Pesan "Batin" Sang Kanibal

Anda tentu sangat paham dengan sosok laki-laki ‘ndesa’ asal Pelumutan, Kemangkon, Purbalingga, Jateng. Selepas keluar dari “nyantri’ di lembaga pemasyarakatan Purwokerto, laki-laki ini makin terkenal bak selebritis. Tak tanggung-tanggung, tiga stasiun televisi swasta pun ikut mengudangnya untuk wawancara langsung dari studio. Tak hanya itu, bahkan hampir semua media massa, baik lokal maupun nasional ikut memberitakan perilaku aneh laki-laki ini. Dia tak lain adalah Sumanto.

Tentu tidak akan seterkenal sekarang ini, jika ia tidak memakan mayat nyonya Rinah (80). Tentu ia akan biasa-biasa saja jika tindakannya itu tidak luar biasa. Dan rupanya ia makin terkenal setelah ia mendapat penolakan dari warga desanya sendiri untuk kembali ke kampung halamannya.

Sesuatu yang wajar saja, jika tindakannya memakan mayat berbuntut panjang. Bentuk keadilan yang diaplikasikan dengan hukuman, itupun belum cukup. Banyak warga desanya yang keberatan jika ia pulang kembali ke Pelumutan, desa tempat kelahirannya.

Dalam bahasa agama, setiap kejadian yang menimpa mahluk Allah, pasti ada kebaikan di dalamnya. Dalam peristiwa itu tentu kita diajak untuk mengarungi samudra perenungan yang cukup dalam.

Sumanto, seperti kita juga, ia adalah manusia. Terlepas apakah ia beruntung atau tidak. Manusia waras atau tidak. Tapi ada hal yang barangkali bisa kita renungi bersama. Atau kalau boleh saya katakan, merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua. Rakyat, pemimpim, rohaniawan dan juga kalangan akademisi.

Mohon maaf, melihat latar belakanag Sumanto sendiri, kita tahu, bahwa ia berangkat dari sebuah keluarga yang minus. Kemiskinan selalu membawa dampak yang sangat fatal kepada lingkup kehidupan manusia. Apalagi jika tidak didasari pondasi agama yang kuat. Seperti yang terjadi pada diri sang kanibal ini

Seandainya, ia punya latar belakang yang cukup mampu, ada kemungkinan ia tak begitu kesulitan untuk menempuh jalur pendidikan. Baik formal maupun informal. Kemiskinan dan pendidikan adalah seperti dua sisi mata uang, yang keduanya saling menentukan.

Ada pesan ‘batin’ yang disampaikan Sumanto kepada kita. Bahwa ternyata saat ini masih banyak di antara kita yang amat minim tersentuh pendidikan karena kemiskinan. Dan tentu ini merupakan agenda besar umat Islam saat ini.

Kenyataan hidup sering bicara lain. Ketika kita sedang terjepit dalam posisi yang sangat berat mengarungi kehidupan, kita sering berbuat di luar kontrol. Apapun informasi dari orang, baik itu yang sesuai dengan agama atau tidak. Sesuai dengan garis yang telah ditentukan negara apa tidak, kita tidak begitu memperdulikan. Kecuali bagi mereka yang masih kuat memegang agama dengan gigi gerahamnya. Dan untuk menempuh jalur pendidikan agamapun ternyata juga perlu biaya.

Kemiskinan membawa kita pada posisi rendah. Rendah pendidikan, rendah pergaulan dan rendah martabat. Ali bin Abi Thalib, pernah mengatakan, “Jika kemiskinan itu berujud manusia, maka akan kubunuh dia”. Itu berarti betapa besarnya dampak kemiskinan bagi kita.

Semoga kita selalu diberi semangat seperti sahabat Nabi itu dalam memerangi kemiskinan, dengan kemampuan dan kekuatan kita masing-masing. Sehingga tak akan ada lagi lahir sosok aneh seperti Sumanto, dengan alasan apapun dan bagaimanapun. Termasuk alasan ingin memperkaya diri dengan jalur ilmu hitam seperti yang dipraktekan sang Kanibal.

****

Purwokerto, Des 06 <[email protected]>