Melihat ke Bawah Tradisi Orang Kalah

Saat bersepeda ke Tokyodome minggu pagi lalu, anak saya yang kedua, Nasywa bilang “kita sekarang miskin ya, kalo dulu jalan-jalan naik mobil, sekarang cuma naik sepeda”. Belum sempat saya menjawab, anak saya yang pertama, Haidar langsung merespon “bukan kita yang miskin, tapi orang-orang itu (sambil menunjuk orang-orang jepang yang sedang berjalan), kita masih naik sepeda, mereka cuma jalan kaki”.

“Alhamdulillah”, dalam hati saya berkata. Tentu saya gembira karena anak saya yang pertama mulai belajar bagaimana memposisikan diri diantara lingkungan yang dihadapi. Ketika kita melihat “ketiadaan” dalam diri kita, maka yang lahir adalah kehausan dan kegelisahan. Sementara ketika kita melihat ke “ada” an, melihat segala apa yang kita miliki dan nikmati, maka yang lahir adalah kecukupan dan ketentraman.

Mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa pesan “hidup harus melihat kebawah” adalah hal yang “klise”, bahkan teman saya menyebutnya sekedar jargon kosong yang hanya cocok dipegang oleh mereka-mereka yang gagal dalam kehidupan. “Melihat kebawah” dianggapnya sebagai candu yang menyebabkan seseorang menjadi tidak produktif. "Melihat ke bawah adalah tradisi orang kalah", begitu teman saya mengatakan.

Dunia, menurut orang bijak, bagaikan air laut, semakin banyak diminum bukan semakin hilang dahaga, tapi sebaliknya, semakin haus, semakin rakus.Itulah sebabnya materi tidak boleh menjadi satu-satunya obat reformasi birokrasi. Kasus-kasus hukum yang terjadi menunjukkan hal itu. Koruptor-koruptor besar bukanlah mereka yang bergaji kecil. Anggota DPR dan DPRD korupsi bukan karena gaji mereka kecil, Wali kota, Bupati, Gubernur yang korupsi bukan karena gaji mereka lebih rendah dari rakyat kebanyakan yang tidak korupsi, Pejabat-pejabat Bank Indonesia yang korupsi bukan karena mereka tidak makmur hidupnya, konglomerat hitam yang telah merampok dan membawa lari uang Negara bukan karena hidup mereka kurang sejahtera.

Dalam perspektif material, dunia yang telah berubah menjadi rumah besar bagi para konsumen, sangat sulit merumuskan berapa tingkat pendapatan yang dianggap cukup agar seseorang tidak tertarik untuk melakukan tindakan korup. Kenyataannya perilaku konsumsi dan kapasistas konsumsi manusia berubah dengan berubahnya pendapatan. Sehingga antara pendapatan dan tingkat konsumsi selalu berkejar-kejaran dan tidak pernah tuntas sampai tanah kuburan menuntaskannya. Inilah lautan yang merasuk ketenggorokan manusia yang menyebabkannya selalu haus, selalu ingin minum, minum dan minum lagi.

Saya teringat pesan seorang teman ketika dia mengatakan “sesungguhnya orang-orang bijak menjadikan dunia sebagai sarana memperbanyak bekal di hari akhir nanti, sehingga mereka tidak terjebak dalam siklus kehausan akibat lautan dunia”. Senantiasa melihat ke “bawah” bukan hanya menyebabkan kita tentram, tapi juga membawa kita berlepas diri dari jebakan lingkaran kehausan dunia yang berpotensi menenggelamkan kita dalam prosesi kehinaan di dunia (penjara) maupun akhirat (neraka).

Semoga kita mampu!

Tokyo, 20 Mei 2010 (www.najib23.blogdetik.com)