Pusara Tanpa Nama

Di suatu siang yang terik, aku bermaksud berziarah ke makam seorang ulama besar yang sangat digandurungi masyarakat Indonesia, Imam Syafi’i. Ini adalah ziarah pertamaku di makam sang imam, setelah beberapa bulan kemarin aku tiba di negeri seribu pusara. Dari halte bus, aku melangkahkan kaki menelusuri lorong kecil yang diapit bangunan-bangunan kumuh. Aku melangkah sendirian tanpa seroang teman.

Tapi sayang, setelah jauh aku berjalan, aku menemui jalan buntu. Seketika aku sadar bahwa aku telah tersesat jalan. Karena menurut informasi teman-temanku yang sudah pernah berziarah, makam Imam Syafi’i hampir selalu dipadati peziarah dan berada di komplek sebuah masjid. Sementara sekarang aku berada di area pemakaman yang sangat kotor. Aku berada di tengah pusara-pusara tua yang tampak kusam karena sudah lama tidak terawat.

Aku merasa kecapekan setelah berjalan jauh. Sesaat aku duduk beristirahat di samping sebuah pusara tua. Aku pandangi pusara yang kusam itu. Tak ada nama yang tertoreh pada batu nisannya. Mataku masih memandanginya seolah ingin menembus dinding tebal yang menghalangi pandanganku. Ingin sekali aku mengetahui keadaan dalam liang kubur nan jauh di sana.

Bagaimana kondisi sang penghuni kuburan ini? Apakah dia berada dalam gelimang rahmat, atau siksaan yang malah dia dapat? Sejenak terlintas di benakku sebuah kisah Rasulullah yang melintasi suatu pekuburan. Rasul mendengar suara jeritan penghuni kubur karena mendapat siksaan. Lalu Rasul bersabda, "Dua orang itu disiksa bukan karena dosa besar.

Salah seorang disiksa karena permasalahan buang air kecil, dan seorang lagi disiksa karena senang menggunjing." Segera Rasul mengambil sebatang dahan basah dan membelahnya menjadi dua. Rasul meletakkan belahan dahan itu pada dua pusara di hadapannya. "Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan ini?" tanya seorang sahabat Nabi. Rasul menjawab, "Semoga ini bisa meringankan siksanya, hingga dahan basah ini menjadi kering."

Aku masih membayangkan kondisi penghuni kuburan itu. Namun, tiba-tiba hatiku terasa bergetar saat lamunanku menyapa diriku sendiri. Bagaimana aku nanti saat berada di alam kubur? Kembali aku teringat pada sabda Nabi. Dua orang disiksa dalam kubur hanya karena persoalan kencing dan gunjingan; dua hal yang dianggap persoalan biasa di kalangan masyarakat pada zaman sekarang. "Astaghfirullah!" gumamku spontan.

Bagaimana dengan dosa yang lebih besar dari itu? Bagai air bah yang datang dari tempat yang tinggi, lamunanku menerjang jauh ke masa-masa silam yang pernah aku lalui. Tubuhku turut bergetar seolah tak kuat menahan getaran dalam hatiku. "Astaghfirullah!" kembali bibirku tak kuasa membendung ucapan itu. Aku mematung, diam membisu sambil menundukkan wajahku dalam-dalam. Tak terasa butir-butir air mata netetes di atas pasir. "Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosaku. Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan siksa neraka."

Setengah jam lebih aku merundukkan wajah dengan sesekali air mata yang tak tertahan. Setiap kali aku mengingat dosa-dosa di masa silam, terbayang pula siksaan yang nantinya sebagai balasan. Di saat itulah, air mataku mengalir deras meski tanpa suara isakan. Aku masih terhanyut dalam perasaan hatiku. Hingga suara adzan Ashar terdengar berkumandang menyadarkan lamunanku.

Aku usap air mataku dengan selembar tisu. Sebelum beranjak, aku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu. Tepat ke arah sebuah pohon yang rindang itu aku melangkah. Seolah ingin mengikuti jejak Nabi, aku mengambil dahan basah kemudian menaruhnya di atas pusara seraya menghadiahkan bacaan surat al-Fatihah. Aku tidak tahu, apakah penghuni kubur itu mendapat siksaan atau tidak. Tapi aku berharap, semoga seutas dahan basah itu bisa memberi manfaat kepadanya.

Usai itu, aku bermaksud berjalan dengan maksud mencari sumber suara adzan yang masih berkumandang. Aku telusuri jalan setapak di sela bangunan perumahan penduduk. Dan akhirnya, aku menemukan masjid tempat adzan itu dikumandangkan. Subhanallah, ternyata masjid Imam Syafi’i! Dengan wajah berseri, aku melangkah memasuki masjid. Aku tidak langsung menuju ke ruangan tempat sang imam disemayamkan. Setelah aku menunaikan shalat Ashar berjamaah, baru aku beranjak menuju pusara Imam Syafi’i.

Di depan pintu masuk, aku ucapkan salam kepada sang imam. Aku berusaha mendekat ke arah pusara yang berterali itu. Tapi kerumunan penziarah terlalu padat sehingga aku tidak bisa mendekat. Bahkan aku terseret arus hingga terpojok di sudut ruangan. Aku hadiahkan lantunan ayat-ayat Fatihah kepada sang imam yang selama ini menjadi madzhabku.

Namun, betapa aku terperanjat dan termangu ketika melihat pemandangan di hadapanku. Apa yang sedang mereka lakukan itu? Aku merasa aneh melihat prilaku mereka. Di antara penziarah itu ada yang menciumi terali pusara, ada yang bergelayutan ingin menyentuh pagar pusara, dan ada juga yang berdoa khusyuk hingga menangis di tepi pusara. Yang menambah perasaan heranku lagi, ada juga penziarah yang berfoto-foto di samping makam sang imam! Tiba-tiba perasaan di hatiku menjadi tidak menentu. Aku tidak mengerti, dan aku tidak paham akan pemandangan di hadapanku ini. Bahkan, sebuah keingintahuan yang tiba-tiba muncul dalam hatiku, "Bagaimana sikap Imam Syafi’i ketika melihat semua ini?"

Dengan perasaan hampar aku menerobos keluar ruangan. Aku akui, kesan ziarah pertamaku ke makam Imam Syafi’i terasa kurang menyentuh. Aku lebih merasa berkesan saat berada di pusara tanpa nama itu. Sungguh aku merasa ngeri melihat pemandangan yang baru saja aku lihat. Bagaimana mereka menafsiri sabda Rasul yang dulu pernah melarang berziarah kubur? "Dulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Tapi sekarang, berziarahlah!" Selama dalam pejalanan pulang, aku masih bertanya-tanya dalam hati, adakah faedah lain dari ziarah kubur selain mengingat pada kematian dan mendoakan si mayit? []