Puasa Pertama

Masih teringat Ramadhan pertama-ku.
Dalam arti, pertama kali aku menjalankan ibadah puasa sehari penuh.
Untuk anak kelas 3 Sekolah Dasar tentu bukan hal yang mudah untuk menahan lapar dan dahaga seharian penuh.

“ Bu, haus banget ya?” rintihku pada Ibu yang sedang memasak untuk berbuka.

“ Tahan saja sebentar, sudah jam setengah lima, kurang satu setengah jam lagi bedug Maghrib ditabuh “ kata Ibuku dengan tetap mengaduk sayur lodeh kesenangan Bapakku.

Aku menelan ludah, mencium wangi aroma masakan Ibu.
“ Memang orang berpuasa itu harus sampai bedug Maghrib ya Bu?

“ Ya nak, kalau cuma sampai siang puasanya tidak sah.”

“Terus…. harus tiga puluh hari penuh?” lanjutku

“ Untuk orang dewasa yang tidak ada halangan atau sakit harus berpuasa sebulan penuh”

“ Ooooo…Memang kita tidak sakit perut Bu?”

“ Itulah nak, kebesaran Allah selalu diperlihatkan pada manusia. Justeru dengan berpuasa badan jadi lebih sehat.” Ibu memandangku.

“ Tapi kalau tidak makan sebulan kan badan jadi kurus Bu?” aku masih bertanya

Ibu mendekat seraya mengusap kepalaku
“ Tentu tidak nak. Kita hanya memindahkan waktu jam makan saja dari makan pagi menjadi sahur dan makan siang dan malam di ganti saat berbuka di waktu maghrib.”

“ Berarti kita makan cuma dua kali sehari dong?” aku terus bertanya.

“ Coba kamu perhatikan, apakah Ibu dan Bapak kurus. Lalu apakah pak RT kurus, juga pak Ustadz di masjid Nurul Falah kurus? Tidak kan. Padahal kita semua berpuasa sebulan penuh setiap tahun.”

Aku menganggukkan kepala.
“ Iya ya Bu, Bapak dan Ibu tidak sekurus Pak Ojang tukang balon yang sering lewat depan rumah kita….. Oooooooo mungkin pak Ojang puasa setiap hari kali ya Bu, makanya badannya jadi kurus? Hebat juga pak Ojang, bisa berpuasa setiap hari.”

Aku teringat seorang bapak penjual balon yang biasa lewat depan rumah kami. Aku masih delapan tahun saat itu, belum lagi terpikir tentang kesengsaraan orang lain. Yang aku tahu saat itu adalah “berpuasa itu berarti tidak makan dan tidak minum”, meskipun keluarga kami tidak tergolong orang berada, namun bila hanya untuk makan sehari tiga kali, Bapakku sanggup memenuhinya dengan sedikit mengenyampingkan makanan empat sehat lima sempurna. Kini setelah lewat tiga puluh tahun kutahu, Pak Ojang yang hidup sebatang kara, badan kurusnya bukan karena rajin berpuasa, tetapi terpaksa tidak makan, badan kurusnya memperlihatkan kesengsaraan yang dia hadapi. Masih lekat dalam ingatanku, baju lusuh yang biasa dipakainya tidak bisa menutupi tonjolan-tonjolan tulang yang nyaris tak berlemak.

Kini aku baru paham jawaban Ibu “ Iya nak. Dengan berpuasa kita juga ikut merasakan rasa lapar yang biasa dialami orang-orang seperti Pak Ojang”
Terus terang saat itu aku belum paham makna ucapan Ibu tentang “emphati” tersebut, yang aku tahu setiap malam Takbiran, Pak Ojang selalu menerima bingkisan dari Masjid.

Oh Pak Ojang yang malang, akankah puasaku selama ini, hanya untuk menggugurkan kewajibanku pada perintah Allah semata, tanpa pernah mengambil hikmah yang banyak tersirat di dalamnya. Aku kini memang paham apa yang pernah Ibu ucapkan tentang puasa dengan ikut merasakan rasa lapar yang biasa dialami orang-orang seperti Pak Ojang, tetapi pada kenyataannya selama ini, setiap kali aku berbuka puasa, segala makanan yang kusuka kubeli walau belum tentu kumakan semuanya, dan pada akhirnya terbuang percuma. Lalu nanti akhir Ramadhan, saat Takbir berkumandang, kami sekeluarga hanya sibuk memilih baju dan sarung yang akan dikenakan esok hari.

Ya Robb, hanya Engkau yang dapat membutakan “lapar mata” kami dan menjadikan Ramadhan bukan sekadar bulan ritual semata.

Semoga Allah selalu menuntun kamidalam Ramadhan kali ini.

(Lantai 11 sebuah gedung di Sudirman, 1 Ramadhan 1429 H)