Rapuhnya Manusia dan Perlindungan-Nya

Terpaan arus fitnah saat ini yang cukup deras, membuat seorang ibu bernama Nur diliputi rasa resah, gelisah, dan gamang akan nasib anak-anaknya di hari depan.

“Bi, kayaknya kita mesti membuat rencana dech, anak-anak kita mau di sekolahin dimana kelak. Kondisi lingkungan makin tidak kondusif dengan perkembangan jiwa anak. Jika anak kita kurang pendidikan agamanya, khawatir terjerumus ke pergaulan yang tidak baik…”

Abi yang ditanya mengiyakan dengan perasaan biasa saja, seakan tidak ada kekhawatiran sebagaimana di alami isterinya. Dia sudah bisa menebak keinginan isterinya, yaitu menyekolahkan anak ke sekolah/pesantren Islam terpadu yang akan cukup menyedot keuangan rumah tangga.

Di lain waktu, sang isteri khawatir ketika anaknya sudah mulai suka berkunjung ke warnet. Masalahnya bukan tidak percaya bahwa sang anak hanya akan membuka konten-konten yang baik sesuai petuahnya, akan tetapi sang isteri khawatir dengan pengunjung-pengunjung dewasa yang bisa saja memiliki niat jahat menjerumuskan anak-anak dengan tayangan video asusila atau Narkoba. Demi menjaga kemungkinan buruk, Sang Abi pun pada akhirnya berlangganan internet di rumah agar akses anak ke internet bisa dikontrol dan tidak harus berbaur dengan komunitas yang tidak jelas.

Saat menonton TV pun, seringkali Ibu Nur khawatir dengan tayangan-tayangan yang selalu saja dirasa ada efek negatifnya buat anak. Jika sudah demikian, mulailah dia berteriak:

“Ganti Nak..! Ganti berita saja..!” atau dia mengatakan,”Nak, itu kan tontonan orang dewasa, cari yang lain dech..!”

Terkadang, setelah bolak-balik memindah channel, saking bingungnya karena tidak ada tayangan yang pas, pada akhirnya dia berkata, “Nak, itu ngga bagus! Ayo matikan saja! Sudah ga ada yang bagus!”

Di lingkungan sekitar pun, kondisi real tidak kalah dahsyat dengan kondisi di TV. Pacaran sudah membudaya, di jalan sering berseliweran gadis-gadis dengan rok mini dan tampilan menggoda, banyak anak yang kena Narkoba, banyak gadis-gadis yang hamil di luar nikah, sedikit sekali remaja/orang tua yang sholat lima waktu, sedikit sekali yang bisa baca Qur’an dan…ah rasanya banyak sekali realita yang jauh dari kondisi normatifnya. Wajar rasanya seorang ibu yang menaruh peduli seperti Ibu Nur, bergejolak batinnya, seakan berada di penjara keburukan yang menyesakkan nuraninya.

Adakah harapan di tengah keputusasaan seperti itu? Jika dipikir, sungguh amat berat kondisi dirasa saat ini. Nabi Muhammad SAW dulu menempuh cara hijrah ke lokasi yang kondusif bagi perkembangan dakwah dan memungkinan beliau dan ummatnya berada dalam kondisi yang lebih baik. Apakah keluarga Ibu Nur harus berhijrah pula? Ke mana? Untuk hijrah ke kampung pun bukanlah jaminan bahwa sang anak akan mendapatkan pendidikan yang bagus. Kemaksiyatan sudah menyebar ke penjuru negeri. Dengan era informasi, dominasi pengetahuan tidak hanya berada di kota, tetapi merata sampai ke daerah-daerah. Bahkan boleh jadi mereka yang di kampung lebih tahu kondisi tertentu dibanding masyarakat kota.

Ataukah harus mengirim anak ke pesantren yang mana akses internetnya di batasi atau pihak pesantren melarang anak didik menjalin pertemanan di dunia maya? Ah apakah itu jaminan? Sebagai upaya boleh saja hal itu dijadikan alternatif. Namun bila mengingat anak tetangga yang dulunya di pesantren baik banget namun setelah keluar jadi tidak terkontrol, ibu Nur menjadi gamang . Jadi mesti bagaimana?

***

Musibah tsunami di Jepang cukup memberikan pelajaran baginya. Jepang adalah negara yang cukup expert dalam hal mengantisipasi dampak gempa dan tsunami. Namun toh serangan tsunami pasca gempa dengan skala 8,8 SR tanggal 11 Maret 2011 lalu, mampu memporak porandakan kota Miyagi dan mengancam reaktor nuklir Fukushima. Ribuan korban berjatuhan dan banyak harta benda yang musnah binasa. Jepang yang perkasa ternyata bisa terkena dampak gempa dan tsunami juga…begitulah pikir sebagian orang.

Berita-berita politik dalam negeri pun cukup memberikan pelajaran, siapa sangka bahwa ternyata tokoh-tokoh yang selama ini dikenal superior dan gentlemen, ternyata terjerembab dalam lembah kenistaan.

Hikmah yang bisa dipetik adalah bahwa musibah, kecelakaan, kenistaan, keterjerembaban, kesalahan, kelalaian, kekurangan, dan segala atribut negatif lainnya, adalah KENISCAYAAN bagi manusia karenahakikat manusia adalah penuh dengan kelemahan dan kerapuhan. Hanya dengan pertolongan Allah SWT manusia menjadi kuat dan selamat. Jepang tetaplah lemah, kehendak Allah lah yang bisa menjadikan jepang tetap superior. Politisi dan pejabat publik tetaplah manusia yang lemah dan rapuh. Manakala Allah dilupakan dan syariatnya dilanggar, maka Allah pun tidak lagi memberikan perlindungan-Nya sehingga dia pun terjerembab.

Berkait dengan kegamangan akan nasib anak di masa depan, kita selaku orang tua maupun guru, tetaplah manusia yang lemah dan rapuh.Pemilihan sistem pendidikan adalah upaya yang sifatnya kondisional. Sistem pendidikan dari orang tua adalah sumbernya. Dan jika ditelusur adalah bersumber dari wahyu Ilahi dan teladan nabi sebagai kurikulumnya. Orang tua sebagai guru utama hendaknya berjalan sesuai dengan sumber itu.

Namun jika mereka melupakan Allah, bisa jadi Allah tidak memberikan perlindungan dari terpaan fitnah yang amat deras. Terlibatnya anak dalam pergaulan bebas, anak susah diatur, anak terlibat Narkoba, anak perperilaku buruk, adalah sebagian bukti bahwa perlindungan Allah SWT lepas dari genggaman mereka.

***

suatu ketika Ibu Nur bertemu dengan ibu Nunik dan terjadilah percakapan diantara keduanya,

“Mba, anak-anak disekolahin dimana?” Tanya ibu Nur.

“Anak-anak saya semua sekolah di negeri Mba Nur.”

“Mba Nunik ngga khawatir bahwa pendidikan di negeri itu sangat kurang, gurunya kurang kontrol?”

“Kalau saya sih, pendidikan di mana pun sama saja. Semua akan berpulang ke pendidikan orang tuanya di rumah. Jadi ya kita mesti mengimbanginya. Jika kurang pendidikan Quran, kita ajari anak kita dengan Quran. Jika kurang agamanya, ya kita didik dia agamanya, jika kurang mandiri ya kita latih kemandirian dia di rumah.”

Apa yang dilontarkan ibu Nunik itu adalah sebagian dari penjabaran dari pepatah Al Umm Al Madrasatun (seorang ibu adalah sekolah bagi anaknya). Sangat sedikit ibu yang memiliki pemikiran seperti itu.

Menyekolahkan anak ke sekolah yang bagus adalah salah satu upaya dan boleh-boleh saja. Bahkan jika orang tua memiliki dana lebih, sudah selayaknya mengupayakannya ke sana. Namun fokus dan tumpuan harapan hendaklah tetap dibebankan kepada ibu (orang tua). Dari ibulah lahir generasi yang selamat, terutama bagi ibu yang ikhlas dan bisa memberikan teladan yang baik. Ibu yang berjiwa Ikhlas sangat menyadari dan sadar sepenuhnya bahwa hitam putihnya sang anak adalah dalam genggaman-Nya. Oleh karenanya seorang ibu (orang tua) pantang berhenti berdoa, bermohon, berlindung, dan berharap dibalik ikhtiarnya yang sempurna. Setitik kesombongan dan kelalaian bisa menjerumuskan nasib sang anak menuju kehancuran.Pertanyaan yang relevan, sudah sekuat apakah orang tua dengan tulus memohon perlindungan-Nya?

Ikhlas menolong agama Allah, merendahkan diri dihadapan-Nya dengan doa-doa perlindungan, dan menjadikan Allah SWT sebagai sumber kekuatan, adalah sebagian dari jalan-jalan menuju keselamatan.

Semoga Allah menyelamatkan kita dari musibah dan fitnah yang membinasakan. Semoga Allah menunjukkan jalan agar kita selalu memohon perlindungan-Nya. Wallahua’lam

muhammadrizqon.multiply.com