Pertemuan yang Terabaikan

Coba bayangkan.

Suatu hari, seorang kenalan Anda memanggil Anda dari kejauhan. Anda jarang berkomunikasi dengannya, sehingga Anda cukup yakin bahwa dia tidak banyak mengenal siapa diri Anda sebenarnya, namun dengan suatu cara, Anda cukup banyak tahu mengenai dia.

Dari kejauhan, ia memanggil nama Anda. Cukup mengherankan, karena selama ini Anda berpikir ia sudah tidak ingat lagi pada Anda, karena memang jarang berkomunikasi. Selama ini jika bertemu, ia selalu nampak acuh tak acuh, bahkan seringkali tidak menyadari kehadiran Anda. Tapi kali ini dia memanggil nama Anda dengan nyaring sekali dari kejauhan.

Terbit rasa senang dan sedikit tersanjung dalam hati Anda. Ternyata selama ini dia juga memperhatikan Anda. Semua manusia normal pasti merasa senang jika mendapat tambahan teman. Kabar baik untuk hari ini. Maka Anda pun segera menghampirinya. Saking senangnya, Anda setengah berlari mendekati tempatnya berdiri.

Apa dinyana, ketika tiba di depan mukanya, ia langsung nyerocos bagaikan tengah bicara sendirian. Sepertinya ia hanya memanggil Anda untuk meminjam telinga. Ia hanya ingin didengarkan, tanpa peduli pada feedback, tidak juga peduli pada pendapat Anda mengenai apa yang dibicarakannya. Ia bahkan tidak begitu peduli apakah kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya itu tersusun dengan baik sehingga bisa dicerna akal sehat atau tidak. Dia hanya ingin memuntahkan kata-kata, dan telinga Anda dipaksa untuk menelan muntahannya itu.

Komentar? Tidak perlu. Dia tidak memberikan waktu. Pendapat? Tidak relevan. Bukan untuk itu dia memanggil Anda. Sanggahan? Apalagi! Dia bahkan tidak begitu menyadari kehadiran Anda.

Setelah ocehan-ocehannya dikeluarkan dengan sukses, ia langsung berlalu tanpa menoleh lagi. Anda menertawakan diri sendiri yang tadi sempat merasa tersanjung karena ia memanggil nama Anda dengan nyaring.

Bagaimana perasaan Anda jika hal ini terjadi pada Anda? Tersinggung? Terhina? Kesal? Marah? Ingin memukul, atau siap menghujaninya dengan caci-maki? Apa predikat yang akan Anda sematkan padanya: tidak tahu malu, atau kurang asem?

Atau jangan-jangan Anda sendiri pernah berbuat begitu?

* * * * * * *

Shalat itu tiang agama, dan inti shalat adalah doa. Karena itu, kalau tidak berdoa, maka shalat menjadi tiada arti, dan pengakuan kita sebagai Muslim pun menjadi tidak lebih dari sekedar basa-basi belaka. Anda pasti paham bahwa Islam adalah agama yang menghendaki para penganutnya memiliki hubungan yang dekat dengan Allah, sehingga dalam sehari minimal harus ‘bertemu’ dalam shalat sebanyak lima kali. Anda juga pasti paham bahwa Islam memiliki kekhasan tersendiri karena Al-Qur’an menjelaskan dengan sangat tegas bahwa Allah itu dekat; tidak jauh, tidak sulit dijangkau, tidak perlu dipanggil keras-keras, dan tidak perlu perantara untuk menggapai-Nya.

Dari sekian banyak orang yang saya tanya, kebanyakan berpendapat bahwa makna “doa” adalah “meminta”. Ironisnya, tidak banyak yang tahu bahwa kata “doa” dalam bentuk asalnya dalam bahasa Arab berarti “memanggil”. Itulah sebabnya doa yang diajarkan Rasulullah saw. juga berisikan puji-pujian kepada Allah SWT, bukan sekedar permintaan. Puji-pujian itu dihaturkan, selain karena memang wajar dialamatkan kepada Allah, namun juga karena kita menyadari betul bahwa kita telah ‘memanggil/ menyeru’ Allah SWT, sehingga Dia hadir di hadapan kita, dan kita merasa wajar untuk menghaturkan puji-pujian kepada-Nya.

Ada konsep lain dalam agama Islam yang tidak kalah uniknya, yaitu tentang sikap Allah SWT kepada hamba-hamba yang mendekat kepada-Nya. Jika kita melangkah, maka Dia melangkah lebih jauh lagi untuk mendekati kita. Jika kita berjalan, maka Dia akan berlari. Jika kita berlari, maka Dia akan datang dengan kecepatan lebih tinggi lagi. Tentu saja proses ‘saling mendekat’ ini tidak terjadi secara fisik, namun lebih menggambarkan kemesraan hubungan antara Allah SWT dengan hamba-hamba-Nya yang berusaha untuk mendekatkan diri.

Jadi, ketika kita berdoa (baca: menyeru Allah), maka sudah bisa dipastikan bahwa Allah tidak akan bersikap cuek. Jika kita menyebut nama-Nya dengan lirih, maka dijamin Allah akan menjawab seruan itu dengan lantang. Jika kita berusaha menjangkau-Nya, maka Allah pasti lebih jauh jangkauan-Nya.

Karena inti shalat adalah doa, sedangkan doa adalah menyeru kepada Allah, maka takbiratul ihram bisa dianggap sebagai seruan pembuka. Ketika bertakbir, artinya kita tengah menyatakan keinginan kita agar Allah hadir di hadapan kita agar kita bisa berbincang-bincang dengan-Nya. Sekali lagi, ketika seorang hamba menyeru, bisa dipastikan Allah SWT tidak akan cuek bebek.

Ironisnya, kitalah yang seringkali cuek kepada Allah. Ketika Allah sudah hadir di hadapan kita, kita malah nyerocos sendirian, seolah-olah semua kalimat yang meluncur dari lidah kita itu adalah lip service belaka. Serangkaian hapalan yang kita perlakukan bagai basa-basi di hadapan Dia yang kita seru nama-Nya. Dia sudah datang dengan kecepatan tinggi setelah mendengar seruan kita, namun pada akhirnya kita bahkan tidak menganggap kehadiran-Nya. Ini komunikasi atau monolog?

Pada akhirnya, ucapan salam tidak ubahnya seperti membuang muka di hadapan Allah. Kita tidak peduli lagi pada-Nya setelah ‘memuntahkan’ semua hapalan kita, lalu kita berlalu dengan cepat seolah-olah kemesraan itu tidak pernah ada. Allah menawarkan kehangatan, kedekatan, dan ketenangan, namun kita memilih untuk tidak mempedulikan-Nya. Berlalu begitu saja, seperti kemarin, kemarin dulu, dan kemarinnya lagi. Lima kali sehari. Bagaimana perasaan Anda jika diperlakukan seperti demikian sebanyak lima kali sehari? Jawablah sendiri.

Ya Allah, tega nian hamba-Mu ini…

– artikel ini pernah dimuat di http://akmal. Multiply. Com/journal/item/516

Wassalaamu’alaikum wr. Wb.