Iman yang Terjual

Pagi ini, ketika sedang online di depan komputer, seorang sahabat menyapa lewat GTalk, bahwa salah seorang kenalannya (dan juga kenalan saya) di Facebook, berpindah keyakinan.

Setengah kaget, saya berucap, istighfar dan "inna lillaahi wa inna ilayhi raaji’uun". Lalu, saya berkunjung ke FB-nya, dan ternyata, di FB-nya terdapat beberapa komentar yang mendukung dia berpindah keyakinan dan foto-foto ketika ia dan kakaknya dibaptis. Astaghfirullaah…

Beberapa bulan lalu, ia dikenalkan oleh sahabat saya tersebut. Saat itu, ia sedang mengalami krisis ekonomi dan sangat membutuhkan pekerjaan. Ia minta bantuan sahabat saya agar mencarikan pekerjaan apapun itu, untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Ia sering ditawari oleh beberapa temannya agar berpindah keyakinan, dengan iming-iming akan mendapatkan bantuan ekonomi. Namun, saat itu, ia bertekad untuk mempertahankan Islam sebagai keyakinannya.

Saya masih ingat ketika waktu itu berkomunikasi dengannya di FB, ia menggunakan foto profil ketika memakai baju koko dan peci. Beberapa kali berkirim pesan dan saya mengajaknya bergabung dengan komunitas yang saya ikuti. Karena kesibukan saya, akhirnya komunikasi terputus dan baru tahu kabar tentangnya pagi tadi.

Ternyata, imannya sudah terjual dengan berpindah keyakinan. Ia merasa senang dan bahagia dengan keyakinan barunya. Astaghfirullaah…

Fenomena seperti itu banyak terjadi di sekitar kita, dimana faktor ekonomi menjadi alasan utama mereka yang mau menjual keimanannya. Tidak hanya di kota yang kebutuhan ekonominya tinggi, di pelosok pun banyak hal serupa terjadi.

Dengan iming-iming akan mendapatkan fasilitas ‘ini-itu’ dan berbagai kemudahan lainnya, maka tidak heran jika ada beberapa kampung yang hampir semua penduduknya mau menjual keimanannya dengan berpindah keyakinan.

Teringat beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih aktif dalam kegiatan pembinaan di kampung rawan aqidah, dimana wilayah kecamatan tersebut sudah dikenal masyarakat sebagai daerah ‘jual-beli’ keimanan. Dan lagi-lagi, faktor ekonomi yang menjadi daya tarik warga setempat untuk berpindah keyakinan.

Alhamdulillaah, di kampung yang menjadi daerah binaan, belum ada warga yang berpindah keyakinan, karena ada beberapa pihak yang berhasil ‘menghadang’ dengan melakukan berbagai pendekatan, di antaranya mendirikan masjid, memberdayakan warga setempat, dan mengadakan berbagai kegiatan.

Maka tidak salah dengan keterangan jika kefakiran itu mendekatkan pada kekafiran. Jika benteng keimanannya lemah, maka akan dengan mudah terpengaruh dengan segala bentuk iming-iming.

Diperlukan berbagai upaya untuk membentengi keimanan mereka yang masih lemah. Dan, itulah tugas kita, minimal dengan mengajak mereka untuk selalu mempelajari dan mengamalkan Islam, sesuai dengan kemampuan dan kapabilitas kita masing-masing.