Kebenaran Tidak Tergantung Orang

Beberapa waktu lalu saya dan keluarga pergi bersama ke Nishi-tachikawa. Di stasiun Shinjuku yang ramai kami harus ganti kereta. Shinjuku adalah salah satu stasiun besar tempat perpindahan banyak kereta di Tokyo. Saat saya masih mencari-cari mana jalur kereta yang harus kami pilih, Haidar, anak pertama saya sudah berteriak “di sana line nya”. Awalnya Saya tidak terlalu menghiraukan dan terus mencari kereta mana yang benar, lalu istri saya bilang “percaya aja sama Haidar, ayo jalan!”.

Saya sempat ragu, dalam hati saya berkata “masa sih anak sekecil itu tau jalur-jalur kereta yang rumit di Tokyo”. Ternyata istri saya benar, Haidar membawa kami menuju jalur kereta yang seharusnya kami naiki. Anak saya memang sangat tertarik sekali dengan kereta di Jepang. Dia mengkoleksi banyak model-model kereta, dari mulai kereta Tokyo metro (kereta biasa seperti pakuan ekspres Jabotabek) sampai sinkansen. Haidar juga senang sekali memperhatikan jalur-jalur kereta bawah tanah, bahkan dia hafal nama-nama kereta dan stasiun yang dilaluinya masing-masing.

Ternyata saya sudah underestimate terhadap anak saya. Meski baru berusia 6 tahun, tapi dia lebih cepat paham jalur-jalur kereta di Tokyo dari pada saya karena memang dia sangat tertarik dengan beragam kereta di Tokyo.

Saya jadi teringat pengalaman belasan tahun lalu saat masih kuliah di IPB. Saat itu saya memimpin delegasi untuk melakukan audiensi dengan walikota bogor. Saat terjadi perdebatan antara kami dan jajaran walikota, salah seorang kepala dinas bilang “kalian kan baru belajar, kami sudah banyak makan garam, sudahlah jangan nasehati kami”. Waktu itu spontan saya bilang “mungkin bapak lebih banyak makan garam dari kami, tapi tahukah bapak, garam yang kami makan lebih asin dari garam bapak”. Waktu itu saya hanya mengingatkan ke dia, jika dia memang tidak mau menerima masukan, karena merasa lebih tua, lebih pintar dan lebih berpengalaman dari kami untuk apa dia menghadiri audiensi kami.

Ya, terkadang kita kurang menghargai pendapat, pikiran atau gagasan orang lain hanya karena orang itu lebih muda, belum berpengalaman atau pendidikannya jauh di bawah kita. Kita menjadi kehilangan objektifitas ketika menerima saran dari orang yang kita rasa berbeda status atau berbeda usia dengan kita. Kita seringkali lebih melihat siapa yang bicara dari pada apa yang dibicarakan.

Ali bin Abi Thalib mengajarkan pada kita bagaimana menjaga objektifitas ketika beliau mengatakan “lihatlah apa yang dibicarakan dan jangan lihat siapa yang bicara”. Apa yang dikatakan oleh Ali bi Abi Thalib ini sekarang banyak dipakai dalam dunia ilmiah, khususnya ketika menyeleksi jurnal yang layak terbit atau tidak. Jurnal-jurnal internasional menilai kelayakan sebuah tulisan bukan dari siapa yang menulis melainkan dari apa yang ditulis. Mereka melakukan blind review, menilai sebuah tulisan tanpa harus tau siapa penulisnya. Dengan standar objektifitas yang demikian maka nama besar menjadi tidak berguna jika tidak memiliki fikiran-fikiran yang besar untuk disampaikan.

Objektifitas mengajak kita melihat kebenaran tidak tergantung pada orang, tetapi pada isi dari perkataan dan tindakan yang dilakukan. Dengan prinsip objektifitas yang diajarkan oleh Ali bin Abi Tholib, kita tidak akan terjebak untuk bersikap “kalau si A yang bicara pasti selalu benar” dan sebaliknya “kalau si B yang bicara pasti selalu salah". Dengan standar objektifitas seperti yang diajarkan Ali bin Abi Thalib kita juga tidak perlu silau atau grogi ketika berhadapan dengan orang-orang yang memiliki nama besar, karena belum tentu apa yang diucapkan atau difikirkannya adalah sesuatu yang besar.

Semoga kita bisa menjaga objektifitas kita dalam menilai segala sesuatu.

Tokyo, 27 Mei 2010 (www.najib23.blogdetik.com)