Ketika Tiang Agama Dirobohkan

Saat ribuan warga turun gunung untuk mengungsi, ada puluhan lainnya yang tetap nekad bertahan. Sebagian tewas dihujani wedhus gembel. Ada sekitar 26 orang yang masih hidup. Salah satunya adalah Ponimin.

Bahkan, seluruh anggota keluarganya selamat, meski rumahnya di Dusun Kaliadem hancur. Ponimin mengungkapkan bahwa dirinya memang memutuskan untuk tidak mengungsi karena alasan mistis. “Saya mendapat bisikan gaib dari makhluk Allah yang berdiam di Merapi. Intinya, mereka meminta saya menemani mereka “bekerja”. Kalau tidak, letusan kali ini akan menghancurkan sebagian besar Jogja,” ucapnya.

Penggalan artikel koran Solo Pos beberapa waktu lalu membuat saya gigit jari. Memang benar jika gempa semakin dahsyat menggoncang negeri kita. Bukan hanya gempa, tsunami dan banjir pun ikut menyapu daratan yang biasa manusia gunakan untuk mengais rezeki. Dampak pasca bencana tersebut memang mempengaruhi kehidupan ekonomi, politik, dan sosial-budaya.

Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya orang-orang dengan pemikiran seperti Ponimin. Efek dari berita ini langsung terasa ketika Gubernur DIY mendatangi dan memintanya menggantikan posisi Almarhum Mbah Maridjan sebagai juru kuncen Merapi periode berikutnya.

Dan sesungguhnya inilah gempa paling dahsyat yang menggoncangkan negeri kita yaitu gempa keimanan. Lalu kapan bencana ini akan segera berakhir bila tak ada yang mau menyadari kekeliruannya? Sementara sosok pemimpinnya saja tak lagi percaya dengan pemilik Merapi Yang Maha Segalanya.

Lain Ponimin, lain pula 20.000 warga lereng Gunung Merapi yang kini tinggal di pengungsian. Dalam satu tenda yang kini dihuni oleh puluhan bahkan ratusan keluarga tampak jelas gaung kesedihan akibat kerusakan yang ditimbulkan guguran lava pijar dan awan panas Merapi. Wajah mereka pias bahkan ada yang menangis histeris tak mau dievakuasi demi menjaga harta benda. Ada pula yang menunggu bantuan sambil tidur-tidur ayam, meratapi ujian yang tak kunjung hilang, ironinya mayoritas warga pengungsi adalah muslim.

Inilah ujian kesabaran yang Allah berikan setelah Merapi meletus. Allah mungkin ingin agar warga Indonesia tetap mengingat-Nya di kala senang atau pun susah. Namun, tak semuanya yakin bahwa dengan mendekat kepada-Nya adalah solusi untuk mengentas mereka dari kesedihan. Jangankan untuk sekedar mendirikan sholat, berdo’a menengadahkan tangan dan meminta ampunan sepertinya tak ada waktu. Lalu bagaimana kita ingin agar Allah segera mencabut ujian ini dari tanah Yogyakarta sementara untuk bersujud pun enggan?

Pengungsi justru lebih banyak dilingkupi rasa cemas, khawatir harta benda tersisa yang ditinggal dicuri orang. Setan begitu mudah menelusupkan rasa was-was dalam dada manusia. Inilah tipu dayanya yang menyebabkan manusia lalai untuk selalu ingat kepada Allah SWT. Padahal hanya dengan mengingat-Nya-lah hati menjadi tenang. Dalam firman-Nya di Surat Al-Baqarah ayat 153 telah dijelaskan “Wahai orang-orang beriman, mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat karena sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Kewajiban sebagai seorang muslim adalah beribadah kepada Allah dimana pun dan tak terkecuali dalam situasi bencana seperti saat ini. Banyak orang yang akhirnya mengalami resesi keimanan. Hal ini dibuktikan dengan perbekalan yang mereka ingat uuntuk dibawa saat bencana melanda hanyalah harta benda berupa uang dan perhiasan sedangkan peralatan sholat dan Al-Qur’an dibiarkan tergeletak tertumpuk debu vulkanik Merapi.

Sesungguhnya sholat adalah tiang agama, dan barangsiapa yang meninggalkan sholat akan sama halnya dengan merobohkan tiang agama dan menjadi kafir. Sholat merupakan penghubung antara hamba dengan Tuhannya karena sedekat-dekat hamba kepada Tuhannya adalah dikala hamba tersebut bersujud (di dalam sholat), oleh karena itu perbanyaklah do’a dalam sujud kita.

Ia merupakan sebesar-besarnya tanda iman dan seagung-agungnya syiar agama dan merupakan ibadah yang membuktikan keislaman seseorang karena inilah yang menjadi pembeda antara orang Islam dengan kafir. Sehingga kita patut bersyukur atas nikmat iman yang telah Allah berikan.

Keterbatasan sumber air bersih di daerah pengungsian mungkin akan menjadi alasan pokok mengapa sholat begitu mudah ditinggalkan. Jangankan untuk wudhu, untuk memasak dan minum pun terbatas. Namun dengan sempurna Islam telah menjadi solusi dan mengajarkan bagaimana cara bersuci dengan tayammum. Tak ada yang mempersulit dalam Islam.

Dalam kondisi serba tidak jelas ini pula dibutuhkan relawan muslim yang peka terhadap kebutuhan ruhani warga pengungsi. Menjadi relawan sekaligus berdakwah dan mensyiarkan islam, bahwa dimanapun, kapanpun, dalam kondisi apapun, sholat harus terus dijaga. Sampai saat ini belum tampak ada relawan atau warga pengungsi lereng Gunung Merapi yang berinisiatif mendirikan barak khusus yang memang difungsikan sebagai musholla darurat agar sholat berjamaah dan do’a bersama berlangsung.

Bukankah telah dicontohkan oleh rasulullah bagaimana seharusnya seorang beriman menghadapi ujian, salah satunya adalah dengan mengucap innalillahi wainna ilaihi roojiun.

Tim penilai posko (assesment) yang ada di tempat kejadian pun tak pernah ada yang melaporkan meminta bantuan berupa alat sholat dan pakaian, yang ada hanya kebutuhan pokok saja berupa makanan dan obat-obatan.

Lantas dimanakah kenikmatan iman itu bisa diraih? Mari kita bantu mereka karena seharusnya ujian tersebut menjadi peringatan bagi setiap manusia. Baik yang sedang menjadi korban atau mereka yang hanya bisa melihat di televisi. Wallahu a’lam bishshowab []