Relakan Kepergiannya Bunda

Pukul 04 dini hari, saya terbangun. Dering seluler yang saya seting agak keras membangunkan kantuk. Terlambat hampir 30 menit dari biasanya. Syukurlah tidak kesiangan karena terlalu nenyak meski semalaman terus mengikuti perkembangan hasil pemilu 2009.

Segera setelah telpon digenggam isteri, isak tangis dan lafadz istirja’ menggema di pagi buta.

”Ayah, Wa Atin wafat”.

”Innaa lillaahi wa inna ailaihi rooji’uun”.

Tubuh isteri saya terguncang menahan sedih. Saya maklum dengan tangisnya. Saya maklum dengan Wa Atin.

 Dalam hati, saya merasa amat bersalah dalam ketidaksengajaan. Kami terlambat menjenguknya di kampung;Bumiayu. Sampai kemudian Wa Atin lebih dulu menghadap pencipta-Nya 24 jam lebih cepat dari rencana kami menjenguk.

 Selepas munajat Maghrib, masih ada isakan tangis dan air mata isteri saya.

”Mengapa saya tidak bisa hadir saat akhir hidupnya. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih dan maaf yang tulus darinya. Allahummaghfir laha ………”.

 Dipelukan, saya usap air matanya. Saya biarkan ia bercerita panjang tentang Wa Atin. Semoga tertumpah beban kesedihan dan penyesalan hingga datang ridha dalam hatinya.

 Cerita isteri tentang Wa Atin membuat saya terpuruk pada perasaan menyesal yang semakin dalam. Menyesal bukan karena takdir kematiannya, tetapi pada kelalaian dan keterbatasan memandang wajahnya untuk yang terakhir kali. Belum lagi mempertemukan langsung anak-anak kami padanya yang selama ini hanya lewat foto. Duh, … gusti Allah.

Baginya, Wa Atin adalah bagian dari perjalanan hidup kecil hingga dewasa. Ia yang mengambil sebagian porsi mengasuh anak-anak Mama sejak bangun tidur hingga tidur kembali. Wa Atin merelakan tangan, hati dan perasaannya untuk merawat mereka dalam enam bersaudara. Bahkan hingga akhir hayatnya, Yassir adalah anak Mama yang bergantung sepenuhnya kepada perhatian Wa Atin sebab ”kekhususuannya”.

Wa Atin juga dinilainya sebagai wanita sangat tabah dalam kepahitan hidup. Suaminya tega, pergi memutuskan kesetiaan perkawinan tanpa memenuhi nafkah lahir dan batin. Anak perempuannya semata wayang, tidak memperdulikannya. Seolah memutus hubungan kasih tanpa menimbang rasa kewanitaannya. Namun Wa Atin tidak pernah mengeluh, walau kadang berharap mendapatkan perhatian putrinya itu kembali. Biarpun akhirnya sia-sia, Ia tetap hidup bersahaja. Kami tahu, guratan di wajahnya tergambar ”keletihan” atas suratan nasib yang dijalaninya.

” Salahkah aku masih menangisinya, Yah?”.

” Bukan soal salah atau benar, Bunda. Tapi soal belum atau sudah cukup. Menangis karena sedih adalah manusiawi. Semoga itu tidak salah. Kanjeng Nabi juga berurai air mata saat menguburkan Ibrahim; putranya tercinta. Selama bukan meratap-ratap, menangis adalah tanda cinta kasih. Namun …, sampai kapan air mata dan kesedihan ini mengikuti kita?”.

Hidup dan mati memang hampir tidak ada sekat antara keduanya. Ia bisa jadi berhimpitan sangat dekat, sedekat urat leher dengan nadi dan denyutnya. Sering atau pernah kita melihat, mendengar bahkan berinteraksi dengan seseorang di pagi hari, namun di petangnya dia telah pergi membawa amal perbuatannya ke liang lahat.  Bahkan saya masih ingat cerita takdir seorang sahabat ketika ia ditinggalkan isterinya di pagi hari, padahal malamnya mereka masih bercumbu. Itulah tanda, bahwa hidup dan mati tak terbatas ruang waktu, tak ada kompromi, meskipun sedetik untuk penundaan atau kesegeraan.  

Begitu rahasianya hidup dan mati, ia mampu memberi daya dorong bagi manusia tertentu untuk berhati-hati dalam hidup dan bersiap selalu untuk menjemputnya. Tetapi begitu rahasianya sifat kematian itu pula, tidak sedikit manusia yang terperangkap, seolah-olah dia akan hidup selamanya di bumi ini. Menikmati dan melahap semua kelezatan cita rasa dunia sampai waktu ajal menjemput. Di sinilah ia terbelalak, bahwa ia belum melakukan apapun untuk menolongnya dari kesengsaraan akhirat. Kematian yang datang tiba-tiba dan merampas segala kenikmatan yang digandrunginya tanpa kenal waktu itu, membangunkannya dari keterlenaan panjang. Terlambat.

Bagi yang waspada, kehidupan dan kematian mendidiknya berbuat kebajikan, meskipun hanya seringan membuang duri di jalan. Tetapi bagi yang terlena, kebajikan akan tetap dipandang sebelah mata, meskipun kadarnya memenuhi timbangan seberat langit dan bumi serta segala isinya

Hidup adalah keniscayaan, dan kematian adalah kepastian tanpa belas kasih. Beriman atau kafir, tua atau muda, kaya atau miskin, raja atau jelata, ustadz atau penjahat semuanya akan melawati lorong kematiannya masing-masing.

Kehidupan dan kematian berada dalam satu track kesamaan sebagai ujian. Keduanya ibarat instrumen seleksi alam; siapa di antara manusia yang paling baik amalnya ketika berada dalam ruang antara hidup dan mati. Sebagian bedanya hanya dominasi tangis dan tawa. Saat dilahirkan, manusia memulai hidupnya dengan menangis keras, sementara orang-orang di sekelilingnya menyambut dengan tawa ceria dan kegembiraan.

Bagi yang waspada,  rekam jejak kelahiran hidupnya akan diputar terbalik. Ya, pada saat kematiannya nanti, orang-orang di sekelilingya menangis tersedu karena kehilangan kebajikan dan kehadirannya lagi. Tetapi dia yang ditangisi, tersenyum puas menghadap Tuhannya menyambut kebahagiaan abadi. Bagi yang terlena, orang di sekelilingnyalah yang memutar terbalik rekam jejak kelahiran hidupnya. Dia menangis saat dilahirkan, sementara sekelilingya menyambutnya gembira. Ya, dia tetap menangis, bahkan lebih pilu dari tangisan kelahirannya saat ajal menjemput. Sementara itu, orang-orang di sekelilingya tersenyum lega, senang karena terbebas dari keburukannya semasa hidup. Na’udzubillah.

 ” Kita hanya berusaha agar bisa sabar atas kepergiannya, Bunda. Relakan Wa Atin. Semoga segala kebaikannya menjadi pendamping dan penolongnya kelak. Atas kesalahan dan khilafnya kita mohonkan ampun. Semoga Allah berkenan mengampuni”.

”Amiin. Ya. Selamat jalan Wa. Maafkan Ella dan keluarga. Ya Allah, terimalah ia. Sayangilah ia ……”.

Hening. Khusyu.

 Depok, April 2009