Untuk Apa Menikah?

pernikahan
adalah simbiosis mutualisma

dua insan berbeda
tuk merenda bahagia

pernikahan
adalah sebuah bahtera
berlayar di samudera luas
menuju pulanu cinta-Nya

pernikahan
bukanlah impian bunga semusim
semata memuja romantisme dan keindahan
melupakan perjuangan

pernikahan
adalah sebuah terminal
melewati jalan panjang
menuju rumah keabadian

Puisi di atas aku tulis sehari setelah aku dikhitbah calon suami, 11 Oktober 1998, atau kurang sebulan dari pernikahan kami. Puisi yang lahir dari kegelisahan dan kegamangan, akankah setelah menikah nanti aku akan tetap isiqomah dalam jalan perjuangan yang sejak lama ditekuni? Atau justru tergerus dengan kesibukan rumah tangga tiada henti seperti yang kulihat pada beberapa ummahat di sekitarku, waktu itu?

Puisi yang kutulis untuk terus memotivasi diri, agar setelah menikah pun semangat berjuang dan berdakwah tetap membara. Puisi itu kutulis di halaman pertama buku Fauzil Azhim yang belum lama kubeli waktu itu, Kupinang Engkau dengan Hamdalah. Semata agar aku teringat dan teringat terus akan makna asasi pernikahan. Apalagi saat-saat menjelang pernikahan, masa yang rawan dan sangat disukai syetan, mengelabui hati dari cara yang paling canggih sampai amatiran. Huh!

Kini, setelah hampir 13 tahun berlalu, sungguh malu hati membaca puisi sendiri. Kemana semangat menggelora untuk terus berdakwah itu, kini? Rasanya waktu 24 jam lebih banyak untuk hal-hal rutinitas tiada henti. Robotic. Meski itu juga diniatkan untuk dakwah. Tapi rasanya.. banyak target dakwah secara pribadi yang terlepas.

Bukan berarti aku menolak tugas utama sebagai istri dan ibu rumah tangga. Justru itu hal lain dari dakwah juga, tarbiyah ‘ailiyah. Tapi, apakah sudah merasa cukup puas asal anak2 dan suami sehat sejahtera tak kurang suatu apa? Seperti kata salah seorang sahabat:

Jika kita mencukupkan diri untuk kebahagiaan dalam keluarga kita saja, tanpa terpanggil untuk membantu orang2 lain di sekitar mencapai bahagianya dunia akherat (atau berdakwah), maka tunggulah! Suatu hari nanti, keluarga kita yang akan digerogoti oleh orang2 yang tidak tahu bagaimana caranya dia mencapai bahagia.Mungkin suami kita yang akan digoda oleh perempuan2 yang tak tahu bagaimana menjaga cinta, atau anak3 perempuan kita yg ternoda oleh laki2 yang tidak tahu menjaga martabatnya…

Lalu, saat membaca kutipan Syaikh Hasan Al Bana, dalam Hadits Tsulasa, halaman 629…

“Kehidupan rumah tangga adalah ‘hayatul amal’. Ia diwarnai oleh beban-beban dan kewajiban. Landasan kehidupan rumah tangga bukan semata kesenangan dan romantika, melainkan tolong- menolong dalam memikul beban kehidupan dan beban dakwah…”

Kembali aku malu hati.

Maka, Alhamdulillah aku diberikan suami yang penuh pengertian dan mampu saling bersinergi. Meski tentu belum ideal, tapi setidaknya kami berusaha. Meski dulu awalnya tak cinta, mengapa mesti resah? Bukankah Love is Verb, kata Stephen Covey? Cinta itu kata kerja aktif yang bisa diupayakan. Yang penting standar minimal sebagai seorang calon suami (dan istri) terpenuhi. Bukankah jika dia beriman dan berakhlaq baik, maka itulah modal utamanya?

Ketika engkau mencintaiku, engkau menghormatiku.
Dan ketika engkau tak mencintaiku, engkau tidak mendzalimiku.
(Dr. Ramdhan Hafidz)

Justru kurasa, yang peru ditekankan dalam agenda ta’aruf, selain masalah kepribadian dan tanggung jawab maliyah berikut serialnya, adalah prototipe seperti apa yang dicita-citakan nanti pasca menikah. Mau dibawa ke mana keluarga ini sesungguhnya?
(Bagi yang belum nikah, ingat2 ya, itu tuh salah satu agenda taarufnya..)

Dan, saatnya cita-cita tetap berdakwah setelah menikah itu diejawantahkan dan dibuktikan! Memang tak mudah. Sering kali tersandung-sandung dan menguras sair mata. Awalnya jelas tambal sulam, karena menyatukan ritme 2 orang yang sama sekali berbeda dalam pembiasaan sekian puluh tahun, tentu saja butuh usaha extra dibarengi hati legawa. Mencoba dan terus mencoba. Berkomunikasi dan bersinergi, saling membaca hati, saling mengingatkan, tak marah saat dikritisi. Sebisanya. Prinsipnya asal sama2 paham bahwa tujuannya sama2 mulia.

Hmm, jadi ingat juga ucapan salah seorang sahabat, “Jangan bayangkan kalau menikah dengan ikhwah itu terus jadi serba indah dalam beribadah. Bisa Qiyamul lail berjamaah setiap waktu, bisa saling menyimak hafalan Quran…. Halah, boro2 dah! Kalau tidak ada azzam yang kuat, haduuuh, subuh pun bisa sama2 kesiangan bangun!"

Jadi, memang quwwatul azam yang diperlukan. Semoga dengan quwwatul azam salah satu pasangan, jika yang lainnya sedang lemah akan segera terkuatkan. Syukur2 kalau quwwatul azamnya sama2 kuat. Itu yang diharapkan.

Dilanjutkan dengan ibda’ binafsika, mulai dari dirimu sendiri. Tak berhenti sekedar wacana, tapi terwujud dalam amal nyata yang akan ditiru pasangannya.

Maka, sungguh Alhamdulillah, saat tak lama kemudian, aku merasa begitu didukung dalam tiap gerak langkahku, sekaligus mendapatkan contoh yang baik dari seorang qawwam. Suami yang bersedia mengantar kemana pun aku pergi selagi bisa dan ada waktu. Suami yang tidak canggung bermain dengan anak2 saat dengan terpaksa kutinggalkan mereka sementara waktu untuk mengisi kajian atau rapat organisasi. Suami yang jarang bicara, tapi memberi banyak contoh dalam perilaku sehari-hari. Aku yang ingin rehat barang sebentar, melihat dia tilawah jadi ikut tergerak tilawah. Aku yang kadang ingin mengungkapkan emosi dengan nada agak tinggi, melihatnya senyum2 jadi gak sampai hati.
(jazakallahu ya maas, telah menjadi Qawwam dan membimbingku)

Ya! Tak cukup mencita-citakan terbentuknya keluarga yang samara, sakinah mawaddah wa rahmah, Tetapi, DASAMARA. Keluarga DA-kwah yang samara. Dakwahnya dulu diperjuangkan, maka samara itu yang akan mengikuti sebagai imbalannya. Bismillah. Mari melangkah :)

~Pondok Cabe, Retropeksi Menjelang Berkurangnya Usia Esok Hari, 16 Pebruari 2011