Saat Kematangan Usia

Memasuki umur 23 tahun mungkin bagi sebagian orang memang masih sangat muda. Saat usia ini kebanyakan wanita masih sibuk dalam merentas karir dan menuntut ilmu setinggi-tingginya. Begitu juga impian ku ingin tetap punya prestasi akademik yang semakin memantapkan karir juga kedudukanku di masyarakat. Prestasi akademik menjadi begitu penting membuatku kembali mendaftarkan diri di sebuah universitas swasta melanjutkan langkahku menempuh pendidikan.

Mulai kembali mengirimkan lamaran-lamaran pekerjaan baru karena ingin pengalaman-pengalaman baru. Membuka diri kembali pada dunia luar setelah sekian lama menjadi karyawan tetap dan duduk manis dihadapan komputer setiap hari. Aku ingin segera berubah, mengekspansi hidupku sendiri. Mulai mengumpulkan serpihan semangat menjadi tekad kuat aku harus mampu mewujudkan semua impianku. Tapi tiba-tiba ada rasa aneh dalam diri sebuah keinginan muncul tiba-tiba mengalahkan semua asa juga impian sebuah target masa depan yang ku ingin wujudkan sekarang. Menikah…

Aku ingin segera menikah. Rasanya tiba-tiba keinginan ini menjadi begitu besar mengalahkan keinginanku untuk tetap bekerja dan kuliah. Iri juga bingung bercampur aduk dalam diri. Melihat teman-teman tetap bisa berkarya walaupun telah menjadi ibu rumah tangga. Menikah juga punya suami bukan halangan bagi mereka untuk berkarir maupun menuntut ilmu. Justru keberadaan suami merupakan dukungan semangat terbesar yang semakin membuat impian lebih mudah untuk diwujudkan.

Dengan segala do’a juga ikhtiar aku mulai menata hati juga memperbaiki diri. Malam-malam kulalui dengan airmata kerinduan kepada Illahi Rabbi. Ya Rabb… Hamba ingin menikah. Kirimkanlah laki-laki shaleh yang mencintai-Mu. Seorang aktivis dakwah yang terus berkarya dan berjuang meneggakkan Khilafah Islamiyah.

Mulai memberikan pemahaman kepada keluarga juga orang tua tentang arti pernikahan islami tanpa pacaran. Karena orang tua selalu menanyakan kenapa ya engga pernah bawa pacar kerumah. Mulai menunjukan kesiapan diri juga niat yang kuat. Aku siap menjadi seorang istri dan menjadi Ibu. Mulai memutar arah impian juga tekad ku. Aku ingin menjadi istri juga ibu yang produktif tetap bisa berkarya, bekerja dan menuntut ilmu.

Senang rasanya melihat ibu begitu semangat membantu memberi semangat dan do’a yang tiada henti akan niat juga impianku untuk punya suami. Ibu memang sudah mengharapkan sejak lama betapun tingginya pendidikan, suksesnya karir, Ibu tetap ingin aku menjadi ibu seperti dirinya. Menyerahkan sepenuhnya keinginanku dalam memilih pendamping. Kriteria ibu cuma satu. Laki-laki sholeh. Apapun pendidikan dan pekerjaannya asalkan dia sholeh juga sayang padaku juga pada Ibu maka boleh menjadi menantu baru dalam keluarga kecil kami.

Rasulullah bersabda “ Barang siapa yang menikahkan ( putrinya ) karena silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah diberkahi–Nya, siapa yang menikahi seorang wanita karena kedudukannya, maka Allah akan menambah kehinaan kepadanya, siapa yang yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan, siapa yang menikahinya hanya karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah akan senantiasa memberikan barakah dan menambah kebarakahan itu kepadanya”. ( HR. Tabrani )

“Apabila datang laki-laki yang kalian ridha agama dan akhlaknya (untuk meminang), maka nikahkanlah ia. Bila tidak kalian lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” (HR Ahmad & At Tirmidzi)

“Nikahkanlah ia dengan orang yang bertaqwa kepada Allah, Sebab jika laki-laki itu mencintainya, ia pasti memuliakannya, dan jika tidak mencintainya ia tak akan pernah menzhalimi dan menyakitinya.” (Al Hasan ibn Ali’, Radhiyallu ‘Anhu)

Kutuliskan kata-kata penuh makna mengawali langkahku memilih pendamping. Saat kumenuliskannya ada rasa bahagia juga haru dan airmata. Rasanya baru kali ini aku menulis sesuatu hingga hati bergetar hebat. Menuliskan biodata, profil diri, tujuan menikah dan niat ketika memilih pendamping. Tulisan ini adalah babak baru dalam hidupku. Menikah tanpa pacaran. Sebuah proses ta’aruf yang begitu bermakna bagi proses pernikahan islami.

Menuliskan profil diri dengan begitu jujur, polos dan apa adanya. Lengkap mengenai diriku, aktivitas, pekerjaan, dan kondisi keluarga. Akupun menuliskan tujuan utama ketika memutuskan ingin menikah :

  1. Menikah merupakan Ibadah yang Allah perintahkan dan Rasullullah contohkan
  2. Dengan jalan menikahlah kita manusia dapat mewujudkan keluarga dan generasi muslim menuju masyarakat yang islami.
  3. Menikah merupakan salah satu cara memelihara kehormatan dan menghindarkan diri dari perbuatan maksiat.
  4. Dengan menikah kita dapat memperluas silaturahhim dan kekerabatan karena menikah tidak sekedar menyatukan dua jiwa tetapi menyatukan dua takdir yang berbeda bukan untuk menjadi yang kita mau tetapi menjadi yang Allah inginkan. Karena hidup kita adalah bagian dari dakwah maka untuk mewujudkan perjuangan itulah dibutuhkan partner yang bisa dijadikan imam yang shaleh yang dapat membawa ke syurga, senantiasa mengingatkan ketika lupa, dan menguatkan ketika lemah. (amin)

Meluruskan niat dan mensucikan hati ketika niat dalam memilih pendamping. Setiap orang pasti menginginkan memiliki pendamping hidup yang shaleh, yang baik yang bisa dijadikan pemimpin dalam keluarga yang senantiasa mengajak dalam kebaikan dan menunjukkan jalan ke syurga begitu juga denganku.

Bagiku seorang suami bukan sekedar kepala keluarga tapi ia bisa menjadi kakak, sahabat dan partner dalam menjalankan biduk rumah tangga, yang mau mendengar dan saling mengerti, yang saling mendukung ketika sedang berjuang dan berdakwah (karena kian bening hati kian peka terhadap ladang dakwah dan amal. Mudah berbuat kebaikan maka kita akan merasa bahwa rizki terbesar kita bukanlah sesuatu yang didapatkan melainkan amal yang dilakukan), menegur dengan lembut ketika ada kesalahan dan memaafkan ketika gagal, selalu belajar dan menerapkan arti sebuah keikhlasan.

Aku tidak mencari seorang suami yang sempurna, bukan sekedar pintar tapi mau berusaha belajar, tak mampu tapi berusaha membantu, tak suka tapi berusaha menghargai dan tak sabar tapi terus berusaha untuk lapang dada karena iman adalah kesabaran dan kelapangan dada. (begitu juga denganku).

Karena keluarga adalah gambaran kecil sebuah masyarakat maka aku berharap suamiku nanti tidak sekedar mencari nafkah apalagi jika sudah memiliki anak, aku ingin ia bisa menjadi partner dalam mendidik anak, pada dasarnya tanggung jawab pendidikan adalah tanggung jawab bersama, seorang anak sangat membutuhkan figur seorang ayah terutama diusia keemasaannya yang sangat mempengaruhi psikologi perkembangannya, dan aku tidak ingin kesibukkan orangtua dalam berdakwah atau bekerja melalaikan tugas untuk mendidik anak. Anak adalah titipan Allah dan menjadi kewajiban bagi yang dititipkan untuk mendidiknya dengan baik dan penuh kasih sayang, adalah sebuah kebahagiaan jika nanti memiliki anak-anak yang shaleh/ah karena anak yang shaleh/ah dapat mengantarkan orangtuanya ke syurga dan mereka adalah generasi yang akan meneruskan dakwah ini.

Intinya orangtua saling bahu membahu dan bekerjasama dalam memberikan pendidikan terhadap anak-anaknya, bukan sekedar mengejar kecerdasan akademis tetapi juga menanamkan kecerdasan akhlak, dan sosial.

Mudah – mudahan apa yang menjadi harapan dan cita-cita dapat Allah kabulkan dan semoga Allah meridhai setiap ikhtiar yang dijalani (Amin).

“… Dan wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita yang baik…. “ (Annur ayat 26)

(Goresan pena menanti detik-detik ta’aruf hari ini…. ikhwan sholeh Insya Allah… ^_^’)
24 Oktober 2010