Keputusan Anisa

Di sekolah, dua minggu menjelang acara perpisahan kelas enam

“Maaf Bu, sepertinya saya tidak bisa ikut kirab” Anisa menjawab pelan. Suaranya bergetar karena takut sang guru marah.

“Kenapa Nisa? Ini kesempatan bagus lho, nanti kamu akan didandani dan pasti terlihat cantik sekali. Sebelum menunjuk yang lain, ibu sudah langsung memilih kamu. Kamu termasuk yang paling cantik di kelas ini“ Bu Guru tak menyangka kalau Anisa akan menolak.

“Maaf Bu, saya tidak bisa jika harus berpakaian hanya sampai sebatas dada. Saya malu Bu!” Anisa menyampaikan keberatannya.

“Ya sudah, begini saja. Coba kamu pikir-pikir lagi, bicarakan hal ini dengan orang tuamu di rumah. Besok pagi ibu tunggu jawabannya” sang guru memberikan solusi. “Tapi ibu tetap berharap kamu mau ikut di acara kirab nanti, kamu pilihan pertama ibu” lanjutnya.

Di rumah, malam harinya

“Dua minggu lagi, di sekolah akan diadakan acara perpisahan kelas enam. Aku disuruh bu guru ikut acara kirab“ kata Anisa pada kedua orang tuanya di ruang tamu.

“Terus?” kata ibu dan bapaknya hampir bersamaan.

“Awalnya aku ingin ikut, aku ingin didandani seperti waktu acara resepsi pernikahan mbak Dwi. Tapi dalam kirab nanti pakaiannya hanya sebatas dada, akhirnya aku menolaknya. Aku malu! Kalau saja pakaian yang dikenakan tidak terbuka seperti itu barangkali aku masih mau” jawab Anisa.

“Bagus, kami mendukungmu Nak. Meskipun sehari-harinya kamu belum memakai jilbab, bukan berarti kamu bebas tampil terbuka di depan orang banyak. Besok bilang ke bu guru, kalau masih diperlukan untuk mengisi acara, ikut saja baca puisi atau nyanyi” saran sang bapak.

Di sekolah, keesokan harinya

“Bagaimana Nisa, kamu sudah minta pendapat orang tuamu?” tanya bu Guru yang tak sabar ingin mendengar keputusan Anisa. Dia berharap Anisa berubah pikiran dan mau ikut di acara kirab nanti.

“Sudah Bu. Sama seperti saya, kedua orang tua saya juga tidak setuju jika saya ikut mengisi acara dengan pakaian terbuka seperti itu” jawab Anisa tertunduk. Dia tak berani menatap wajah sang guru.

“Alasannya?” tanya sang guru kecewa.

“Bapak bilang, meskipun Anisa belum memakai jilbab, bukan berarti boleh berpakaian terbuka di depan orang banyak. Kata bapak, kalau Bu Guru masih memerlukan pengisi acara, Anisa boleh ikut membaca puisi atau menyanyi” Anisa memberanikan diri memandang sang guru di depannya.

“Oh ya sudah, tidak apa-apa. Ibu mengerti dengan alasan kalian. Kalau begitu, kamu ikut nyanyi ya? Ibu harap kali ini kamu tak menolak lagi. Tenang, kamu nanti tampil tidak sendiri, tapi bersama tujuh orang temanmu. Dan kamu juga tak usah khawatir karena untuk acara nyanyi kalian memakai pakaian muslim. Kamu bisa kan?”

“Insya Allah, Bu” jawab Anisa lega.

Sabtu siang, acara pelepasan siswa siswi kelas enam dilaksanakan

Sejak jam setengah sembilan, kedua orang tua Anisa sudah berada dihalaman sekolah yang sudah diubah layaknya acara resepsi pernikahan. Dua tenda besar didirikan berdampingan sebagai tempat duduk siswa siswi yang akan diwisuda, wali murid dan tamu undangan. Di bagian depan berdiri panggung berukuran sedang sebagai panggung hiburan dan tempat acara wisuda siswa siswi kelas enam. Kehadiran kedua orang tua Anisa bukan karena anaknya akan diwisuda, Anisa baru kelas empat. Kedua orang tua Anisa hadir untuk melihat penampilan putri semata wayang mereka yang akan bernyanyi meskipun mendapat giliran di akhir acara.

Berbagai acara kesenian satu persatu ditampilkan. Semuanya lucu dan mengibur. Pukul sebelas acara intipun dimulai. Rombongan kirab keluar dari salah satu kelas yang terletak di belakang tenda para tamu. Seorang guru berseragam toga berjalan paling depan bertindak sebagai punggawa, memimpin rombongan kirab. Di belakang sang punggawa, berjalan raja dan ratu ‘cilik’ diiringi belasan dayang putra dan putri membawa nampan-nampan berisi gulungan kertas yang akan diberikan kepada para siswa yang diwisuda. Mereka semua –kecuali sang guru– mengenakan kain dan ‘kemben’ –pakaian atas hanya sebatas dada- layaknya pakaian di kerajaan Jawa.

Kehadiran rombongan kirab disambut meriah oleh siswa-siswi dan wali murid yang hadir. Beberapa siswa, guru dan juga orang tua murid tampak sibuk mengabadikan momen ini dengan kamera ponsel dan kamera digital mereka.

Di salah satu sudut, agak terpisah dari keramaian, kedua orang tua Anisa menyaksikan acara ini dengan mata berkaca-kaca. Bukan, bukan karena Anisa ada diantara para dayang cilik yang terlihat lucu dan menggemaskan. Anisa tak ada dalam rombongan kirab tersebut. Bukan tidak terpilih tapi justru Anisa yang menolaknya. Dan alasan Anisa menolak tawaran itulah yang membuat kedua orang tuanya merasa sangat terharu.

Alhamdulillah, berkali-kali kedua orang tua Anisa mengucap syukur dalam hati. Kini mereka benar-benar merasa bangga dengan keputusan yang diambil oleh putri semata wayang mereka. Bagi anak seusianya, tampil di depan teman-teman dan orang tuanya dengan dandanan yang ‘tak biasa’ barangkali kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Apalagi untuk ikut dalam rombongan kirab, para guru melakukan seleksi terlebih dahulu terhadap siswa siswinya. Mereka yang terpilih adalah yang relatif berparas cantik dan juga ganteng. Bisa ikut dalam rombongan kirab jelas sebuah kebanggan tersendiri. Tapi berbeda dalam pandangan Anisa. Ia lebih memilih melupakan keinginannya tampil cantik daripada harus berpakaian terbuka hingga sebatas dada.

Dalam kesehariannya, Anisa memang belum mengenakan jilbab. Tapi sebenarnya dia dan kedua orang tuanya sudah sepakat bahwa saat kenaikan kelas lima nanti, Anisa akan mengenakan jilbab baik di rumah maupun di sekolah. Beberapa pakaian dan seragam sekolah sudah siap delapan puluh persen. Tinggal menggenapkan dan memantapkan niat saja. Tapi meskipun sampai saat ini jilbab belum dipakai, sesungguhnya hati Anisa sudah mulai berjilbab. Itu terbukti ketika sang guru menawarinya ikut dalam rombongan kirab, Anisa menolaknya. Hal ini yang membuat kedua orang tuanya merasa haru dan bangga dengan pemikiran Anisa.

Acara demi acarapun berlangsung dengan lancar dan meriah. Menjelang akhr acara, Anisa dan ketujuh temannya tampil menyanyikan sebuah lagu. Keharuan begitu nampak di wajah kedua orang tua Anisa. Mereka bangga menyaksikan putri tunggalnya tampil anggun dengan pakaian muslimnya. Mereka bangga dengan keputusan Anisa. Mereka semakin yakin bahwa buah hatinya telah siap untuk berjilbab.

“Ya Allah, bimbinglah anak kami agar ia tetap istiqomah saat sudah berjilbab nanti. Tuntun kami agar bisa membimbingnya menjadi anak yang sholehah, yang bukan saja membanggakan kami selaku orang tuanya tapi juga agama dengan jilbabnya. Amin” lirih mereka berdoa “Anisa, kau tampak lebih cantik dalam pakaian jilbabmu. Berjanjilah nak, bahwa saat kau mulai mengenakannya nanti, kau tak akan melepasnya lagi !”

abisabila.blogspot.com