Semampu yang Kita Bisa

Sudah menjadi agenda rutin, sepekan sekali Slamet menghadiri taklim pekanan yang diadakan di sebuah kawasan bernama Antara. Dia adalah salah seorang yang masih berkomitmen menghadiri taklim tersebut, ditengah peserta taklim lainnya yang sudah kehilangan gairah dan lebih memilih sibuk dengan aktivitas dunia.

Setiap pekan Slamet menempuh perjalanan dari Setu, Jakarta Timur ke Antara. Jalanan yang dilalui setiap pekannya adalah jalanan yang sama. Jarak tempuhnya sama. Dan rentang waktu kejadiannnya pun relatif sama, yaitu antara pukul 07.30 s.d 8.30 pagi. Rutinitas pekanan di perjalanan menuju majelis taklim itu ia hadapi relatif biasa-biasa saja, tidak ada sesuatu yang istimewa.

Namun pekan itu, ia bercerita bahwa ia menjumpai pemandangan unik di tengah perjalanan. Betul-betul unik pikirnya, terlebih jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat sekarang yang mayoritas mengalami sakit. Bukan sakit jasmani melainkan sakit ruhani (psikis).

Jamak diketahui, bahwa lalu lintas di seputar pasar Pondok Gede adalah lalu lintas yang padat. Konvoi mobil atau sepeda motor yang terjebak macet atau terpaksa harus berjalan pelan karena padatnya kendaraan dan orang, sudah menjadi pemandangan yang tipikal dan lazim. Setiap orang boleh jadi tidak begitu saling memperhatikan satu sama lain. Mereka lebih memperhatikan tentang bagaimana harus menyebrang, bagaimana harus mengendalikan sepeda motornya, bagaimana menerobos di tengah kepadatan yang mengular, dan bagaimana diri harus berkonsentrasi agar sepeda motor atau mobil yang dikendarai tidak bersinggungan satu dengan lainnya yang berefek mencelakai orang atau kendaraan lain.

Slamet di pagi hari itu, juga mengalami hal yang serupa. Ia begitu tenang penuh konsentrasi di atas sepeda motor yang dikendarainya. Tatkala banyak orang menyebrang, ia harus pelan-pelan untuk memberi kesempatan kepada mereka. Tatkala banyak orang, becak, atau gerobak yang tiba-tiba berjalan dari arah berlawanan, ia pun harus mengatur posisi memberi kesempatan kepada mereka untuk bisa lewat. Tidak sedikit anak-anak kecil yang berada di tengah keramaian pasar mengikut ibu atau bapaknya yang sedang memburu barang-barang kebutuhan.

Beberapa menit Slamet terjebak dalam situasi tegang seperti itu. Ketika baru saja meninggalkan situasi pasar yang menegangkan, ia merasa bebas dan lega. Jalanan sudah mulai lancar dan roda sepeda motor pun bisa dipacu lebih cepat. Gigi sudah bisa dioper ke gigi 3. Jalan mulai senggang dan rasa nyaman pun mulai menghinggap. Di depan Slamet ada beberapa sepeda motor yang juga mulai memacu kecepatannya.

Sesuatu yang mengejutkan terjadi. Tiba-tiba dari arah belakang, ada pengendara sepeda motor yang menyalip dan terkesan mengejar sesuatu di depan. Ada apakah gerangan? Siapa yang dikejar? Adakah tadi ada insiden yang memicu ketegangan namun belum terselesaikan?

Sambil memacu kecepatan motornya secara normal, Slamet memperhatikan pengendara sepeda motor itu terlihat memepet pengendara sepeda motor lain yang berboncengan dengan seorang perempuan. Dia menengokan kepala dan meneriakkan sesuatu. Kontan saja, sepeda motor yang dipepet tadi jadi memelankan lajunya. Sementara Slamet jadi lebih dekat bisa menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam kondisi berjalan pelan memepet tersebut, sang pengendara misterius itu masih meneriakkan sesuatu setelah membuka kaca helmnya. Boleh jadi sepasang insan di atas roda dua tersebut heran dan penasaran, apa sih maksud laki-laki tersebut dengan teriakannya. Tidak paham dengan apa yang diucapkan, maka makin pelanlah laju sepeda motor sepasang insan demi mendengar apa yang diucapkannya.

Pengendara misterius itu memacu agak ke depan dan memberi isyarat. Tangan kirinya diacungkan menunjuk perempuan yang membonceng, kemudian tangan kirinya itu ditunjukkan pula ke arah pinggulnya sendiri berkali-kali. Ia pun kembali berteriak.

“Ini!…ini!..ini kamu kelihatan!..ini kamu kelihatan!”

Demi mendengar dan melihat bahasa isyarat itu pahamlah si perempuan pembonceng sepeda motor itu. Bergegas ia, sambil tersimpul malu, memperbaiki posisi kaosnya yang ternyata secara tidak sadar menaik dan menjadikan aurat dan barang pribadinya terlihat begitu jelas. Nampaknya beberapa jenak ia mengalami kesulitan menutup barang yang ditunjuk-tunjuk lelaki misterius tadi. Karena memang sangat terbatas. Very limited. Terpaksa ia harus menahan malu terhadap orang-orang yang memperhatikannya.

Tanpa melihat kembali apa yang terjadi, si pengendara misterius itu pun segera memacu sepeda motornya lebih cepat. Meninggalkan arena setelah pesannya tersampaikan.

“Oh itu tho rupanya! Astaghfirullah”, bisik hati Slamet yang tepat berada di belakang perempuan itu. Ia merasa bersalah dan mentertawakan diri sendiri demi mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Betul, swear, ia tidak melihat pemandangan unik di perempuan pembonceng itu. Waallahu a’lam, boleh jadi matanya dihindarkan dari pemandangan buruk itu. Namun ia tidak bisa menahan geli karena sangat mungkin ia diduga sebagai ‘pihak yang menikmati’ karena ia tidak mengingatkan seperti yang dilakukan oleh pengendara misterius tadi.

Terlepas dari rasa bersalahnya karena Slamet merasa ‘patut diduga’ menikmati pemandangan tersebut, ia mengambil pelajaran penting dari sikap pengendara misterius tadi. Sedikit sekali rasanya orang mau bersikap seperti itu. Bergegas mengingatkan untuk hal yang boleh jadi dipandang sepele. Terlebih ditengah arus kemaksiyatan (perzinahan) yang terekspos habis di era keterbukaan informasi seperti saat ini.

Survey BKKBN yang menyimpulkan bahwa 51% remaja Jabodetabek sudah tidak perawan, adalah realistik jika saya bandingkan dengan maraknya kasus perzinahan di lingkungan sekitar. Belum ditambah cerita-cerita teman dan berita-berita media yang sepertinya membenarkan hasil survey tersebut.

Seorang teman yang sudah kenyang menyambangi gedung-gedung perkantoran di Jakarta mengatakan, “Dalam pengamatan saya, hampir semua gedung di Jakarta tidaklah bersih, saya pastikan ada kemaksiyatan di dalamnya.” Seorang teman yang lain bercerita ketika ia berada di atas angkot, naik beberapa anak perempuan berseragam sekolah. Dari perbincangan yang ia dengar, meski tidak secara vulgar diungkapkan, ia bisa memahami bahwa mereka tengah membincangkan “hasil jualan” mereka.

Seorang teman yang lain juga menceritakan ketika ada rombongan kyai naik bis umum dan mereka berdiri, ada seorang perempuan di dalam yang duduk agak jauh, selalu melempar senyum pada satu orang kyai. Ketika sang kyai itu bertemu pandang, perempuan itu selalu mengangguk dan melempar senyum. Demikian hal itu terjadi berulang kali selama dalam perjalanan. Ketika rombongan kyai itu turun, dan perempuan itu turun, sang kyai dimaksud merasa penasaran dan bertanya,

“Kamu ini siapa ya, kok dari tadi senyam-senyum sama saya…”

Sang kyai bertanya masih tetap ditemani kyai lainnya yang juga mendengarkannya.

“Ah masa pak kyai ngga ingat sama saya…” Perempuan itu tetap tersenyum sambil kemudian mengatakan, “Pak kyai kan pernah beberapa kali memakai saya?”. Gerr, kyai lain yang mendengar hal itu pun tertawa spontan dan keras. Tidak ada perasaan terkejut, tidak ada kata marah, tidak ada kata mengingatkan. Sepertinya hal itu adalah hal yang biasa dan wajar terjadi. Sebagai bahan lucuan dan intermezo. Naudzubillah…

Berita-berita di media pun makin vulgar mengungkap praktek yang zaman kini sepertinya dianggap sebagai hal yang wajar dan natural. Padahal pada zaman Nabi SAW sebagai dosa dan musibah besar. Ummat Islam kini makin berabad jarak. Tidak hanya dari fisik pribadi rasul juga dari kepribadian beliau.

Nampaknya kita mesti berkaca kepada pengendara misterius yang bergegas memberi peringatan kepada perempuan yang berpakaian tidak pantas di atas, yang memakai busana dengan kuantitas limited, sehingga auratnya pun terumbar. Apa yang dilakukannya adalah sebentuk “amar ma’ruf nahi mungkar” yang mulai banyak ditinggalkan, bahkan oleh orang-orang yang sejatinya memiliki kuasa untuk melakukannya. Kita prihatin karena para penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran di negeri ini sepertinya kurang mendapat tempat. Alih-alih dianggap sebagai angin lalu, bahkan mereka bisa dipenjarakan dengan pasal yang bisa direkayasa. Tidaklah heran jika hari demi hari yang kita dapati adalah musibah, musibah dan musibah.

Sungguh, makin banyak saja musibah-musibah yang terjadi. Harapan kita, musibah itu hanya menimpa kepada mereka yang zalim (berdosa) saja. Namun demikian Allah SWT memperingatkan agar kita waspada terhadap musibah yang tidak hanya menimpa kepada orang-orang yang berbuat dosa (zalim) tetapi juga menimpa kepada orang yang beriman di antara kaum. Karena musibah yang ditimpakan adalah musibah kolektif. (QS An Anfaal 8:25). Oleh sebab tidak adanya kewajiban yang seharusnya ditunaikan, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar.

Semoga Allah SWT memberi petunjuk kepada kita sehingga kita termasuk orang yang berusaha menegakkan perintah-Nya. Semampu yang kita bisa. Wallahua’lam. ([email protected])