Pengalaman Pengantin Baru

Menegur orang yang berbuat salah itu adalah suatu kebajikan, bahkan menurut saya menegur orang yang berbuat salah lebih sulit ketimbang mengajak orang lain berbuat kebaikan. Tapi, bagaimana bila yang terjadi justru sebaliknya, bukannya menegur orang yang berbuat salah, melainkan salah menegur orang yang tidak berbuat salah? Duh…yang pertama, malu pastinya. Hati-hati, teguran kita justru dapat menjadi fitnah, lha wong nggak berbuat salah kok? Bisa dituntut dengan pasal pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan lho…

Saya mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga akan hal ini, dari pengalaman saya sendiri.

Dua hari setelah acara pernikahan, saya mengajak suami ke desa tempat tinggal nenek saya. Menjenguk nenek saya yang sedang sakit, sekaligus memperkenalkan keluarga besar saya pada suami. Pagi hari usai sholat subuh saya dan suami keluar rumah untuk menikmati pemandangan desa dan menghirup segarnya udara pagi pedesaan.

Ditengah jalan, kami berpapasan dengan rombongan pemuda yang berpenampilan khas anak santri, sekitar 5 orang. Arah kami berlawanan. Hanya dua langkah setelah mereka melewati saya dan suami, salah seorang berseru,

"Bukan mahrom !"

Suasana yang hening membuat seruan itu terdengar begitu jelas. Saya dan suami menengok ke samping kanan, kiri, dan belakang kami, tak ada orang lain selain kami, dan hanya kami yang merupakan pasangan. Sedikit bingung, karena kami tidak berlaku sebagaimana orang pacaran, seperti bergandengan tangan atau berangkulan.

Oalah…saya dan suami pun kemudian mengerti. Rupanya mereka mengira saya dan suami adalah pasangan bukan mahrom, yang pagi-pagi buta jalan hanya berduaan. Saya dan suami saling berpandangan, tertawa geli.

Saya menghargai keberaniannya untuk menegur. Eh salah, baru disebut berani bila ia berdiri ke hadapan kami dan menegur secara langsung, bukan berteriak sambil lalu, kemudian berbuat seolah-olah tak pernah berkata apa-apa. Tapi biarpun begitu, saya tetap merasa salut dengan niat baiknya nahi munkar, sayang ia memperingatkan orang yang salah. Saya dan laki-laki yang jalan bersama saya sudah sah menikah. Masak jalan berduaan sama suami nggak boleh ?

Dilain waktu, masih dalam suasana pengantin baru (Lima hari setelah hari pernikahan). Ketika Jogja tertimpa bencana gempa, saya dan suami berangkat ke Jogja dari Lombok, tanah kelahiran saya. Di Jogja saya ikut sebagai relawan sebagai tim medis mobile clinic.

Sembari menunggu mobil yang akan membawa saya dan tim medis lainnya ke lokasi-lokasi bencana, saya mengambil handphone dan mengetik SMS. Seorang akhwat yang belum saya kenal rupanya secara tidak sengaja atau sengaja ? Melihat barisan kata yang tengah saya ketik dihandphone saya,
"Sayang, lagi ngapain…? Adek kangen…"
Terkirim kepada "Lelaki Surga", nama yang saya berikan untuk suami didalam kontak handphone saya.

Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi bencana, si akhwat tersebut acuh tak acuh terhadap saya, tak ada keramahan yang ia tunjukkan. Ketika tiba dilokasi dan kami mulai bekerja, disela-sela istirahat, teman dari akhwat tersebut bertanya pada saya,
"Mbak dari mana…?"
"Saya dari lombok…"
"Lho, jauh sekali…terus disini (Jogja) tinggal sama siapa?"
"Nginap di rumah Budenya suami…"

Si akhwat yang sempat melirik SMS mesra saya tadi, mendengar perbincangan antara saya dengan temannya. Serta merta ia terperangah dan berkata,
"Ooooh mbak udah nikah, yaa…? Duhh…saya jadi maluu…"
Barulah sikapnya berubah ramah terhadap saya.

Tidak tabayun (Konfirmasi), Su’udzon deh jadinya…

Belajar dari pengalaman tersebut, saya pun jadi lebih berhati-hati menilai orang lain. Ternyata, kita tidak boleh begitu saja menilai orang lain itu salah dari hanya penglihatan luar kita saja, apalagi bila hanya berdasarkan prasangka.

Suatu hari, ketika saya tengah ikut suami ke kampus, sembari menunggu suami selesai kuliah, saya main internet di warnet kampus. Di box tepat didepan saya digunakan oleh sepasang muda-mudi yang tingkah laku mereka membuat saya merasa gerah. Perempuannya menggunakan celana super pendek dan ketat dengan baju atasan tak kalah ketat dan terbuka, sedang yang laki-laki menggunakan jaket bertopi yang menutupi kepalanya. Melihat dari cara berpakaian si perempuan, mungkin wajar bila orang menyangka ia bukanlah perempuan baik-baik.

Tingkah mesra mereka yang saling memeluk dan mencium membuat saya jengah hingga kehilangan konsentrasi. Berbagai pikiran negatif berkecamuk dalam benak saya. Mereka harus diberi peringatan, nih! Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan! Saya pun menyusun kalimat apa yang akan saya lontarkan kepada mereka, terus terang deg-degan! Nahi Munkar memang butuh keberanian lebih. Eit…tunggu dulu, siapa tahu mereka itu pasangan menikah ? Cegah bathin saya. Teringat kembali pengalaman saya ketika pengantin baru dahulu, disangka pasangan yang belum halal alias pacaran.

Dengan menghimpun keberanian, saya pun mendekati pasangan muda-mudi tersebut.
"Mbak sama Masnya ini suami-isteri, bukan?"
Dijawab oleh yang perempuan dengan ramah, "Oh, iyaa…kita ini baru aja menikah…baru beberapa hari yang lalu"
"Ooo…pengantin baru, pantesan mesra-mesraan gitu…" Ujar saya tersenyum.

Ufh…lega…

Lega yang pertama karena mereka tidak sedang berbuat "mesum". Lega yang kedua karena saya mengkonfirmasi terlebih dahulu sebelum memberi peringatan. Tadinya, bila mereka menjawab belum menikah, saya sudah menyiapkan khotbah buat mereka. Lain waktu, saya harus belajar untuk selalu melakukan tabayun terlebih dahulu sebelum menilai orang lain salah, ataupun sebelum memberikan peringatan kepada orang lain…

cahayakhairani.multiply.com