Merajut Ikatan Yang Kokoh, Siapkah?

Siang cukup terik. Laki-laki tampan itu, sebut saja Adi, termangu. Memandangi sepucuk foto seorang muslimah di tangannya. Empat hari yang lalu dia baru saja dipertemukan dengan muslimah yang ada di foto tersebut. Foto itu memang tak begitu jelas menggambarkan paras muka si muslimah, sebut saja Ifa.

Tapi, setelah bertemu dengan Ifa, mendadak hatinya diselimuti keraguan luar biasa. Kalau masalah perbedaan status sosial yang mencolok, antara keluarganya yang cukup terpandang dengan keluarga Ifa yang sangat bersahaja, dia tak mempermasalahkan. Tapi, yang menjadi sumber keraguannnya adalah karena paras Ifa sangatlah ‘biasa’ (kalau tidak mau dibilang ‘tidak cantik’). Sementara dia, perawakannya gagah, sangat tampan, bahkan beberapa anggota keluarganya ada yang menjadi aktor. Ditambah pula dia memiliki karir yang cukup menjanjikan. Hmm, sungguh modal yang sangat cukup untuk memikat hati siapa pun wanita yang diincarnya.

Untunglah, Adi memilih jalan yang suci untuk mencari pasangan jiwanya, melalui perkenalan yang Islami. Mempercayakan pada guru ngajinya semata, tanpa pernah sekali pun bertemu dengan muslimah tersebut sebelumnya.

Tapi kini ia menjadi ragu dengan langkahnya sendiri. Haruskah ia lanjutkan proses ini? Atau ditolak saja, karena rasanya ‘sangat tidak sepadan’? Apalagi si muslimah juga belum selesai kuliah. Huh, tentu lebih ribet lagi urusannya.

Waktu lima hari untuk mengambil keputusan, seperti yang diberikan oleh guru ngajinya, tinggal sisa satu hari lagi, hari ini. Ya, tinggal hari ini dia harus memikirkan kelanjutan dari proses perkenalannya dengan Ifa. Istikharahnya selama beberapa hari, nampaknya belum mampu membulatkan tekadnya. Masih saja ia gamang.

Namun karena ini hari jumat, dan dia berkewajiban melaksanakan sholat jumat, sejenak dia mencoba melupakan pergulatan batinnya itu. Segera ia bersiap diri menuju ke masjid untuk sholat jumat. Khusyu’ dia mendengarkan khotbah yang disampaikan dengan runtut oleh khatib.

Sampai pada satu hadist yang dinukil sang khatib, “… Akan tetapi, nikahilah seorang wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shalehah meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama."

Sang khatib melanjutkan: "Bukankah, jika seorang laki-laki tertarik pada seorang wanita, maka apa-apa yang ada pada wanita itu, juga ada pada wanita lainnya?"

Hadits yang sebenarnya juga telah sering ia dengar itu, kali ini membuatnya tersentak, seperti tersetrum listrik!

“Allahu, tampilan fisik bukanlah segalanya. Meskipun tak cantik, dari pertemuan kemarin aku tahu Ifa gadis yang ‘iffah, sangat menjaga rasa malunya, seperti namanya. Kenapa aku mesti ragu?”

Dia merasa sangat tercerahkan dengan hadist tersebut. Tanpa sadar, air matanya pun mengalir perlahan. Bukan air mata kesedihan, tapi air mata kebahagiaan. Inilah jawaban yang ia cari-cari selama beberapa hari ini. Dan kini dadanya terasa lapang, seolah sebongkah batu yang beberapa hari ini menindihnya telah terangkat. Sambil terisak dia tersenyum, karena dia tahu jawaban apa yang harus dia sampaikan pada guru ngajinya esok hari.

Setelah 15 tahun-an berlalu, kulihat dengan mataku sendiri, pasangan yang mulia itu selalu kelihatan rukun, penuh cinta, dan saling bahu-membahu dalam dakwah. Subhanallah…

Teringat aku ucapan Ibnu Qoyyim dalam bukunya ‘taman orang-orang jatuh cinta & memendam rindu’ : ‘Allah menjadikan penyebab kesenangan adalah keberadaan istri. Andaikata penyebab tumbuhnya cinta adalah rupa yang elok, tentunya (wanita) yang tidak memiliki keelokan tidak akan dianggap baik sama sekali. Kadangkala kita mendapatkan orang yang lebih memilih pasangan yang lebih buruk rupanya, padahal dia juga mengakui nilai keelokan (wanita) yang lain. Meski begitu, tidak ada kendala apa-apa dalam hatinya. Karena kecocokan akhlaq merupakan sesautu yang paling disukai manusia, dengan begitu kita tahu bahwa inilah yang paling penting dari segalanya. Memang bisa saja cinta tubuh karena sebab-sebab tertentu. Tetapi cinta itu akan cepat lenyap, dengan lenyapnya sebab.’

Hmm, kalau bahasa ringkasnya mas fauzil, ‘kecantikan wajah terletak di nomor kesekian. Jauh lebih penting dari kecantikan wajah adalah kesejukan wajah Anda ketika suami memandang.’

Subhanallah, jika kriteria fisik jadi patokan utama dalam memilih jodoh, apakah jadinya 20 atau 50 tahun setelah pernikahan mereka? Akan lenyapkah juga cinta yang dulu berbinar-binar, seiring kecantikan yang dimakan usia?

Memang, tak serta merta orang bisa ikhlas menerima seorang lain sebagai pasangan hidupnya. Namun, seseorang yang imannya terpagari dengan kuat, maka seleranya akan dituntun pula oleh iman pada Rabbnya. Di sinilah letak pentingnya kekuatan ruhiyah, termasuk bagi mereka yang sedang ikhtiaruz zawaj. Jika ikhtiar ini dilakukan dalam posisi kering ruhiyah, maka percayalah pilihan akan jatuh dengan hanya mempertimbangkan selera yang ‘dangkal’. Tetapi, jika terus dipagari dengan ruhiyah tinggi, maka percayalah Allah yang akan menjaga dan menuntun kita untuk mendapatkan pasangan yang paling baik.

Ini tidak hanya berlaku untuk laki-laki, tetapi juga perempuan. Karena sebagaimana kata pak cahyadi dalam bukunya: laki-laki berhak memilih, tapi juga jangan salahkan wanita, karena wanita berhak menolak.

Wanita juga punya kecenderungan, punya selera, dan bisa saja pilihannya jatuh pada kriteria yang dangkal ketika ruhiyahnya tak terpagari dengan kuat.

Masalahnya, sudahkah persiapan ruhiyah ini dilakukan oleh para lajang pencari jodoh? Atau mereka lebih sibuk mempersiapkan yang artifisial semata seperti: rancangan acara walimah, kemana berbulan madu, pemenuhan berbagai kebutuhan rumah tangga, dan seterusnya?

Saya ingat, ada seorang lelaki shalih, yang sebenarnya memendam perasaan terhadap muslimah teman sekampusnya, sebut saja Ani. Rasa itu beratahun-tahun terpendam rapat dalam hatinya, hanya adiknya seorang yang ia beri tahu. Suatu saat, tiba-tiba guru ngajinya memanggilnya, mengatakan bahwa ada seorang muslimah yang sudah siap menikah, dan al-akh tersebut ditawarkan untuk segera ‘maju’. Dan, muslimah tersebut ternyata adalah Ani!

Al-akh tersebut tersentak, seperti pucuk dicinta ulam tiba, tentu saja. Namun, pada saat yang sama, dia merasa ruhiyahnya sedang sangat drop, dengan berbagai masalah yang sedang melingkupi dirinya. Berat bagi dirinya untuk mengambil keputusan dalam kondisi ruhiyah kering kerontang seperti itu. Setelah menmpertimbangkan beberapa hari melalui istikhoroh, dia menghadap guru ngajinya dan berkata, "Ustad, afwan saat ini saya belum siap, silahkan ikhwan yang lain saja."

Subhanallah, dia memenangkan keimanannya, dengan pengorbanan melepaskan cinta pada tambatan hatinya yang telah ia pendam bertahun-tahun. Dia sangat takut, andaikata dia maju dalam kondisi ruhiyah berantakan seperti itu, maka pernikahan yang terjadi akan jauh dari keberkahan. Dia percaya, akan datang penggantinya yang lebih baik pada saat yang tepat, pada saat dia merasa siap, terutama secara ruhy. Subhanallah, wal hamdulillah..

Sungguh indah Allah menggambarkan pernikahan sebagai al-miitsaq ghoolidzo, ikatan yang kokoh. Ikatan yang diharapkan tak akan tercederai selamanya. Maka, sungguh indah pula perumpamaan yang Allah gambarkan:

Wanita yang (akhlaknya) buruk adalah untuk laki-laki yang (akhlaknya) buruk, dan laki-laki yang (akhlaknya) buruk untuk wanita yang (akhlaknya) buruk pula. Wanita yang baik-baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik-baik untuk wanita yang baik-baik pula. (An-Nur 26)

* based on the true story, curahan hati seorang mak comblang yang mulai miris dengan fenomena aneh di sekelilingnya.

** jazakallah khairan pada suamiku yang telah bersedia memilihku, bukan karena keelokan wajah, karena aku memang tidak memililkinya 🙂