Serasa Ada Jarum Menusuk Hatiku, Sakit!

Bagaimana kabar keimananmu, akhi?

Sudah lama rasanya kita tak pernah menjalin silaturrahim, meski hanya sekedar ber’say-hallo’. Pagi ini, pikiranku membatin, sepertinya engkau tak pernah merespon semua tag-ku di FB dan juga e-mail. Ah, Telat! Kenapa baru pagi ini aku tahu? Afwan, akhi, bukannya tak perhatian, tapi sungguh ini sebuah kelalaiann yang akan segera kuperbaiki.

Adakah engkau baik dan sehat, akhi?

Baiklah, akan kusempatkan berkunjung ke FB-mu.

Hemm, Engkau belum berubah, masih menjadi seperti sosok yang menyenangkan rupanya. Bolehkan melihat-lihat fotomu?

Kok agak kurusan? Ups, mana jenggot kebanggaan itu? Engkau memotongnya?

Baiklah, aku tak kan membahas apalagi mempermasalahkan hak prerogatif itu. Tapi tunggu, siapa wanita yang sedang kau tatap itu? Ehm, Saudarimukah?

Bukan! Aku rasa bukan. Wanita yang men-tag foto itu.

Iya! Dia kekasih hatimu, pacarmu! Bukan isterimu! Kau belum menikah dan aku tahu itu.

Kuat! Buktinya kuat. Comment-comment di bawahnya, aura kemesraannya bukan sebagai saudarimu.

Dia pacarmu! Kalian bertatapan, kalian berangkulan, kalian…

Astaghfirullahal’adzim,
Serasa ada jarum menusuk hatiku, sakit!

Dan, bagaimana kabar keimananmu sekarang, akhi?

Duhai Rabbi, aku sedang kecewa.
Seorang ikhwan berpotensi prima, telah pergi meninggalkan jalan dakwah itu. Susah payah kami dulu mengarahkannya ke kutub positif itu.

(Slide masa lalu pun tersuguhkan, dibuka)

Seorang ikhwan baru, sebut saja Jaka. Tersenyum renyah padaku di stand majlis ta’lim kami dalam acara bazaar yang kami ikuti. Oh, ternyata dia karyawan baru di PT kami. Subhannallah, satu ‘prajurit’ lagi, bergabung di barisan ini.

Ternyata benar-benar baru, dari seorang ‘lelaki biasa’ yang tak pernah aktif di organisasi Islam mana pun. Aku kaget dan sesaat terbengong ketika tiba-tiba dia tepat duduk di hadapanku yang sedang asyik menikmati makan malam di kantin PT. Sekedar menyapa dan dengan santai berbicara hal-hal ringan. Ah, rupanya dia tak dapat menangkap sinyal ketidaknyamananku. Tapi diam-diam, hatiku pun membatin, “Hemm, Lelaki, eh, ikhwan supel.”

Baiklah, sedikit demi sedikit akan kami perkenalkan. Aku yakin dia cepat belajar dan mengerti. Posisi pentingnya di PT jelas akan sangat membantu banyak hal untuk Ta’lim kami.

Beberapa bulan berlalu.

Desas-desus itu semakin kuat. Jaka pacaran! Sebuah kisah klasik pengurus Rohis yang gagal mengurusi ambivalensi jiwanya sendiri. Ya, sebuah kisah klasik, namun rupanya tak pernah usang dimakan zaman.

Aku pun tak percaya begitu saja ketika seseorang yang melihatnya menyampaikan langsung padaku. Hingga suatu malam.

“Astaghfirullahal’adzim, Itu tadi akh Jaka?”

“Iya, ukh,” sahut seorang akhwat di sampingku dengan suara tertahan.

Iya? Lelaki yang baru saja berpapasan denganku menggandeng seorang wanita itu, akh jaka?!

***

“Jangan bertindak apapun, kali ini saya yang akan mengurusnya. Saya tidak ingin kehilangan seseorang yang kedua kalinya di Ta’lim kita dengan kasus yang sama!” tegasku pada beberapa orang pengurus dalam kewenanganku sebagai wakil ketua.

Ya, kehilangan kedua kalinya. Beberapa bulan yang lalu, salah satu pengurus inti divisi lebih memilih pacarnya daripada tetap aktif di Ta’lim dengan segala konsekuensinya. Waktu itu aku sempat berharap besar pada sang sekretaris divisi itu. Harapanku cukup beralasan, dia seorang akhwat senior yang cukup kredibel. Pikirku, mereka lebih mempunyai ‘kedekatan’ karena satu divisi. Namun ternyata, Allah tidak mengabulkan harapan itu.

“Pelan-pelan saja, akh, tetap melakukannya dengan sangat halus, sangat tenang, sangat santai, dan tetap bersikap sebiasa mungkin dengannya. Anggap tak ada masalah apapun,” kataku pada sang ketua umum.

Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik, akh ketum. Ini titik klimaks dari beberapa hal yang sudah setelah kita bersabar dan menahan hampir 3 mingguan ini. Andai aku ikhwan, di titik ini akan kulakukan sendiri. Semoga Allah memudahkanmu.

“Belum ada respon, ukh,” kata sang ketum ketika kutanya hasilnya. Hemm, Baiklah, sekarang saatnya meng-SMS dirinya.

Jaka, semoga engkau masih ingat, aku pernah menjadi lawan bicara yang baik untukmu. Dan berharap engkau akan ‘memandangku’ dengan pandangan yang menyenangkan.

“Aslm,Smoga slalu dlm kberkahn. akh, af1, sudah dpt amanah dr ketum kan? hanya ingin meng-konfirmasikn kembali tentang kesediaan antum? Syukran ^_^”

“Waslm, iya mba, insyaAllah nanti sy ke ketum sajaJ” Meski menunggu cukup lama, tapi akhirnya merespon juga. Semoga saja ini menjadi awal yang baik.

Dan,

Berhasil! Jaka kembali bergabung ke barisan kami. Sebuah titik awal dimulai untuknya. Allah, terima kasih. Engkau takdirkan dia tetap berada di tengah-tengah kami. Bersama-sama menjadi bagian dari garis panjang perjuangan dakwah ini, meski bagian itu hanya setitik.

Jaka semakin mengerti, semakin menjadi ikhwan. Setidaknya dari tampilan fisiknya yang mulai berubah ke arah itu. Sedari awal, aku sudah mengira, dia akan mudah mengerti dalam kebaikan ini. Secara pribadi pun aku tak ingin mengusik kehidupan pribadinya. Aku tahu dia akan segera mengambil sikap, dan aku menunggu hal itu.

Kabar itu pun akhirnya sampai juga ke telingaku. Jaka telah putus dengan pacarnya, seorang wanita yang ternyata lebih dulu dikenalnya sebelum mengenal kami dan Ta’lim ini.

Selamat datang di zona ketabahan berkadar tinggi, akhi. Ya, karena di zona ini antum tak hanya dituntut untuk kuat, tapi juga bisa menguatkan. Tak hanya semangat, tapi juga bisa menyemangati. Dan jangan sekali-kali mengharap sanjungan sesering apapun antum melakukan kebaikan dan seprestatif apapun antum, namun bersiaplah mendapat caci maki dan gunjingan, jika antum lalai meski hanya sekali saja terlakukan.

***

Untuk pertama kalinya dan menjadi yang terakhir hingga saat ini bertemu dengan Jaka selepas kepindahannya ke kota lain, adalah saat reunian beberapa bulan yang lalu. Senang sekali rasanya bisa bertemu dengan orang-orang di masa lalu yang pernah menjalin interaksi dalam amanah luar biasa.

Beberapa kali aku memergoki Jaka sedang memperhatikan aku. Dan ekor mataku menangkap raut kecewa ketika aku memutuskan tidak mengikuti acara (dadakan) selanjutnya.

“Afwan, saya belum ijin orangtua. Posisi saya sekarang di sini bukan sedang merantau, tapi sedang di rumah. Mohon mengerti.” kataku menjelaskan.

Afwan, akhi, bukannya tak peka. Sebagai seorang wanita normal, tentu saja aku mengerti semua sinyal antum selama ini. Hanya saja, memang tak pernah ada alasan apapun berinteraksi dengan antum, kecuali memang untuk amanah bersama itu. Dan memang sebaiknya antum tetap mengira kalau aku tak dapat menangkap sinyal itu sehingga tetap biasa-biasa saja.

(Slide di tutup)

***

Terdiam.
Aku terdiam.
Aku masih kecewa!

Allah, hikmah apa yang ingin Engkau sampaikan dengan peristiwa ini?

(Berpikir)

Ah. Mungkin, ya, saatnya mengevaluasi diri. Barangkali, ada dosa-dosa yang tak terperhatikan selama kami berinteraksi.

Astaghfirullahal’adzim. Aku khilaf.

Dan, kini jiwaku menunduk, hatiku bermuhasabah. Ada kebanggaan yang hilang, kebanggaan yang tak pernah terperhatikan, namun ternyata selama ini bersemayam di hati, di pikiran, dan jiwa. Kebanggaan sebagai seseorang yang pernah merasa berhasil menjadi “jembatan” antara engkau dan Allah.

Astaghfirullahal’adzim,
Kini aku berada di titik nol besar. Menyerahkan segala kekuatan itu padaMu. Menyerahkan segala rasa ‘sok berjasa’ itu kepadaMu. Pada hakikat dan akhirnya, semuanya memang milikMu. Ya, hidayah itupun mutlak milikMu.

Kini, kuserahkan dia padaMu. Engkau berkuasa menjadikannya tetap dalam kebaikkan ataupun sebaliknya.

Hanya saja, ijinkanlah saat ini aku memohon. Tolong bimbing dia lagi. Tidak adil rasanya jika hanya karena kesadaran untukku, Engkau mengeluarkannya dari kebaikan-kebaikan yang seharusnya dirunutnya. Pun, bukan ingin menggugat keadilanMu, karena sesungguhnya Engkau Mahaadil.

Duhai Allah,
Kini tak ada lagi alasan untuk kecewa. Dan memang seharusnya begitu. Sujud syukurku, Engkau membersihkan sisi keangkuhan jiwa yang tak pernah terperhatikan, dengan cara yang sangat luar biasa.

Sungguh begitu indah terasa skenarioMu.

***

Kota Kembang, 09 Januari 2009_14.49
Fa_Ada sekeping hati yang cerah ceria kembali dalam ketawakalan.