Keraguanku Terjawab Sudah

Ini adalah kehamilanku yang kedua, Naufal anak pertamaku kini berumur tujuh tahun.
Tidak seperti kehamilan pertamaku yang kusambut dengan penuh kegembiraan, kehamilanku kali ini kusambut dengan kecemasan.

Bayangan tujuh tahun silam selalu hadir dipelupuk mata, saat aku melahirkan Naufal, saat aku menghadapi kenyataan bahwa anak pertama kami lahir tidak sempurna.

"Aku takut mas, bayi kita nanti bagaimana?" keluhan itu hampir selalu kuutarakan pada suamiku.

Meski dia senantiasa membesarkan hatiku, samar kulihat gurat kecemasan tampak pula diwajahnya.

"Kita serahkan saja pada Allah, yakinlah bahwa apa yang diberikan pada Allah adalah yang terbaik untuk kita," hibur suamiku membangkitkan semangat kami berdua.

Seperti kehamilan pertama, kehamilanku kali ini juga tidak merepotkan. Mual-mual cuma kurasakan dua minggu pertama kehamilanku. Aku tetap beraktifitas seperti biasa, pergi pulang kantor kadang naik motor sendiri, di rumahpun mengerjakan pekerjaan rumah yang rasanya hampir tak ada habisnya.

Aku sengaja menyibukkan diri agar aku bisa melupakan kecemasan yang selalu menyelimuti hatiku.

Diakhir shalat wajib maupun sunah, selalu kupanjatkan doa kepada Allah SWT agar bayi yang kukandung kelak lahir dengan selamat, sehat jasmani dan rohani, tumbuh menjadi pribadi yang akhlakkul kharimah.

Namun perasaan cemas yang telah kubuang jauh kembali menghampiriku, aku takut dan ragu menjalani kehamilanku, aku takut kejadian tujuh tahun silam terulang lagi.

"Ibu tidak usah cemas, meskipun anak pertama mengalami bibir sumbing tidak selalu anak berikutnya mengalami juga. Yang penting ibu harus memperhatikan asupan gizi yang masuk selama kehamilan ini. Dan jangan lupa banyak berdoa, Insyaallah bayi ibu sehat" nasehat itu selalu diberikan dokter kandunganku dalam dua kali pertemuan kami.

Dua bulan usia kehamilanku, kurang tujuh bulan aku menjalaninya, penantian yang terasa lama dalam suasana hati yang tidak menentu.

"Bagaimana kalau kita coba tes toksoplasma, biar kita tahu yang sebenarnya. Kalaupun kamu kena virus tokso bisa cepat diobati, kalau ternyata tidak kita bisa lebih tenang, lebih yakin kalau bayi kita nanti tidak apa-apa" usul suamiku suatu sore, sehari setelah kunjunganku ke dokter kandungan.

Akupun mengiyakan dan mulai mencari informasi mengenai tes toksoplasma, lab tempat menjalani tes, biaya, dan sebagainya.

Keputusan kami sudah bulat, besok aku akan menjalani tes toksoplasma.

Namun beberapa saat kemudian aku merasa ada yang aneh, ketika ke kamar kecil aku mengeluarkan bercak-bercak coklat. Meski sedikit dan perutku tidak sakit, aku merasa cemas, begitu pula suamiku. Dengan penuh keheranan dia menyuruhku segera beristirahat.

Esok harinya kami mendatangi dokter kandunganku, beliaupun heran karena baru dua hari sebelumnya kami bertemu dan kandunganku tidak ada masalah.

"Ibu pasti banyak pikiran, stress ya bu?" dugaan beliau benar adanya.

Sembari mengamati monitor perangkat USG nya, beliau menjelaskan bahwa kandunganku terancam keguguran, untuk dipertahankan kemungkinan fifty-fifty.

"Astagfirullahaladzim.." aku terkejut mendengarnya.

Baru dua hari yang lalu aku periksa kehamilan tidak ada masalah, dan kemarin kami berencana tes toksoplasma untuk meyakinkan diri agar kami, terutama aku lebih mantap menyambut kehadiran anak kedua kami. Sekarang kabar mengejutkan itu kami terima.

Aku dan suamiku saling berpandangan, sementara dokter sibuk menulis resep obat yang harus aku minum untuk mempertahankan kehamilanku.

Beliau juga memberi surat pengantar untuk dibawa ke rumah sakit jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Ya Allah, apakah ini suatu pertanda Engkau akan mengambil amanah yang akan Engkau titipkan kepada kami" jeritku dalam hati.

Aku tidak menghiraukan pembicaraan dokter dengan suamiku, aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

Tiba dirumah, setelah minum obat aku segera beristirahat dengan harapan bercak-bercak coklat itu tidak lagi keluar. Tak hentinya aku berzikir mohon diberi kekuatan oleh Allah SWT dan memohon ampun atas kekhilafanku, mungkin Allah SWT tengah menegurku karena aku tidak ikhlas menjaga amanah yang akan dititipkanNya kepadaku.

Pagi hari kulihat bercak-bercak itu masih ada dan semakin banyak, bahkan perutku mulai terasa nyeri. Mungkin memang begini, hiburku dalam hati. Aku ingat cerita seorang teman yang pernah mengalami hal sepertiku dan sekarang anaknya telah berumur satu tahun.

Waktupun berlalu, keadaanku tidak juga semakin membaik. Suamiku mulai panik, diapun memutuskan untuk segera membawaku ke rumah sakit.

Ditengah hujan gerimis sore itu, kami berangkat menuju rumah sakit. Naufal kami ajak serta, tidak mungkin kami meninggalkan dia seorang diri di rumah.

Tiba di rumah sakit, surat pengantar dari dokter kandunganku kuserahkan pada dokter jaga saat itu. Aku segera dibawa ke ruang kebidanan. Karena hari Minggu, dokter kandunganku tidak praktek. Seorang bidan segera memeriksaku. Kuceritakan dari awal hingga akhir apa yang kualami.

Dari pemeriksaan dalam diketahui bahwa ternyata calon bayiku sudah berada di mulut rahim, itu artinya kehamilanku sudah tidak dapat dipertahankan.

Tak berapa lama aku merasakan sesuatu keluar dari dalam rahimku. Dengan hati-hati bidan itu menyampaikan bahwa janinku telah keluar, keguguran benar-benar telah kualami.

Aku tidak mampu berkata-kata, hanya air mata yang keluar dari kedua mataku.

"Ya Allah, Engkau benar-benar mengambil amanah yang akan Engkau titipkan pada kami. Ditengah keraguan kami Engkau memberi jawaban dengan cara seperti ini " aku menjerit dalam hati, sedangkan tangisku tak dapat kutahan lagi.

Selanjutnya aku dipindahkan ke ruang perawatan untuk bermalam di rumah sakit karena besok aku harus menjalani kuret, karena meskipun janin itu telah keluar rahimku harus dibersihkan dari sisa-sisa jaringan yang masih ada.

Tak berapa lama suamiku dan Naufal masuk ke kamarku. Meski sedih, suamiku berusaha untuk menghibur.

"Sudahlah jangan sedih, mungkin ini yang terbaik bagi kita. Apapun kehendak dari Allah, harus kita terima dengan ikhlas" nasehatnya padaku.

Aku mengangguk lemah, rasanya aku belum bisa melupakan hal yang baru saja aku alami.

Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatiku. Aku merasa sedih, kecewa, menyesal, dan berdosa karena amanah yang akan dititipkan Allah SWT kepadaku tidak kujaga dengan baik.

Walau demikian, aku berusaha ikhlas menerima kenyataan ini, aku yakin Allah SWT telah memberikan yang terbaik untukku.

Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui isi hati manusia, Allah mengetahui keraguanku selama ini, dan dengan cara inilah Allah menjawab keraguanku.

***

Memori di akhir April 2010