Perjalanan Taaruf

Jika melihat bulan, kata orang saya masih tergolong pengantin baru. Baru satu bulan terhitung 28 Oktober yang lalu. Pengantin baru yang benar-benar baru. Karena saya dan suami belum saling mengenal. Hanya satu kali bertemu sebelum menikah. Satu bulan sebelumnya. Dan itu pun tidak banyak bicara. Perkenalan mendalam baru dilakukan usai akad nikah.

Namun, pengantin baru ala saya bukanlah pengantin baru yang identik dengan bulan madu. Sama sekali tak pernah terpikirkan dengan hal yang nampaknya manis dan menyenangkan tersebut. Bagi saya, pernikahan ini sudah merupakan sebuah anugerah dan rezeki yang tiada tara. Suami saya merupakan pilihan terbaik yang Allah berikan kepada saya.

Meskipun sebenarnya suami seorang yang sibuk. Seorang yang sering berada di luar rumah. Pekerjaannya di bidang sosial menuntutnya lebih banyak mengurus masyarakat. Beberapa ipar agak sedih juga melihat kondisi yang saya alami. Tiga hari usai menikah, saya langsung diboyong ke Jakarta, tempat suami mencari nafkah.

Satu minggu kemudian, suami harus ke Padang mengirim bantuan untuk korban gempa. Beberapa ipar menyatakan maaf karena saya tidak bisa merasakan kebahagiaan pengantin baru pada umumnya. Sering ditinggal dan sebagainya. Tidak sempat jalan-jalan dan sebagainya.

Belum lagi dua minggu kemudian bapak mertua mengalami sakit parah dan dibawa ke rumah sakit. Suami terpaksa izin kerja, dan kami langsung meluncur ke kampung. Karena pertama kali naik kereta dari Jakarta, kami salah jadwal. Tiga jam kami menunggu kedatangan kereta. Dalam jeda itu, banyak hal yang saya lihat dari suami.

Termasuk bagaimana interaksinya dengan anak-anak jalanan. Bagaimana ia menarik hati mereka, dan berkomunikasi dengan mereka. Kadang sok kenal sok dekat, kadang supel sewajarnya. Perjalanan menggunakan kereta api di malam hari, membuat kami lebih memilih mengobrol dengan teman seperjalanan dibanding melihat keluar jendela.

Dari situ saya juga bisa tahu siapa suami saya. Bahwa ia ternyata seorang yang suka sekali menambah saudara. Mudah berkenalan dengan orang lain. Entah itu anak jalanan, teman seperjalanan, atau pedagang asongan sekalipun. Sepanjang perjalanan, banyak hal yang baru saya ketahui dari suami. Saya makin mengenal siapa dia.

Satu hari saya menemani suami menjaga bapaknya di rumah sakit. Esoknya kami kembali ke Jakarta. Baru seminggu di Jakarta, bapak mertua masuk rumah sakit lagi. Kali ini lebih parah. Selain tak bisa tidur, beliau memanggil-manggil terus nama suami. Seolah-olah beliau punya pesan terakhir untuk suami.

Mau tidak mau, suami harus pulang kampung. Saya pun menemaninya ke kampung lagi. Kembali merasakan indahnya perjalanan. Lalu sama-sama menunggui bapak mertua di rumah sakit.

Kakak ipar kembali meminta maaf. “Maaf, ya, De. Pengantin baru suguhannya sudah seperti ini” ujar beliau. Saya hanya tersenyum. Entah mengapa saya tidak merasakan perjalanan bolak-balik ke kampung menjaga bapak mertua yang sakit sebagai sebuah penderitaan. Sebaliknya, saya merasakan perjalanan ini sebagai bulan madu kami. Mungkin… karena perjalanan tersebut justru membuat saya lebih dekat dan lebih mengenal suami.