Rezeki itu Domainnya Allah

Kiki, begitulah teman-teman sering memanggilnya. Nama yang berkesan feminim. Namun sejatinya kontras dengan postur dirinya yang tinggi dan tegap. Ya, Kiki sahabatku itu seorang lelaki. Pandai bela diri dan bicaranya selalu berapi-api.

Saya cukup terkejut ketika mendengar kabar bahwa dia sedang tidak punya pekerjaan (jobless) saat itu. Ada konflik antara dia dan atasannya sehingga memaksa dirinya mundur dari pekerjaannya.

Saat-saat pertama keluar dari pekerjaan, barangkali belum begitu berat dirasakannya. Dia menerima hal itu sebagai kenyataan hidup yang harus disabari dan optimis akan ada pekerjaan pengganti karena ia memiliki sahabat-sahabat yang baik. Namun ketika makin hari pekerjaan baru yang didamba itu tidak kunjung datang, maka hatinya pun mulai merasa resah dan gelisah.

Bagaimana tidak? Dia hidup menumpang di rumah mertua. Isterinya bekerja sedang dirinya menganggur. Sementara, kebutuhan diri dan keluarganya belum bisa dipenuhi dari penghasilan isterinya. Mau tidak mau mertuanya turut membantu. Kondisinya makin memprihatinkan.

Berbagai jalan pernah kami tempuh (selaku sahabatnya) untuk menolongnya keluar dari krisis keuangan keluarga. Abdullah, memperkerjakan dia sebagai sopir mobil rental yang dikelolanya. Tentu saja, penghasilan dari sini tidak menentu tergantung kebutuhan orang akan sopir. Faruq, memberikan infaq setiap bulan untuk sekedar membantu menutupi kebutuhannya. Dan kami, selaku sahabat lainnya, berusaha berpatungan memberi modal kerja untuk usaha baru sebagai upaya menutupi kebutuhannya yang kian bertambah dan sebagai alternatif jalan sebelum mendapat pekerjaan yang lebih baik .

Harapan baru datang dari Warta. Dia memperkerjakannya sebagai pegawai perusahaan relasinya dengan gaji awal cukup memadai setiap bulan. Sayangnya dia tidak bertahan lama di sana. Dia terlibat konflik lagi dengan atasan langsungnya. Dia sudah dinasehati agar memperbaiki sikapnya. Namun agaknya dia belum bisa mengendalikan jiwanya yang keras. Akhirnya, demi menjaga profesionalitas, Warta tidak memperpanjang pekerjaan dan tidak memiliki alasan untuk mempertahankannya.

Kami sering bermusyawarah dan menganalis. Problema yang dihadapinya sebenarnya bermula dari jiwanya yang masih labil dan sulit dikendalikan. Dengan kondisi jiwa seperti itu, sulitlah dia akan mengalami perubahan positif. Maha benar Allah yang telah berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS 13 Ar Ra’d :11).

Langkah selanjutnya, sahabat-sahabatnya pun mulai menjaga jarak. Maksud mereka agar dia makin intropeksi dengan kondisi dirinya. Jika dia tidak merubah perilakunya, maka akan sulit rasanya dia akan bekerja di tempat manapun. Selalu akan timbul konflik. Dan jika dia tidak merubah perilakunya, maka lama-lama sahabat-sahabatnya pun akan bosan membantu dan mempercayainya.

***

Lama sudah saya tidak berinteraksi dengannya. Hingga datang suatu kabar bahwa dia akan menunaikan umroh bersama isteri dan anaknya. Ini adalah berita menggemberakan sekaligus mengherankan (surprise). Bagaimana dia bisa membiayai umroh dengan kondisi hidupnya yang pas-pasan?

Sahabat-sahabatnya termasuk saya mengucapkan selamat atas keberuntungannya. Ketika ditanya, “Ki, bagaimana kamu bisa begitu?” maksudnya adalah sahabat ingin mengetahui duduk perkara (kronologi)nya sehingga bisa mengambil hikmah darinya.
Adakah lembaga baru dimana dia bekerja memberi kesempatan dia dan keluarga untuk umroh? Atau adakah dia memiliki prestasi tertentu sehingga lembaga/orang memberi kesempatan untuk berumroh?

Dari sikap dan kondisinya dahulu, rasanya sulit baginya untuk itu. Jangankan berkesempatan mendapatkan umroh gratis, mendapatkan pekerjaan baru atau kepercayaan baru pun susah. Namun kenyataannya sekarang seperti itu. Dia mendapatkan apa yang dianggap mustahil dahulunya.

Dia menjawab, “Ini adalah rezeki dari Allah. Kalian menganggap hal ini tidak mungkin kan? Tetapi saudaraku, tidak ada yang tidak mungkin di sisi Allah.” Selanjutnya dia menuturkan, “Memang selama ini saya selalu merindukan datang ke Baitullah. Saya selalu berdoa untuk bisa sampai ke sana. Saya serius. Dan Alhamdulillah ternyata Allah mengabulkan." Lebih lanjut dia memberi tausiyah kepada kami, "Rezeki itu domainnya Allah saudaraku. Domain kita adalah bekerja dan berdoa.”

Saya cukup tercekat mendengar penuturannya. Kini dia lebih bijak agaknya. Kami bersyukur bahwa Kiki telah mengalami perubahan positif dalam hidupnya. Berbeda dengan kondisinya yang dulu. Boleh jadi, dia dulu menyadari bahwa hatinya belum bersih, lalu dia berusaha membersihkannya. Al hasil, Allah memberikan banyak kemudahan atas perjalanan kehidupan setelahnya.

Saya mengambil banyak mengambil pelajaran dari Kiki. Memang kita harus menjalani hidup dengan ikhlas. Apapun kondisi yang kita hadapi dan berapapun Allah memberi rezeki kita setiap harinya. Tentu saja, ikhlas tersebut menuntut ikhtiar yang sempurna tanpa harus memikirkan balasan dunia apa yang semestinya diperoleh. Karena itulah domain kita. Biarkan Allah akan membalas setiap upaya sesuai domain-Nya. Allah Maha Adil dan tidak pernah meleset dalam memperhitungkan balasan setiap hamba-Nya.

Wallahua’lam

muhammadrizqon.multiply.com