Pulanglah…

Pulkam ( pulang kampung ) adalah hal yang lazim terdengar, diakhir-akhir ramadhan. Saat di pasar, saat di masjid maupun saat kita di taksi ( di Sengata, angkot dinamakan taksi ), perbincangan pulkam adalah hal yang biasa Saat lebaran memang adalah saat dimana para musafir dan perantau punya tujuan pulang ke kampung halamannya. Menumpahkan kerinduan kepada keluarga besar, terutama kedua orangtua, khususnya ibunya.

Kepulangan ke kampung halaman memang sebuah kenikmatan. Nikmat karena bila berada di dalam lingkaran keluarga yang telah membesarkan kita, maka perasaan tenang dan nyaman akan melingkupi kita. Oleh karena itulah di saat kita berada di kota yang berbeda, ataupun pulau yang berbeda dari kampung halaman kita, maka kerinduan itu akan selalu bernyanyi di relung hati kita, karena ingat betapa indahnya bila kita dapat bercengkrama dan berbagi cerita pada mereka yang di kampung. Yang di kampung pun akan sangat senang mendengar cerita-cerita kita, tentang sebuah tempat atau kota yang kita jalani saat ini. Tentu akan menimbulkan kebahagiaan membagi dan mendengar cerita yang di iringi suasana keakraban.

Pulkam memang sangat layak untuk dijalani, karena  sepertinya pada waktu itulah semua orang punya waktu libur yang sama. Pada waktu libur yang bersamaan itulah dapat membuat kita bertemu dengan orang-orang yang ingin kita jumpai. Pulkam tentu saja dapat terlaksana bila di tunjang dana yang cukup. Karena sebagai seorang perantau biasanya akan sedikit risih bila tidak ada buah tangan, untuk orang-orang yang menyambut kedatangan kita. Perlu dana lebih pula untuk dapat berbagi rejeki kepada orang-orang yang kita tuakan di kampung kita, istilahnya sih bagi amplop. Tapi itu memang bukan sebuah keharusan, tapi sepertinya sebuah kebutuhan pada diri kita untuk dapat pula menyenangkan hati orang-orang terdekat kita, yang telah lama kita tinggalkan.

Urusan uang meng-uang, memang sebuah dilema untuk pulkam ini. Karena di satu sisi ingin berbagi saat di kampung, tapi disisi yang lain sebenarnya kita merasa kerepotan juga, karena dana yang digunakan untuk pulkam ini, adalah hasil tabungan kita selama satu tahun. Hingga kadang kita menunda ke pulangan kita, karena memang kondisi keuangan tidak memungkinkan.

Berbicara tentang uang, memang susah-susah gampang. Karena selama ini, kita terkotomi dengan pemikiran bahwa banyak uang maka urusan jadi lancar. Hingga terkadang bila kita punya uang yang “mepet” membuat kita berpikir ulang tentang pulkam. Padahal pulkam ini sebenarnya sebuah kenikmatan, baik dari rasa sang anak maupun sebaliknya, orang-tuanya.

Saya merasakan sendiri, saat ini. Kedua orang-tua telah tiada. Maka acara pulkam sepertinya kadang hanya sebuah rekreasi saja. Karena di hati ini, sudah tak merasakan sambutan dan cinta dari orang-tua khususnya sang ibu yang sangat mencintai kita. Ibu yang selalu dekat, dan merepotkan diri bila kita datang, dan sangat terlihat rasa gembiranya ketika kita menampakkan wajah di hadapan beliau. Rasa gembira yang terpancar dari wajah ibu itulah yang membuatku sering pulkam saat beliau masih ada. Tapi saat ini sepertinya, saya kehilangan setengah semangat untuk melakukan pulkam, yang banyak diminati orang.

Begitu pula cerita seorang ibu yang berasal dari  pulau Jawa. Sebutlah dia bernama A. A menceritakan bagaimana ingin bersemangatnya dia pulkam, seperti yang dilakukan di lingkungannya, tapi dia merasakan kehampaan. A merasakan sambutan sang ibu berbeda dengan saudaranya. Walaupun saudaranya sudah maksimal, tapi rasa cinta seorang ibu yang dapat dirasakannya saat pulkam, ternyata sudah tidak bisa di dapatkannya lagi. Jadi bila A bercerita pulkam, terlihat jelas sebuah kesedihan dari wajahnya, walaupun ayahnya masih hidup. Memang tidak bisa di pungkiri kedekatan antara ibu dan anaknya adalah sebuah kedekatan yang memang tidak bisa tertandingi oleh orang lain, semisal sang ayah.

Ada juga seorang ibu yang saya namakan saja B, ternyata dia punya pula perasaan yang sama dengan si A. Ayahnya pun masih hidup dan beristri lagi. B adalah seorang perantau dari Sulawesi. B merasakan sebuah perasaan hampa pula, bila orang menceritakan niatnya untuk pulkam. Tapi memang si B ini, sedari kecil tidak mengenal ibunya. Karena ibunya telah berpulang ke Rahmatullah sejak dia masih berupa bayi “merah”. Dia diasuh oleh banyak orang dan banyak keluarga. Penderitaanya saat tinggal pada orang yang ditumpanginya hidup, tidak menjadikannya rindu pada keluarga yang menghidupinya tersebut. Tak ada rasa  sayang, yang ada hanya rasa ingin membalas budi. Karena itulah B tak seantusias orang lain untuk urusan pulkam.

Pulkam yang bertujuan untuk silaturahmi pada keluarga dekat, tentu saja sebuah kebajikan yang perlu di dilakukan. Karena silaturahmi pada keluarga yang lama tak bersua, akan mendekatkan hati, dan rasa kekeluargaan yang dalam. Karena bila silaturahmi itu tidak dilakukan, kemungkinan besar beberapa tahun kemudian, kita akan merasakan sebuah keterasingan, karena memang kita memerlukan sebuah tempat untuk merasa satu hati dan memerlukan dukungan dari keluarga besar untuk  semua problema hidup kita. Maka sebuah kewajaran bila biasanya sang perantau akan banyak mengeluarkan dana untuk urusan menelpon ke kampungnya.

Bila saat ini kita punya waktu dan dana yang cukup, maka bersegeralah untuk bisa  pulkam. Karena pulkam ini adalah sebuah silaturahmi yang akan mengikatkan rasa kekeluargaan di antara keluarga besar kita dan kedekatan kita pada orang-orang yang kita cintai khusunya ibu kita. Karena pulkam akan bernilai lebih bila masih ada orang-tua yang menyambut kita. Pulkam akan terasa lebih bermakna, karena kita masih bisa sujud di kaki orang-tua kita, dan merasakan betapa mereka mencintai kita.

Pulanglah…. Sebelum ibu meninggalkan dunia fana ini. Ibu yang telah banyak berkorban untuk kita, ibu yang banyak meneteskan air mata untuk kita, ibu yang banyak berdo’a untuk kita. Beliau sangat menantikan kepulangan kita di saat lebaran Idul Fithri ( Walaupun kadang di mulutnya mengatakan sangat mengerti kondisi kita, untuk tidak menjenguknya. ) .

Kedatangan kita untuk mencium pipinya, menyentuh tangannya yang mulai keriput karena termakan usia, akan menambah kebahagiaannya karena anak yang telah dilahirkannya masih mau berkorban untuk dirinya, untuk menyentuhnya, untuk mendengar cerita-ceritanya ( walaupun kadang kita sudah sangat hapal dengan ceirta yang dilulang-ulang tersebut. ), mendengar keluhannya secara langsung. Beliau akan merasa dinomor satukan karena beliau tahu, kita dalam kondisi yang  sedikit “sesak nafas” karena tabungan yang akan menipis untuk acara pertemuan tersebut.

Pulanglah… Untuk meyakinkan ibu, bahwa kita sangat memerhatikan dan mencintai beliau walau dengan segala kondisi yang serba kekurangan. 

Pulanglah… Sebelum ibu kita berpulang ke hadirat Allah Swt.

( Ibu…. Maafkan semua kesalahan anakmu ini, disaat dikau masih hidup, karena seringkali berhitung tentang uang dan waktu untuk menemuimu. Saat ini aku hanya bisa berdoa, Semoga semua amal kebajikanmu diterima oleh Allah Swt. Amiin )

 

Sengata, 17 September 2009

Halimah Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

[email protected]