Salah Menanam Cinta

Di dalam sebuah kamar bercat merah jambu, menangislah seorang anak muda belia, pelan namun lama kelamaan semakin mengeras. Sudah beberapa kali ibunya mengetuk pintu kamar itu, tapi tidak juga ia hiraukan. Hingga terasa habis air matanya, ia masih terbayang bagaimana kedua orangtuanya melarangnya untuk memakai jilbab.

Tidak cukup sampai disitu, anak itu juga pernah mengajukan permintaan kepada nenek kesayangannya, namun lagi-lagi larangan dan omelan pula yang ia dapatkan dari nenek kesayangannya itu. Tidak ada pihak yang membelanya.

Betapa tersiksanya rasa batin anak itu ketika keinginannya untuk mencontoh seorang ibu guru sekolahnya yang memakai selalu jilbab, mendapat larangan oleh orang-orang terdekatnya.

Sampai, beberapa hari ia hanya mengurung menyendiri di kamar…, hingga di suatu sore, …tok-tok…tok…, pintu kamarnya ada yang mengetuk, ternyata ia dipanggil oleh ibunya dan memberitahu kepadanya bahwa ada seorang ustadz datang khusus untuk membahas permintaannya selama ini.

Dengan penuh harap, akhirnya anak itupun mau keluar…, duduk di samping bapak dan ibunya menghadap sang ustadz yang telah menunggunya. Spontan, ibunya berkata kepada sang ustadz…"ini ustadz…anak saya yang ingin sekali memakai jilbab…" Lalu sang ustadz pun dengan senyum santun menyapa…, "Joko anak yang sholeh…, memakai jilbab itu memang wajib tapi hanya khusus untuk anak perempuan, jadi tidak boleh anak laki-laki memakai jilbab, ini saya belikan peci yang bagus buat Nak Joko…"

***

Sekilas, cerita di atas amatlah menggelikan. Namun jika kita sejenak merenung, sebenarnya tak jauh bedanya dengan keadaan kita sebagai ummat muslim di saat ini. Kita mengaku-ngaku ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam…, mengaku-ngaku mencintainya, namun ternyata perilaku kehidupan kita sehari-hari malah meniru idola-idola murahan lainnya, seperti selebriti atau artis dan sebagainya.

Sebagai contoh Rasulullah SAW menganjurkan agar kita memelihara jenggot dan mencukur kumis kita misalnya, namun dengan bangganya kita menghabis-bersihkan jenggot kita dengan seribu alasan. Tak beda dengan cerita Joko di atas, sudah jelas-jelas laki-laki namun masih saja bersikukuh ingin mengenakan jilbab, ternyata ia salah mengidolakan ibu gurunya.

Kita selama ini serasa sudah kehilangan figur manusia agung itu, manusia yang ma’shum, manusia yang menyimpan tak terhitung teladan terbaik di sepanjang masa. Baik beliau sebagai ayah, sebagai panglima perang, sebagai seorang suami, sebagai seorang pemimpin dan sebagainya. Tidak ada yang tersisa satupun akhlak kebaikan yang tidak pernah beliau contohkan kepada ummatnya.

Sampai-sampai Allah menyampaikan hal tersebut dalam firmanNya :

Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33] : 21)

Namun entah mengapa, sosok cahaya agung itu kini hanya banyak terpampang di hiasan dinding masjid dan rumah kita. Lalu hilang di saat kita menjalani berbagai aktivitas di kehidupan kita. Tak nampak dalam tata cara pergaulan, adab di perjalanan, di saat mencari rezeki dan berbagai macam kegiatan keseharian kita.

Mungkin karena selama ini kita lebih mencintai tayangan televisi atau mungkin berbagai media yang memberitakan selebriti terkini daripada membaca Sirah Nabi (cerita perjalanan nabi), sehingga muncullah sosok idola pengganti.

Kita lebih mengerti kehidupan mereka walaupun jauh dari tuntunan Islam dibanding kehidupan Rasulullah SAW yang jelas setiap jengkal langkahnya menunjukkan kita kepada nikmat syurgaNya.

Saudaraku, sejenak pejamkanlah mata, lalu bayangkan seandainya Baginda Rasulullah SAW yang mulia hadir di sini. Lalu menyaksikan keadaan ummatnya saat ini. Betapa sedihnya beliau, jika beliau telah mengkhawatirkan kita jauh di lima belas abad yang lalu…namun kita kini dengan bangganya menapaki jalan-jalan yang mengantarkan pada kemurkaan Allahu ta’ala dan enggan menapaki jalan yang telah Rasulullah SAW contohkan.

"Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang saya khawatirkan atas kalian, tetapi saya khawatir terhampar luas bagi kalian dunia ini, sebagaimana telah terhampar pada orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba sehingga membinasakan kalian, sebagaimana telah membinasakan mereka." (HR Bukhari, No. 5945, Muslim)

Saudaraku, mencintai Rasulullah SAW jelas tak cukup dalam lisan atau sekadar perayaan rutin Maulid semata…, mencintainya adalah bagaimana kita berusaha untuk mengamalkan sunnah-sunnahnya.

Sholat berjamaah ke masjid bagi para laki-laki misalnya atau berbagai amalan yang telah beliau contohkan, dari urusan terkecil yaitu adab ke kamar mandi hingga mengurus sebuah negeri. Mari duduk dan hadapkan diri di depan cermin kejujuran yang paling jernih, lalu tataplah wajah kita masing-masing, pantaskah kita disebut sebagai ummat Nabi SAW yang agung itu?

Atau jangan-jangan cinta kita selama ini hanya sebatas lisan semata, membenci Ahmadiyah misalnya, yang telah terang-terangan menggantikan Rasulullah SAW dengan nabi palsunya namun dengan diam-diam kita sendiri telah menggantikan Rasulullah SAW dengan sosok idola lain dalam setiap nafas dan langkah kita. Na’udzubillahi mindzalika.