Perhiasan Dunia

Orang tua mana yang tak akan senang bila memiliki anak yang penurut dan mampu mengerti kewajiban-kewajibannya baik sebagai seorang anak maupun hamba Allah. Betapa syukur itu tentunya tidak akan berhenti untuk terus didendangkan atas karunia-Nya.

Hari ini saya merasakan hati ini gelisah ingin berbagi rindu bersama orang-orang tercinta di rumah. Hanya melalui telpon perasaan saya bisa tersalurkan. Mendengar semua cerita keluarga yang sangat beragam dari yang sedih maupun yang bisa membuat kami tertawa bersama. Walau via audio saja, namun bahasa mereka mampu membuat saya terhipnotis dan seperti menyaksikan sendiri kejadian demi kejadian di sana.

Kali ini kakak saya sedang bangga-bangganya terhadap anak bungsunya yang masih berumur 10 tahun. Seorang anak laki-laki. Kakak mengisahkan kalau anaknya itu sejak berumur 6 tahun sudah mampu menjalankan puasa sebagaimana layaknya puasanya orang dewasa. Dari tahun pertama dia berpuasa, kakak menghitung batalnya hanya 3 hari, itu berarti dia mampu puasa 27 hari di tahun itu. Menginjak tahun kedua ternyata “liburnya” bertambah jadi 5 hari, alasannya kali ini karena kebetulan sakit. Lalu tahun ketiga alhamdulillah, hanya sempat batal 1 hari.

Cerita tahun lalu itulah yang membuat kami sempat tertawa agak lama. Pasalnya keponakan saya itu puasanya batal hanya karena melihat iklan ice cream di televisi yang kebetulan diputarnya untuk mengalihkan perasaan haus dan laparnya saat itu. Alih-alih ingin pertahankan puasa malah semakin tidak tahan goda karena iklan tersebut. Jadilah dia berlari ke dapur dan dengan tanpa dosa sedikitpun mengambil ice cup yang tersisa di sana. Ibunya kaget saat itu. “Lho kok sudah berbuka nak?“ Keponakan saya malah menjawab dengan polosnya “Bu, tadi waktu saur saya lupa menghabiskannya. Khan nanti mubazir bu kalau tidak dimakan. Menunggu buka nanti esnya sudah lumer khan bu?” masih dengan mimik menggemaskan khasnya anak-anak. Spontan saja kakak saya tertawa mendengarnya. Sejak saat itu kakak saya belajar untuk lebih teliti lagi memilih tayangan televisi maupun menaruh makanan yang sekiranya bisa menggoda keponakan saya yang masih terus belajar berpuasa.

Tahun ini motivasi kakak saya ke anaknya cukup jitu juga. Kebetulan di tempat kakak tinggal adatnya orang yang mempunyai anak laki-laki akan melakukan khitan setelah anak-anaknya berusia sekitar 12 tahun. Tapi tidak semua begitu, hanya saja umumnya kebanyakan keluarga seperti itu. Alasannya karena anak sudah besar dan bisa merawat dirinya, jadi bila khitanan dilakukan diharapkan tidak akan terlalu merepotkan orang tuanya untuk merawat pasca khitan nantinya. Dan memang sudah beberapa kali keponakan saya ini merengek ke ibunya minta untuk menyegerakan khitanan baginya, namun karena terbentur dengan hal-hal emergency lain akhirnya masih tertunda sampai sekarang. Dan dengan ide khitan tersebut, kakak saya semakin memanfaatkannya untuk membakar semangat ibadah anaknya. Dengan syarat puasanya tidak ada yang “bolong” tentunya dan ngajinya terselesaikan. Ternyata tantangan tersebut diterima dengan senang hati oleh keponakan saya. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, mungkin begitulah peribahasa yang tepat demi mendengar kabar tersebut. Semakin rajin shalatnya dan menjadi orang yang paling awal bangun sahurnya.

Pernah karena kakak saya kelelahan sehingga telat bangun sahur dan keponakan saya itu protes ke ibunya. Karena dia begitu khawatir waktu sahur yang tersisa tinggal beberapa menit lagi sedangkan ibunya belum selesai memasak makanan. Logika dia nanti bisa-bisa batal sahur karena tidak ada makanan, padahal untuk urusan sepele seperti itu tentu ibunya yang sudah bertahun-tahun menjalani kehidupan rumah tangga punya trik sendiri untuk mengatasinya. Tepat waktu kurang 20 menit makanan pun terhidang dan keponakan saya itu langsung menyerbu saja bagaikan dikejar-kejar bom waktu. Panik sendiri meskipun orang tuanya sudah menasehatinya. Memang manusia sering begitu. Ketika ada maunya begitu rajin ibadahnya, giliran keinginan kesampaian merasa kendur lagi semangatnya. Astaghfirullahal ‘adzim.

Akhirnya pembincaraan kami pun terhenti saat keponakan saya itu sudah mulai rewel meminta ibunya untuk menemani belajar menggambar siang itu.

Subhaannallah.. saya jadi iri dengan kehidupan kakak yang insya Allah sakinah bersama keluarganya. Ingin mencontoh dan segera menyempurnakan setengah dien saya setelah kewajiban saya di sini tertuntaskan. Membayangkan betapa bahagianya bila semua perhiasan dunia itu mampu mengantarkan kita menuju jannahNya. Subhaannallahil ‘adzim. Walaa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘aziim.