Jangan Panggil Aku Ustadz!

Lama tak berjumpa, sahabat yang kukenal baik ini ternyata sudah merubah penampilannya. Dagunya kini dihiasai jenggot tipis dan rapi. Tak begitu lebat namun terlihat jelas karena wajahnya yang putih bersih.

“Terkadang aku merasa malu dan risih, sepertinya gara-gara aku memelihara jenggot, sebagian teman kerja dan tetanggaku memanggilku ustadz“ katanya satu ketika.

“Kenapa mesti malu, kan jenggot itu salah satu identitas kita sebagai muslim“ jawabku saat itu. “Kalau ada teman atau tetangga yang memanggilmu ustadz, barangkali kamu malah harus bersyukur karena secara tidak langsung mereka telah mendo’akanmu“ aku melanjutkan.

“Justru aku merasa itu bukan doa, tetapi fitnah. Paling tidak aku merasa mereka mengatakan itu untuk meledekku saja. Kamu tahu kan, pengetahuan agamaku masihlah dangkal, jauh untuk bisa dikategorikan sebagai ustadz. Bahkan kamupun tahu, alasan pertamaku memelihara jenggot bukan karena mengikuti sunah nabi. Belakangan baru ku tahu kalau mencukur kumis dan memelihara jenggot itu termasuk salah satu sunah nabi, sebagai pembeda antara muslim dengan yang lain“ dia mengungkapkan isi hatinya.

Rupanya panggilan ustadz dari teman dan juga tetangganya membuat sahabatku ini tidak nyaman sehingga ia sempat berfikir untuk mencukur saja jenggotnya, agar tak dipanggil dengan sebutan ustadz lagi.

Aku teringat cerita sahabatku ini beberapa bulan yang lalu. Dia yang dianugerahi kulit yang putih bersih dan pembawaannya yang cenderung halus, terkadang merasa tidak percaya diri dengan penampilannya yang menurut dia kurang ‘macho’.

Awalnya dia ingin memelihara kumisnya, namun karena kumis yang tumbuh hanya di bagian ujung bibir saja —kala itu aku langsung teringat dengan kumisnya Tukul Arwana— maka akhirnya dia mencukur habis kumisnya, dan membiarkan jenggotnya tumbuh meski saat itu masih satu dua.

Meski tak begitu lebat -lagi-lagi aku teringat dengan Tukul Arwana yang mengatakan itu bukanlah jenggot tapi akar gigi- namun di wajahnya yang putih bersih jenggot itu nampak begitu jelas.

Setelah dia mengetahui bahwa memelihara jenggot termasuk salah satu sunah nabi, maka sahabatku inipun mantap untuk terus memelihara jenggot, meski dia tahan jika terlalu panjang. Dua minggu sekali dia merapihkan jenggotnya yang tipis itu.

Dan bila dia merasa tidak nyaman dengan jenggotnya, itu lantaran sebagian teman kerja dan juga tetangganya memanggilnya dengan sebutan ustadz (sebutan yang menurutnya lebih pas jika ditujukan kepada orang-orang yang pemahaman ilmu agamanya sudah dalam, sekaligus berperilaku islami dalam kehidupan sehari-harinnya).

Sahabatku merasa ‘diledek’ dengan panggilan itu. Ada tanda kutip mengapit kata ustadz saat orang-orang memanggilnya. Entahlah, barangkali ini hanya perasaannya saja. Tapi dia sadar bahwa perasaan tak nyaman itu kerap kali muncul, terutama ketika ada sebagian orang —yang karena sempitnya ilmu dan wawasannya— mengkait-kaitkan jenggot dengan teroris.

“Sudahlah, jangan berpikiran negative dulu. Jika ada teman atau tetangga yang memanggilmu ustadz, tentu mereka punya penilaian sendiri terhadapmu. Barangkali mereka memanggil ustadz kepadamu karena kamu dianggap memiliki pengetahuan agama lebih luas dibanding mereka. Juga keseharianmu yang lebih Islami dibanding mereka.

Dan menurutku mereka tak sepenuhnya salah, sebab terbukti kamu tahu bahwa memelihara jenggot itu salah satu sunah nabi dan kamu sudah mengikutinya. Juga, kamu tahu bahwa sholat berjamaah di masjid pahalanya jauh lebih banyak dan kamupun sudah membiasakannya.

Jadi jangan beranggapan bahwa mereka sedang melecehkanmu, justru seharusnya kamu lebih bersemangat untuk mempelajari Islam sehingga kamu tidak merasa apa yang mereka ucapkan itu sebuah fitnah atau ledekan.

Soal sebagian orang yang mengkait-kaitkan jenggot dengan teroris, jelas itu karena pengetahuan mereka yang sempit atau barangkali mereka hanya bercanda saja. Ini kesempatan bagi kamu, bagi kita semua untuk menunjukan identitas kita sebagai muslim.

Tidak semua orang yang memelihara jenggot memiliki hubungan dan bisa dikait-kaitkan dengan teroris. Itu lucu dan malah kelihatan memaksakan pendapat saja“ aku mencoba memberikan semangat padanya.

Kulihat sahabatku manggut-manggut, pertanda dia setuju dengan pendapatku.

“Bagaimana, masih mau mempertahankan jenggot atau kamu mau kembali kepada penampilanmu yang dulu?“ aku berharap dia memilih opsi yang pertama, mempertahankan jenggot sebagai identitas muslim.

“Insya Allah, saya akan tetap memelihara jenggot. Dan mudah-mudahan pula orang tak lagi memanggilku dengan sebutan ustadz. Bagaimanapun, aku lebih nyaman tanpa panggilan itu“

“Yang penting kamu tidak pernah meminta untuk dipanggil seperti itu. Anggap panggilan ini sebagai do’a. Ingat, nabi menyuruh kita untuk memberikan nama yang baik kepada anak-anak kita, karena dibalik nama itu ada do’a. Setiap kita menyebut namanya, setiap itu pula kita mendoakannya. Dan panggilan ustadz adalah panggilan yang baik, semoga satu saat nanti kamu benar-benar menjadi ustadz yang akan berjuang untuk agama ini (Islam). Amin“

Dan, beberapa bulan kemudian, kami kembali bertemu. Kulihat jenggot itu masih terpelihara dengan rapi.

Alhamdulillah!. Aku sengaja tak bertanya lagi soal panggilan ustadz itu, biarlah dia merasa nyaman dengan pilihannya. Dia tak ingin di panggil ustadz, itu yang selalu kuingat.

abisabila.blogspot.com