Rasa Takut Dua Umar

padangpasirRasa takut (khauf) dianggap manusiawi. Berarti, manusia dianggap wajar memiliki rasa takut. Apabila rasa takut hilang sama sekali, hilang pula naluri kewaspadaan. Jika kewaspadaan hilang, manusia menjadi amat ”gesit” sehingga  ia tidak menyadari bahwa ia tengah bermain-main dalam area berbahaya. Ini bisa membuat nyawa melayang. Ngeri.

Sebaliknya, rasa takut yang amat dominan adalah virus ruhani yang melumpuhkan. Kesalehan apa yang dapat diproduksi jika manusia selalu tegang, curiga, gemetar dan selalu menutup wajah dengan kedua belah telapak tangan di pojok khayal rasa takut? Akhirnya malah stres atau hilang ingatan. Sama saja jiwa telah ”mati dalam hidup”. Tak kalah ngeri.

Ada waktu di mana manusia harus menyertakan rasa takut seperti ketika ia berdo’a meminta kepada Tuhannya (QS. Al-A’raaf [7] 55 dan 56). Ada rasa takut yang yang harus dihadapi dan diusir dengan meminta pertolongan Tuhan. Bahkan seorang Nabi Ibrahim as. pernah merasa takut ketika datang ”tamu” kepadanya (QS. Huud [11] : 47, QS. Al-Hijr [15]: 52, ). Atau Nabi Musa as. juga memiliki rasa takut atas perlakuan penduduk kota terhadapnya (QS. AL-Qasas [28] 18, 21). Atau Nabi Daud as. menyimpan rasa takut tatkala orang yang berperkara datang kepadanya (QS. Shaad [38] : 22). Begitu pula saat Rasul dan pengikutnya ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?”(QS.Al-Baqarah [2] : 214).

Sesuatu yang ditakar wajar dan pas akan membawa manfaat. Begitu pula rasa takut. Biarkan rasa takut ada sebagai respon wajar atas sunnatullah fil kaun seperti takut gagal yang memacu ketekunan dan kegigihan. Takut jatuh sakit yang membentuk disiplin berolah raga dan menjaga kesehatan. Takut ditinggal pasangan hidup yang meningkatkan frekuensi kemesraan dan pelayanan terbaik. Atau takut pada kematian yang menggenjot amal soleh dan frekuensi ibadah. Begitu seterusnya. Dalam konteks ini, rasa takut disebut sebagai cobaan yang harus disikapi dengan kesabaran sebagaimana disinggung QS. Al-Baqarah 155.

Jangan pernah bermain dengan rasa takut yang bersipat khayali dan dilebih-lebihkan. Apalagi ketakutan yang dibangun karena sebab ketidakpuasan atas sunnatullah fil kaun. Takut keriput dan tak menawan lagi lalu mengubah ciptaan dengan mendesain ulang payu dara, bokong, bibir, hidung atau dagu palsu hasil operasi. Takut kalah bersaing dalam bisnis atau dalam pangkat dan jabatan lalu mencari ”penglaris”  dan teken kontrak dengan dukun. Takut hidup sengsara karena suami telah bangkrut lalu minggat dengan lelaki lain tanpa menimbang rasa dan perasan dosa. Begitu seterusnya hingga rasa takut semakin menyiksa batin dan bikin cape sendiri.

Apa yang seharusnya dilakukan ketika rasa takut datang menghampiri? Maka lihatlah rasa takutnya, apakah rasa takut yang wajar, rasa takut yang tidak beralasan atau rasa takut yang justeru merusak. Maka kembali pada dasar keyakinan iman, sabar dan tawakkal adalah cara yang paling ampuh untuk mengatasinya. Bahkan teramat penting mampu mendesain rasa takut sebagai daya dorong ke arah yang positif. Para nabi dan orang-orang besar panutan kita juga memiliki rasa takut juga. Patutlah kita belajar dari mereka.

Siapa di antara kita tak kenal Umar bin Khattab yang sangat pemberani? Sebelum Islam, orang Arab menyebutnya “Si kidal yang pemberani”. Petarung pasar Ukasy yang selalu menang menaklukkan ”preman” Arab kala itu. Namun setelah Islam dan menjadi Khalifah dia termasuk orang yang sangat penakut. Takut terhadap pertanggung jawaban kepemimpinannya di hari perhitungan kelak.

Karena takutnya, hampir setiap malam dia ngeluyur ke tengah-tengah kampung keluar masuk lorong untuk mengetahui langsung apa yang terjadi pada rakyatnya. Takut kalau-kalau ada rakyatnya yang kelaparan, sakit atau sedang ditimpa ”kesialan” hidup. Dalam satu ronda malamnya itu, sampailah Ia di rumah kecil milik seorang janda miskin dan menangkap dialog si pemilik rumah.  Dialog seorang ibu dan anak gadisnya soal kejujuran dalam kemiskinan yang menggetarkan hatinya.

”Nak, sebaiknya kita mencampur  susu yang akan dijual besok dengan air karena sedikit sekali hasil perahan yang diperoleh tadi siang. Kalau tidak kita campur, bakal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan untuk hari ini”.

Anak gadis janda itu tidak setuju dengan pendapat orang tuanya dengan alasan khalifah melarang keras perbuatan curang.

”Tidak apalah sekali ini, anakku. Toh khalifah tidak juga mengetahui pebuatan kita ini”.

“Bunda, khalifah Umar dapat saja tidak mengetahui. Tapi, Tuhannya Umar pasti mengetahuinya. Pikirkanlah, jangan sampai ibu berbuat demikian. Takutlah kita kepada murka Allah”.

Peristiwa yang terjadi menjelang subuh itu melelehkan air mata Umar. Ia menangis haru.

Ada satu lagi Umar yang juga memelihara rasa takut. Adalah Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke delapan Daulah Bani Umayyah ini mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilihi rooji’uun sesaat setelah dibai’at sebagai khalifah. Beliau amat takut dengan tanggung jawab atas jabatan yang dibebankan kepadanya. Takut murka Allah apabila ia tidak amanah sebagai kepala pemerintahan. Dalam pidatonya beliau menyatakan :

”Wahai hadirin sekalian, aku telah dibebani tugas dan tanggung jawab yang sangat berat, padahal tanpa terlebih dahulu meminta pendapatku. Jabatan ini juga bukan atas permintaanku. Aku membebaskan kalian dari membai’atku. Silahkan kalian memilih orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah”.

’Ajiib. Rakyat justeru semakin tertarik dan berbondong-bondong membai’atnya. Hingga Umar pulang dan menumpahkan tangisnya. Isterinya; Fatimah, keheranan dan bertanya apa sebab tangisnya membuncah. Umar menjawab:

”Aku telah dipilih menjadi khalifah. Aku melihat di pelupuk mata beban berat di pundakku atas penderitaan orang-orang miskin dan lemah”.

Sejarah mencatat Umar bin Abdul Aziz dengan tinta emas. Kewibawaan, kejujuran dan keadilannya dalam menjalankan roda pemerintahan menempatkannya sebagai khalifah yang disegani dan dicintai segenap rakyat. Kepalanya adalah akal bijak, dadanya adalah keberanian seorang pahlawan, kecerdasannya adalah ke’aliman dan kefaqihan dan mulutnya bak lidah sastrawan. Pada masa pemerintahannya yang tidak lebih dari tiga tahun, beliau sukses melebarkan sayap dakwah dan Daulah Islamiyah hingga Maroko, Aljazair, Tunisia, Tripoli, Mesir, Hijaz, Najed, Yaman, Suriah, Palestina, Yordania, Libanon, Iraq, Armenia, Afghanistan, Bukhara sampai Samarkand.

Namun dalam capaian keberhasilannya, Umar lebih memilih kesederhanaan. Umar tinggal di sebuah rumah kecil  yang tidak lebih bagus dari rumah penduduk pada umumnya. Tidak heran, setiap utusan negara lain ingin menemuinya merasa heran seolah tidak percaya bahwa Umar seorang kepala negara tetapi memilih tinggal di rumah yang kecil dan jelek.

Beliau amat takutnya dengan sesuatu yang menyangkut kepentingan publik dalam jabatannya. Bahkan beliau begitu berhati-hati soal fasilitas negara meskipun itu hanyalah sebatang lilin. Pernah seorang gubernur menghadap untuk menyampaikan berbagai hal tentang jalannya roda pemerintahan dan keadaan rakyatnya. Semuanya dilaporkan dalam keadaan baik. Maka sang gubernur balik bertanya hal ihwal khalifah. Bagaimana keadaannya, kesehatannya dan bagaimana pula kesejahteraan keluarganya. Serta merta Umar mematikan lilin dan meminta pelayan menyalakan lampu dari rumahnya. Tentu saja hal tersebut membuat gubernur heran seraya bertanya mengapa khalifah melakukan hal tersebut. Dengan santainya Umar menjawab:

”Wahai hamba Allah, lilin yang kumatikan itu adalah harta Allah, harta kaum muslimin. Ketika aku bertanya kepadamu tentang urusan mereka maka lilin itu dinyalakan demi kemaslahatan mereka. Begitu kamu membelokkan pembicaraan tentang keluarga dan keadaanku, maka aku pun mematikan lilin milik kaum muslimin.”

Subhanallah, ’ajiib.

Ini adalah akumulasi buah dari rasa takut yang dimiliki oleh gadis miskin di sudut kota yang menarik hati Khalifah Umar Ibnu Khattab ketika beliau ronda malam. Umar bin Khattab lalu menikahkan putranya Ashim dengan gadis itu. Dari pernikahan itu lahirlah seorang Laila yang tumbuh dalam iman dan taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’aala. Gadis suci dan cantik itu kemudian dipersunting oleh seorang yang tepandang di Madinah karena iman dan taqwanya pula, Abdul Aziz bin Marwan. Dari rahim Laila dan wibawa Abdul Aziz bin Marwan, lahir seorang pemimpin Arab. Dialah Umar bin Abdul Aziz yang kemudian menjadi khalifah mewarisi kepemimpinan kakeknya; Umar Ibnu Khattab. Benarlah ungkapan ”like son like father”.

***

Khauf (rasa takut) memiliki kedudukan istimewa dan bermanfaat bagi hati. Tentulah takut yang dimaksud adalah rasa takut kepada Allahu Rabbul Jalaal wal Ikraam. Bahkan, perasaan takut dalam konteks ini merupakan suatu hal yang wajib ada pada diri setiap orang. “… karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (terjemah QS. Ali Imran; 175). “Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (terjemah QS. Al-Baqarah [2]: 40). Dalam ayat lain Allah memerintahkan kita agar jangan takut kepada manusia, “Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.” (terjemah QS. Al-Maidah [5]: 44).

Jika rasa takut kepada Allah tertanam kuat di dalam hati seseorang, maka ia akan menjadi benteng yang dapat menghalangi seseorang dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah. Bentuknya dapat saja jelmaan dari sifat wara’ atau disiplin memelihara diri dari kemungkinan melakukan hal yang diduga kuat dapat menyeret kepada perbuatan haram.

Berbahagialah orang yang masih menyisakan rasa takut kepada Rabb-nya seperti rasa takutnya dua Umar. Refleksi atas pemaknaan 1 Muharram 1431 H.

Allahu a’lam.

[email protected]