Puasa Di Persimpangan Nafsu

Seandainya hanya dengan dapat menahan hawa nafsu orang sudah dianggap beriman, alangkah murahnya iman itu. Tidak sebanding dengan balasan Allah kelak yang amat agung. Sanggup menahan nafsu, hanya salah satu dari sekian indikator bahwa orang dinyatakan sebagai beriman.

Iman ibarat batu mulia, ia akan tetap kelihatan kusam dan tidak berkilau cahayanya apabila tidak diasah dihaluskan. Mustahil batu mulia itu berkilau sendiri jika tidak ada upaya keras untuk membuatnya halus dan berkilau cahayanya. Sebatas pengakuan saja, iman menjadi hilang efektifitasnya, melainkan harus diuji dengan berbagai cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kita. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan hebat sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?".

Ketika menyebut predikat orang beriman, Al-Qur’an sedikitnya menyebut dalam tiga kondisi. Pertama, menggandengkannya dengan amal soleh. Kedua, menggandengkannya dengan perintah melakukan berbagai macam kebajikan. Dan ketiga, menggandengkannya dengan larangan melakukan berbagai macam keburukan. Maka, iman dianggap ”telanjang” apabila tidak dibarengi amal soleh, ketaatan melakukan perintah kebajikan dan ketaatan untuk menjauhi berbagai perbuatan buruk. Menahan  hawa nafsu, hanyalah satu saja dari kebajikan yang maha luas itu.

Meskipun demikian, tanpa nafsu, manusia bukan lah manusia. Tapi jika nafsunya terlalu dominan menguasai hidupnya, maka hakikat kemanusiannya menjadi samar hingga tak jelas lagi beda dirinya sebagai Bani Adam atau bani thaguut.

Sekian banyak ayat menyinggung secara khusus tentang nafsu. Dari semua ayat tersebut, nafsu disebutkan dalam berbagai konteks. Ada konteks yang menegaskan bahwa Allah memahami kebanyakan manusia tidak kuasa menahan nafsu. Konteks lain tentang pujian Allah kepada Nabi Yahya atas keteguhannya menahan hawa nafsu. Di lain tempat dalam konteks menyebutkan bahwa nafsu adalah sumber kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat Allah. Sebagian besar nafsu dijelaskan dalam konteks yang negatif sebagai sumber kebinasaan, kejahatan, kesesatan, kedurhakaan, kezaliman, kemaksiatan dan berpaling dari jalan Allah. Qabil yang membunuh saudaranya Habil disebut dalam konteks ini. Juga kaum Nabi Luth yang melakukan penyimpangan seksual (homoseks) disebut karena memperturutkan hawa nafsu. Demikian pula orang-orang yang menyia-nyiakan shalat disebut dalam rangkain konteks ini. Bahkan Bani Israil tega membunuh para Nabi karena memperturutkan hawa nafsu. Banyak dari ayat dalam konteks ini menyerukan untuk mengikuti syari’at dan jangan memperturutkan hawa nafsunya. Adapun orang yang takut kepada Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka surga adalah tempat tinggalnya kelak.

Nafsu tidak untuk dibunuh, karena membunuhnya melanggar kodrat. Melainkan ia untuk dikendalikan, sebab mengendalikannya mencocokkan kesesuaian dengan fitrahnya. Manusia bukanlah malaikat tetapi juga bukan syaithan terlaknat. Jika nafsu sudah dapat dikendalikan dengan iman, berubahlah ia menjadi nafsu yang memancarkan rahmat Tuhan.

Nafsu dalam bingkai rahmat Tuhan adalah kenikmatan. Ia mampu mengantarkan perjalanan hidup manusia penuh warna gairah. Syahwat adalah satu contoh konkret dalam hal ini. Kalaulah tidak terlalu disebut berlebihan, syahwat dihadirkan untuk menyempurnakan pesan-pesan agama dan kemanusiaan. Bagaimana mungkin nilai perintah perkawinan menjadi rasional apabila manusia sebagai subjek perkawinan itu tidak memiliki syahwat kepada lawan jenisnya? Lalu apalah artinya agama menuntun seorang mukmin menahan lapar dan haus dalam puasanya jika dirinya seperti malaikat yang tak punya keinginan makan dan minum? Begitulah seterusnya. Dalam bingkai rahmat Tuhan, nafsu seks dalam simpul perkawinan menjadi ibadah yang mengantarkan kepada sakiinah, mawaddah dan rahmah. Menyegerakan ”nafsu” makan dan minum saat berbuka dan mengakhirkannya saat sahur adalah kebajikan. Namun jika nafsu seks dan makan itu lepas dari rahmat-Nya, maka menjadilah ia gerbang kehinaan dalam perangkap zina dan penyakit menakutkan akibatnya. Atau tak ubahnya seperti hewan yang tidak mengenal waktu aturan makan di bulan Ramadhan, sebab malam dan siangnya sama saja tiada beda.

Mengendalikan nafsu seks dan makan minum di siang hari di bulan Ramadhan bukanlah bermaksud mematikan esksistensinya. Melainkan memperhalusnya dengan aturan pengalihan waktu pemenuhannya. Dikatakan memperhalusnya, karena meskipun ia dihalalkan di malam hari hingga terbit fajar, tidaklah dibenarkan untuk melampiaskannya berlebihan sebab telah dikekangnya seharian di waktu siang. Sebab kalau ternyata malam hari dijadikan sebagai pelampiasan habis-habisan atas keinginan tersebut, maka hakikat puasa yang dijalankannya menjadi nihil. Begitu banyak, setelah beduk dan adzan Maghrib yang dinanti menggema banyak shaimin yang kehilangan energi, kelelahan membawa beban perut karena dipaksa menampung makanan dan air di luar batas normalnya. Jika sudah demikian, ke mana fisiknya dilabuhkan sudah dapat ditebak.

Puasa memang ibadah yang sangat khusus dan rahasia. Kecuali Allah dan pelakunya, tidak ada satu pun yang mengetahui pasti bahwa seorang tengah berpuasa atau berpura-pura puasa. Banyak meludah atau kelihatan lesu tidak serta merta menjadi tanda sesorang tengah berpuasa. Atau sebaliknya, orang yang larut dalam pekerjaan berat, aktivitas yang tinggi, energik dan kelihatan selalu segar dijadikan acuan bahwa orang itu tidak berpuasa. Bukan. Bisa jadi itu hanyalah gejala dari sebuah motif (niat) puasa yang dibangunnya.

Puasa sebagai tanda keimanan tidak dipungkiri, tetapi banyak diterjemahkan dengan motif yang beraneka ragam juga adalah kenisniscayaan. Bergantung kepada kadar iman. Tebal bagai lapisan bumi atau tipis bak benang sutera keimanan pelakunya. Jika niat berpuasa dibangun karena mengharap ridha Allah, maka baginya adalah pahala dan ganjaran yang memuaskan. Karena itu, orang yang beriman juga dituntut ikhlas dalam setiap amalnya. Ikhlas salah satu kunci bahwa amal itu diterima di sisi Allah. Orang yang berpuasa dengan ikhlas adalah orang yang sanggup menahan nafsu semata-mata karena perintah Allah dan ingin mengharap ridha-Nya. Orang yang berpuasa dengan niat atau motif seperti ini, layak mendapat ganjaran seperti yang Nabi sampaikan; diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan kelak masuk surga melalui pintu ”Ar Royyan”. Ar Royyan adalah salah satu pintu surga yang hanya dimasuki oleh orang yang berpuasa sebagai pengharagaan mulia atas ketaatannya.

Lalu, bagaimana orang yang berpuasa tetapi motifnya adalah dunia. Allah akan mengganjar puasanya sesuai dengan niatnya itu. Kalau orang berpuasa niatnya karena tidak enak sama mertua misalnya, maka balasan puasanya hanya sebatas mertuanya ”merasa senang” karena manantunya berpuasa, sedangkan di hadapan Allah ia tidak mendapatkan apa-apa. Jika ia berpuasa supaya lebih dihormati oleh isteri atau suaminya, percayalah, Allah akan berikan itu. Tetapi nanti di hadapan Allah pada timbangan amal akhiratnya, ia tidak berhak lagi atas nilai puasanya, sebab balasannya telah mereka dapatkan selama di dunia. Kata Nabi orang yang berpuasa seperti ini hanya mendapat ganjaran cape, ngantuk, lapar dan haus saja. Jika hanya sebatas itu, untuk apa? Allahu a’lam bisshawaab.

 

Rasa kagum atas nalar kritis Mas Chriest, memperluas mata air ilmu yang tertimbun kesibukan waktu dalam lembar kertas berjilid.

 

Depok, September 2009