di seberang stand, seorang lelaki berkacamata menunggu sang ibu sambil menenteng tas besar berisi buku-buku hasil belanjaan di lantai 1. Saya perhatikan logat bahasa yang dipakai sang ibu ketika berbicara dengan pramuniaga kami adalah logat Malaysia. Ketika seorang lelaki itu mendekat karena dimintai pertimbangan oleh sang ibu tentang mana yang harus dipilih, saya pun mengkonfirmasi. Dan benar bahwa mereka berasal dari Malaysia.

Jika mereka datang dari suatu sudut di Jakarta, bagi saya bukanlah hal yang aneh karena banyak warga negara Malaysia yang tinggal di Jakarta ini. Jika mereka datang karena sekedar mampir karena bertepatan dengan kunjungan bisnis atau seminar bisnis/organisasi, bagi saya bukanlah hal yang aneh karena cukup banyak warga negara Malaysia yang melakukan hal itu.

Kali ini, yang membuat saya kagum adalah mereka SENGAJA menyempatkan diri datang langsung dari Malaysia untuk membeli buku-buku di arena Islamic Book Fair. Ya, mereka langsung terbang menggunakan pesawat komersial di pagi hari. Boleh jadi mereka punya sejawat yang ingin disinggahi. Namun tujuan utama mereka adalah berbelanja buku di arena Islamic Book Fair ini.

Karena kekaguman itu, pikiran saya segera menerawang ke zaman keemasan Islam, di mana buku-buku dan manuskip menjadi khazanah (harta berharga) muslim pada masa itu. Pikiran saya juga menerawang kepada tradisi para salafus saleh yang gigih menimba ilmu dari sang guru, meski harus menempuh perjalanan ratusan mil bahkan ribuan. Dan yang paling lekat adalah bayangan bagaimana para sahabat dulu yang selalu aktif berinteraksi dengan Al Quran, sebagai buku rujukan utama mereka.

Nampaknya, simbol-simbol kejayaan Islam terpancar dari sana. Dari aktivitas membaca, yang memang sudah diwahyukan sebagai aktivitas awal pembuka kecerahan ummat manusia. (QS Al ‘Alaq 96: 1-5). Dari kecintaan, semangat dan kegigihan dalam membaca dan menimba ilmu, pikiran mereka menjadi tercerahkan. Amaliyah mereka pun terpatri dengan sempurna dan mereka mengukir prestasi menjadi ummat terbaik di masa itu (QS Al Imran 3: 110). Subhanallah.

Saya coba menoleh kepada kondisi ummat dan bangsa ini. Apakah sudah bisa dikatakan “cerdas dan mandiri” sebagaimana slogan Islamic Book Fair itu?

Jika cerdas, kenapa mudah terjebak dengan urusan debat-mendebat dibanding harus berkarya nyata untuk perbaikan ummat? Lihatlah Singapura. Dia bukan negara muslim. Di sana juga tidak ada perdebatan masalah haram atau tidaknya merokok seintensif di sini. Namun pemerintahnya langsung action membatasi jumlah peredaran rokok dan membatasi aktivitas merokok. Merokok boleh dilakukan, jika dan hanya jika dilakukan ditempat-tempat yang ditentukan. Sangsi tegas diberlakukan jika aturan ini dilanggar.

Mereka lebih mudah belajar dari kita. Mereka lebih cerdas akan bahaya rokok. Dan mereka pun lebih cerdas secara finansial, sebab mereka telah berhitung bahwa dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat rokok sangat tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Iming-iming cukai yang besar pun tidak menggoyahkan pendirian mereka yang tercerahkan. Mereka pun tidak kurang kreatif menciptakan lapangan-lapangan kerja untuk rakyatnya tanpa harus khawatir mereka yang ingin berhenti dari menjadi buruh pabrik rokok, tidak akan memperoleh pekerjaan pengganti di sektor lain. Semua mungkin kerena adanya kemauan (willingness) dan kebijaksanaan (wisdom) pemerintah.

Apakah ummat dan bangsa ini sudah mandiri? Jika mandiri, kenapa bangsa ini begitu tergantung dengan dan mudah ditekan oleh negara asing? Kekayaan minyak adalah ibarat lumbung padi dan sumber rezeki untuk mencukupi kebutuhan rakyat sehingga tidak ada satu pun rakyat yang mengalami kelaparan, kenapa 90%-nya diserahkan pengelolaannya kepada asing dan mereka yang mendapat manfaat terbesar dari pemiliknya?

Aset strategis kenapa dijual ke asing? Bukankah pendahulu di negeri ini telah memperjuangkannya dengan susah payah semata-mata demi kemandirian bangsa? Banyak pertanyaan berkait dengan keraguan kita akan kemandirian bangsa ini. Fakta-fakta yang ada dan makin kelihatan adalah betapa negeri ini tidak kuasa melawan kekuatan “tersembunyi” yang rasanya mencengkram kuat di semua lini kehidupan.

Jalan perjuangan penyeru kebaikan agaknya terbentang hingga ratusan tahun ke depan untuk mencapai kecerdasan dan kemandirian dari ummat dan bangsa ini. Kita tidak berharap menjadi ashabul kahfi yang telah ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun, kemudian menyaksikan bahwa negerinya telah menjadi negeri yang makmur dan diperintah oleh raja yang adil. Kita diperintah untuk bersabar, bersabar, dan bersabar. Kelak, bagi mereka yang sabar, ketika dibangkitkan dari tidur panjangnya (mati) dan setelah melewati berbagai tahapan penghisaban, mereka akan menyaksikan sebuah negeri yang jauh lebih makmur dan sejahtera, yakni negeri surga.

Apa upaya kita untuk menuju kecerdasan dan kemandirian? Hal kecil yang bisa dilakukan adalah mencontoh sepasang ibu-bapak yang datang dari Malaysia itu. Cintailah ilmu. Dan sumber inspirasi terbesar dari segala ilmu adalah Al Quran.
Generasi sahabat telah membuktikan. Interaksi mereka yang kuat dengan Al Quran melahirkan kecerdasan dan kemandirian. Mereka cerdas menafsiran kemauan Allah SWT dan mempraktekkannya secara paripurna dalam kehidupan. Mereka mandiri berkat kepiawaian dalam berbisnis sehingga mampu menginfakkan banyak harta mereka untuk kemuliaan ummat. Sementara mereka yang diberi kepercayaan sebagai penyelenggara negara, mereka sangat amanah menjaga harta ummat dari berpindah ke tangan yang tidak berhak dan memanfaatkannya dengan adil hanya untuk kepentingan ummat.

Tidakkah kita ingin mencontoh mereka? Wallahua’lam bishshawab.

muhammadrizqon.multiply.com