Antara Hati Syaikhan dan Lancarnya Perjalanan

Pagi tadi, saat bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, tiba-tiba Syaikhan yang biasanya belum bangun ketika saya berangkat, bangun dan menangis serta memanggil-manggil saya.

Teringat saya akan sebuah hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah memanjangkan sujud dalam shalatnya hanya karena ingin memenuhi hasrat dan keinginin cucu tercintanya.

Abdullah bin Syaddad meriwayatkan dari ayahnya bahwa, “Ketika waktu datang shalat Isya, Rasulullah saw. datang sambil membawa Hasan dan Husain. Beliau kemudian maju (sebagai imam) dan meletakkan cucunya. Beliau kemudian takbir untuk shalat. Ketika sujud, Beliau pun memanjangkan sujudnya. Ayahku berkata, ‘Saya kemudian mengangkat kepalaku dan melihat anak kecil itu berada di atas punggung Rasulullah saw. yang sedang bersujud. Saya kemudian sujud kembali.’ Setelah selesai shalat, orang-orang pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, saat sedang sujud di antara dua sujudmu tadi, engkau melakukannya sangat lama, sehingga kami mengira telah terjadi sebuha peristiwa besar, atau telah turun wahyu kepadamu.’ Beliau kemudian berkata, ‘Semua yang engkau katakan itu tidak terjadi, tapi cucuku sedang bersenang-senang denganku, dan aku tidak suka menghentikannya sampai dia menyelesaikan keinginannya.” (HR. An-Nasai dalam Kitab At-Thathbiq, hadits nomor 1129).

Jika Rasulullah SAW saja mau memanjangkan sujudnya yang berarti memperlambat shalatnya, apalah artinya seandainya saya menunda beberapa menit keberangkatan saya ke kantor untuk menenangkan Syaikhan. Akhirnya, setelah selesai dengan apa yang saya kerjakan segera saya menghampiri Syaikhan. Saya gendong dan coba menenangkannya. Tak ingin saya meninggalkannya ke kantor dalam keadaan menangis, apalagi masih ada kesempatan beberapa menit.

Tak lama dalam gendongan saya, Syaikhan terdiam, dan seketika itu pula dia langsung bertanya dengan air matanya yang masih membekas di pipi, "Atop, Abi ana?"

"Ada."

"Di kamar Syeya, yah?"

"Iyah."

Syaikhan langsung minta turun dan berlari menuju kamarnya dan menemukan laptop saya. Karena tak ingin jika Syaikhan bermain laptop tanpa saya mendampinginya, saya alihkan kepada permainan lain. Akhirnya, jadilah Syaikhan bermain dengan buble yang saya belikan di akhir perkan kemarin seharga dua ribu rupiah.

"Syaikhan main sendiri yah, Abi mau ganti baju."

"Mau keja ya, Bi?"

"Iyah."

"Ah, sini aja," pintanya merengek. Untung tidak sampai menangis lagi.

Saya menuju kamar dan membiarkannya bermain. Setelah selesai berpakaian, saya kenakan jam tangan. Kaget saya, ternyata sudah jam enam lewat beberapa menit. Ternyata jam di ruang tengah lebih lambat sekitar sepuluh menit daripada jam tangan saya.

Syaikhan ikut masuk kamar, rupanya sudah puas bermain dengan buble dan meminta laptop kembali. Akhirnya saya ambilkan laptop milik Syaikhan yang hanya berupa kotak bekas parfum yang bisa dibuka seperti membuka laptop. Saya pun pamit dengan segera. Keluar rumah dan memacu motor saya dengan kecepatan maksimal namun dalam batas aman.

Dengan kondisi itu, saya coba untuk berdoa meniru kisah tiga orang yang terjebak dalam sebuah goa dan tidak bisa keluar. Saya berharap, "Ya Allah, jika saya meninggalkan Syaikhan untuk berangkat ke kantor dalam keadaan tenang dan tidak menangis adalah sebuah kebaikan, maka lancarkanlah perjalanan pagi ini sehingga saya tiba di kantor tepat waktu."

Alhamdulillah, sebagian besar jalan yang saya lalui lancar dan tiba waktu tiga menit sebelum batas akhir.

jampng.multiply.com