Ramadhan, Madrasah Pengorbanan

No pain no gain, kata orang Barat. Maknanya sama seperti pepatah di negeri sendiri, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Atau dalam bahasa Jawa yang sekaligus menjadi slogan Provinsi Jawa Timur ‘jer basuki mawa bea’, untuk dapat keberuntungan perlu biaya. Intinya, segala keberhasilan atau keberuntungan tidak jatuh begitu saja dari langit. Ia harus diraih melalui kerja keras. Ada harga yang harus dibayar. Dalam satu kata, kita bisa simpulkan bahwa kunci sukses hidup itu adalah “pengorbanan”.

Dalam konteks hablumminallah, Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah, 9:111: “Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman dengan memberikan surga untuk mereka; mereka berperang di jalan Allah, sebab itu mereka membunuh dan terbunuh menurut janji sebenarnya dari Tuhan di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Siapakah yang lebih memenuhi janjinya selain Allah? Sebab itu bergembiralah kamu terhadap perjanjian yang telah ada antara kamu dengan Tuhan. Dan itulah keberuntungan yang besar.”

Di bagian yang lain, ”Katakan: Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, perempuan-perempuanmu, kaum keluargamu, kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu kuatiri menanggung rugi dan tempat tinggal yang kamu sukai, kalau semua itu lebih kamu cintai daripada Allah, tunggulah sampai Allah mendatangkan perintah-Nya dan Allah tidak memberikan pimpinan kepada kaum yang jahat.” (Surah At-Taubah, 9:24).

Nah, apakah Allah biarkan ummat manusia berkorban begitu saja tanpa memberikannya tuntutan dan pelatihan? Tentu tidak. Sebagai Sang Pencipta yang Maha Adil, Ia telah sempurna menciptakan segala pranata bagi manusia yang ingin sukses dunia-akhirat. “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Surah Al-Baqoroh, 2:183). Diperjelas lagi padat ayat 185: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)…”

Ramadhan adalah pelatnas, kawah candradimuka, madrasah yang melatih kita berkorban untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar, kesuksesan dunia-akhirat. Pengorbanan sendiri terkait erat dengan ketaatan, tanggung jawab, rasa memiliki (sense of belonging) dan cinta kasih. Seseorang akan rela berkorban jika terdapat elemen-elemen tersebut yang melandasi tindakannya. Memang banyak pula faktor-faktor lain seperti mengharap popularitas, nama besar atau laba. Misalnya, seorang petinju yang rela berkorban bertarung habis-habisan demi mengharap nama besar dan keuntungan materi jika berhasil menang. Tapi masih diragukan apakah bentuk pengorbanan tersebut suatu bentuk yang sejatinya tulus ikhlas. Yang jelas ada sense of belonging yang dimiliki petinju tersebut terhadap profesinya. Ia rela berjibaku mati-matian hingga babak-belur dan bercucur darah karena merasa itulah profesinya dan adalah tanggung jawabnya untuk bertarung habis-habisan di atas ring.

Dengan analog tersebut barangkali kita dapat memahami makna ayat 111 Surah At-Taubah di atas yakni “transaksi antara Allah dan orang Mukmin” sebagai sebuah kata kunci mengapa kita harus berkorban demi Al-Islam. Masalah pengorbanan dalam konteks tersebut bukan masalah mau atau tidak mau namun pertanda bukti keimanan dan suatu kemutlakan eksistensi seorang Muslim.

“Seorang Muslim dapat didefinisikan dengan kepatuhan kepada Tauhid, dengan pengakuannya akan keesaan dan transendensi Allah sebagai prinsip tertinggi dari seluruh ciptaan, semua wujud dan kehidupan dari seluruh agama, ” tulis Ismail Razi Al-Faruqi, seorang guru besar di Amerika Serikat asal Palestina yang syahid dibunuh agen rahasia Israel, dalam bukunya yang berjudul Tauhid.

“Mematuhi Tuhan yakni merealisasikan perintah-perintah-Nya, dan mengaktualisasikan pola-Nya berarti memperoleh falah atau keberhasilan. Tidak berbuat demikian yakni tidak mematuhi-Nya berarti mengundang hukuman, penderitaan, dan kesengsaraan akibat kegagalan. Setiap pembacaan surah-surah Al-Qur’an yang diwahyukan di Mekah akan mengukuhkan pengalaman tentang hubungan antara Tuhan dan manusia yang bersifat perjanjian timbal balik. Ia juga merupakan pemahaman dari semua nabi sebelumnya beserta para pengikut mereka. Jiwa perjanjian yang sama menjadi landasan agama dan moral bagi bangsa-bangsa kuno. Ini jelas terlihat dari Enuma Elish dari Mesopotamia dengan kode hukum Lippit Ihtar dan Hammurabi.”

Inti pengorbanan adalah komitmen terhadap Tauhid, mengesakan Allah sebagai satu-satunya Rabb (zat dominan, sembahan, causa prima atau pengatur). Nabi Ibrahim AS mengajarkan kepada kita makna Tauhid yang sebenarnya dengan doanya:”Sesungguhnya sholatku, pengorbananku, hidup dan matiku kepunyaaan Allah rabbul ‘alamin. Tidak ada syarikat bagi-Nya dan aku diperintah untuk itu, serta aku termasuk orang yang pertama berserah diri.” (Q.S Al-An’am, 6:162-163).

Dalam Al-Qur’an, Nabi Ibrahim digambarkan sebagai orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah sehingga perintah apapun ia lakukan kendati bertentangan dengan pikiran dan perasaannya. Ketika Ismail lahir, Allah menyuruhnya “membuang” Siti Hajar dan anaknya di sebuah lembah gersang. Tatkala Ibrahim meninggalkan mereka dengan sebuah ghariba (semacam wadah air yang terbuat dari kulit binatang), Siti Hajar bertanya:”Mau ke mana engkau, Ibrahim. Engkau tinggalkan kami di lembah yang tiada siapapun dan apapun?”

Ibrahim tidak menjawab.

“Kepada siapa engkau titipkan kami di sini?” tanya Siti Hajar lagi.

“Kepada Allah, ” jawab Ibrahim pendek.

“Kalau begitu aku rela karena Allah, ” ujar Siti Hajar mantap penuh keimanan.

Ucapan Siti Hajar tersebut senada dengan pernyataan seorang sahabat Rasulullah SAW, Sa’ad bin Mu’adz, ketika diminta pandangannya mengenai keberangkatan kaum kafir Quraisy dari Mekah menjelang Perang Badar. Rasulullah saat itu meminta pendapat para sahabat apakah hendak menghadang pasukan itu di luar kota Madinah atau tidak. Dengan penuh keyakinan, Sa’ad berkata, ”Kami telah beriman kepada Anda (Rasulullah SAW) dan kami pun telah membenarkan kenabian dan kerasulan Anda. Kami juga telah menjadi saksi bahwa apa yang Anda bawa adalah benar. Atas dasar itu kami telah menyatakan janji dan kepercayaan kami untuk senantiasa taat dan setia kepada Anda. Jalankanlah apa yang Anda kehendaki, kami tetap bersama Anda. Demi Allah, seandainya Anda menghadapi lautan dan Anda terjun ke dalamnya, kami pasti akan terjun bersama Anda.” Dalam salah satu kutipan Siroh Nabawiyah yang disusun Dr. M. Sa’id Ramadhan Al-Buthy tersebut sungguh tergambar suatu keyakinan kokoh atas landasan iman sejati, dan bukan berdasarkan fanatisme buta atas kharisma seorang tokoh.

Pengorbanan merupakan indikator keimanan seorang Muslim. Pengorbanan dalam beragam bentuknya adalah prasyarat apakah seorang Muslim dapat digolongkan sebagai Muslim sejati atau tidak. Itulah sunnatullah yang lazim berlaku sejak orang-orang terdahulu. “Alif Laam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, ”Kami telah beriman” sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al-Ankabut, 29:1-3).

Sebagai dien yang kaffah, Islam tidak hanya mensyaratkan ummatnya berkorban untuk urusan ritual (ibadah mahdoh) saja.”Perumpamaan kaum mukminin dalam hal jalinanan kasih sayang, kecintaan dan kesetiakawanan adalah sama seperti satu tubuh yang bila salah satu anggotanya mengeluh karena sakit maka seluruh anggotanya menunjukkan simpati dengan berjaga semalaman dan menanggung panas karena demam.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

Dalam sebuah riwayat lain yang dikutip Jalaluddin Rahmat (Islam Alternatif, 1991) dikisahkan pertemuan antara dua malaikat. Keduanya bercakap-cakap di dekat Kabah pada musim haji. Salah satu malaikat bertanya, ”Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini?”

“Sekian ratus ribu, ” jawab malaikat yang lain.

“Berapa orang yang hajinya mabrur (diterima) di antara mereka?”

“Hanya dua orang, dan salah satunya bahkan tidak menunaikan ibadah haji itu sendiri.” Lalu diceritakan bahwa ketika si fulan itu sudah siap berangkat haji dengan perbekalan secukupnya tiba-tiba di tengah perjalanan dia melihat seorang janda miskin dengan beberapa anak yatim yang amat membutuhkan. Maka dia serahkan seluruh bekalnya kepada janda dan anak-anak yatim itu sehingga ia terpaksa mengurungkan niatnya berhaji. Namun justru karena pengorbanannya itulah Allah menerima ibadah hajinya meskipun ia baru berniat.

Atau seperti teladan Rasulullah SAW ketika beliau hendak dijamu oleh Aus bin Khaulah dengan susu dan madu selepas perjalanan jauh. Rasulullah menolaknya seraya berkata, ”Aku tidak mengatakan bahwa ini haram tetapi aku tidak ingin pada hari kiamat nanti Allah bertanya padaku tentang hidup berlebihan di dunia ini.” (HR Ahmad bin Hambal).

Ramadhan mengajarkan itu semua kepada kita. Ketika shaum tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar tapi juga menahan nafsu duniawi untuk menumpuk harta dan menumbuhkan jiwa berbagi kepada kita, terbentuklah pribadi-pribadi yang rela berkorban, hidup sederhana dan tidak bermewah-mewahan. Dalam ramadhan tidak hanya ada pranata sholat tarawih yang memberikan kita kesempatan berasyik-masyuk sendiri dengan Allah dan berjamaah tapi juga ada pranata zakat fitrah dan zakat ma’al-yang “memaksa” kita beramal sholeh secara sosial.

Jika tidak alamat bencana akan menimpa kita seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, ”Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia serta rakus dalam mengumpulkan harta maka mereka akan ditimpa empat bencana: zaman yang berat, pemimpin yang lalim, penegak hukum yang khianat dan musuh yang mengancam.” (HR Ad-Dailami).

Semoga kita menjadi pembelajar yang baik di bulan mubarak ini, dan lulus dari madrasah ini dengan baik agar “terlahir kembali seperti bayi yang suci dari kandungan ibunya”.

www.nursalam.multiply.com