Rezeki Itu Gak ke mana, Bang!

Siang itu jam yang ada di handphone jadul saya sedang menunjukan pukul setengah dua siang. Masih panas. Kebetulan saat itu saya sedang berada di dalam angkot. Duduk di depan sopir angkot. Angkot yang akan mengantari saya ke tempat saya bekerja. Kebetulan hari itu saya bekerja lagi mendapatkan tugas giliran masuk siang.

Hari itu angkot yang saya tumpangi lagi kosong—tak ada penumpang. Hanya saya saja berdua, bersama sopir angkot sebagai pengermudi angkot itu. Memang saat pertama saya menaiki angkot itu sudah tidak ada penumpang—hanya saya dan supir angkot. Sudah kosong. Namun ketika saya menaiki angkot itu betapa terkejutnya sopir yang mengemudikan angkot itu seperti orang kalap. Tancap gas kencang sekali. Memburu setoran. Saya yang saat itu duduk di depan sopir angkot itu beberapa kali mengucap tahmid. Agar tidak terjadi apa-apa ketika di jalan nanti. Selamat. Kalau pun tidak saya hanya pasrah. Karena Dia-lah yang menentukan takdir.

“Bang, nyupirnya santai aja. Nggak usah ngebut, ” kata saya ramah membuka topik pembicaraan kepada sopir yang ada di hadapan saya seperti orang kalap itu. Tak mementingkan keselamtan penumpangnya.

“Maaf, Mas saya lagi mau kejar setoran nih. Udah setoran nggak ada, sepi lagi, ” jawabnya sambil terus menstater kemudi tanpa memperdulikan apa yang saya katakan kepada apalagi say sebagi penumpangnya. Sopir itu acuh!

Saya diam sejenak. Tak dapat meneruskan bahan pembicaraan kepada sopir itu. Tapi karena ini untuk keselamatan saya dan dirinya itu, saya pun akhirnya angkat bicara lagi. Memberitahukan bahwa dalam keadaan sepeti itu tak baik. Merugikan diri sendiri apalagi saya, sebagai penumpangnya. Tidak memperhatikan penumpang.

“Rezeki nggak ke mana Bang. Mungkin Insya Allah nanti kali ketika abang mengemudinya santai bisa dapat penumpang lebih banyak.”

Alhamdulliah, ketika saya berkata seperti itu sopir yang mengemudikan angkot yang saya tumpangi berjalan semestinya. Normal. Perlahan-lahan tapi pasti. Tidak seperti tadi. Mungkin supir itu mengerti apa yang maksudkan tadi. Pikir saya saat itu. Saya harap itui benar adanya.. Karena ketika saya berkata sepeti itu saya melihat wajah yang tadinya tertutup awan hitam kini berubah menjadi selaksa bianglala. Teduh dan merunduk. Tak seperti tadi. Seperti orang kalap. Tak terkendali. Saya yang melihatnya seperti itu terus mengelus dada sambil bergumam, ”alhamdulilah akhirnya saya bisa duduk tenang dan supir yang ada dihadapan saya bisa menyupir dengan hati tenang pula. Rileks. Tak seperti orang mengejar setoran. Tancap gas keras sekali. Tanpa memperdulikan penumpang.”

“Ya, Mas hari ini kok sepi banget, ya?” ujar lagi menceritakan jerih payahnya sejak pagi tak mendapati penumpang. Tak sesuai keinginannya. Mendapatkan penumpang di angkotnya itu.

“Sabar aja Bang rezeki nggak ke mana. Nggak usah dikejar. Nanti juga datang kok jika waktunya. Asal abang mau sabar aja. Saya juga begitu kok. Waktu saya tidak dapat pekerjaan bawaan saya selalu labil sama sepert abang.” Akhirnya saya dan sopir iti bebagi cerita. Menyeritakan masing-masing persoalan yang dihadapi bersama-sama. Dan tujuan dari itu sama. Yakni, rezeki yang Allah harapkan bisa sesuai dengan keinginan umatNya. Lancar dan tanpa ada kendala serta tanpa diuji lebh dulu.

Akhirnya, usai saya bercerita seperti itu tak terasa tujuan yang tuju sampai. Dan waktunya saya turun dari angkot yang sudah membuat saya was-was serta mendapatkan pembelajaran hidup khususnya saya. Hikmah dari apa yang saya dapati selama ada di dalam angkot yang saya tumpangi sejak saya pertama kali naik serta sampai di tujuan. Dan terlebih saya juga mendapatkan suatu ilmu yang sampai saat ini saya masih belajar. Yakni, sabar dan qona’ah. Menerima apa adanya atas kekusaaNya (rezeki). Terima adanya. Dan juga bukan itu saja saya harap sopir angkot itu bisa mengambil hikmah halnya saya yang juga yang sudah mengalami bersama-sama dengannya.

Satu hal yang sangat membuat saya miris adalah pemandangan seperti itu bagi saya terus saja berkelajutan tiap hari. Baik saat saya dapati tiap kali pergi maupun pulang kerja. Ada saja hikmah yang saya dapati dan sealu mengelus dada.

Ulujami, 10 Maret 2008

Website: http://sebuahrisalah.multiply.com