Pemilik Senyuman Sederhana

Sorot mata teduhnya menatapku bersamaan dengan senyumnya yang tulus.
“Kak Dela?” 1. sapanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Alhamdulillah, Ya Vso Kharasyo!” 2. jawabku sambil membalas pelukannya.
“Kak Deti? Vso Normalna?” 3.tanya Yasita kembali dengan tatapan antusias.
“Alhamdulillah, ani vso normalna” 4. tukasku sambil menatap tatapan matanya yang seteduh pohon Bereozky di musim panas.

Itulah sepenggal awal percakapan yang seringkali terulang bila berjumpa dengan Yasita. Seorang perempuan Chechnya penjaga kedai buku-buku Islam di dalam area Masjid Tatarsky, Moskow. Berkulit pucat dengan perawakan mungil dan memiliki senyum sederhana yang selalu tersungging di bibirnya. Yasita adalah sahabat yang kutemukan di antara dinginnya salju yang menyelimuti wilayah tersebut Tak banyak yang kuketahui tentang Yasita. Karena dialah yang lebih banyak menyusuri perjalanan hidupku lewat pertanyaan-pertanyaanya. Yang kutahu adalah beliau seorang single parent dari lima orang anak. Bekerja sudah bertahun-tahun di kedai tersebut.

Kadang ada perasaan malu bila berkunjung ke kedai Yasita. Niat awal adalah mampir sekejap untuk sekedar menyapanya bila aku selesai makan di kantin masjid. Namun, dia selalu memberiku salah satu barang dagangan yang ada di kedai tersebut. Kadang dengan sigap kuberikan sejumlah Rubbel untuk mengganti biaya pemberiannya. Namun kerap kali Yasita mengatakan bahwa itu adalah tanda sayangnya untukku. Beberapa kali ku coba mengumpulkan pakaian layak pakai dari masyakarat Indonesia yang ada di Moskow dan kuberikan semuanya kepada Yasita. Karena beliau pernah mengatakan memiliki banyak saudara yang tidak mampu. Kupercayakan semua titipan itu padanya dan Yasita juga mengatakan bahwa barang-barang tersebut sangat bermakna bagi saudara-saudaranya.

Beberapa waktu pernah kuundang dia makan malam ke rumah. Namun Yasita selalu mengatakan bahwa waktunya habis untuk mencari nafkah dari pagi hingga petang. Malam adalah waktunya bersama anak-anak, istirahat dan munajat katanya. Aku tersenyum dan memakluminya. Karena itulah aku kerap menyambangi atau sekedar menyapa pada jam makan siang. Kuharap kuantitas waktu dalam benang persahabatan yang sedikit itu akan terbayar dengan dekapan erat yang tulus saat berjumpa.

Saat bersamanya dalam percakapan, aku tak seberapa pandai menjejaki latar belakangnya menjadi seorang ibu tunggal. Namun ada perasaan lain yang menjalar saat berada dekat dengannya. Gigitan salju di bawah nol derajat, mampu menghangat bila berjumpa dengannya. Dengan keramahan dan senyumnya yang sederhana dan begitu tulus bagiku. Seolah menutup semua keingintahuanku tentang Yasita. Dia tak menuntut banyak dari jalinan yang kami rajut. Maka, aku pun sangat menghormatinya dan lebih baik membuang segala rasa penasaran yang hinggap. Bagiku, jalinan ukhuwah kami akan terikat erat seiring senyumnya yang tulus dan sederhana itu. Semoga Allah memberi Yasita berkah dan pahala yang tak sesederhana senyumannya.

Wassalam Ellina Supendy

Ket:
1. “Apa Kabar?“
2. “Alhamdulillah, saya baik-baik saja“
3. “Bagaimana anak-anak? Semua dalam keadaan normal?”
4. “Alhmdulillah, mereka baik-baik saja”