Biarlah Kunikmati Kesedihan Ini

kematianDari tempat saya duduk di warung pinggir jalan, sambil menahan rasa sakit di pundak kiri yang baru saja tertimpa batang pohon, pandangan mata saya menangkap tubuh mungil seorang anak yang sedang duduk di dalam gerobak yang sedang berjalan. Melihat postur tubuhnya dan topi yang dikenakannya, mengingatkan saya pada Syaikhan di rumah.

Sesaat gerobak tersebut berlalu, saya ambil handphone untuk menelpon Syaikhan. Begitu mendengar suara Syaikhan yang menjawab di seberang sana, mulut saya tak bisa berkata-kata lancar seolah-olah ada penghalang di dalam dada saya.

“Syaikhan, Abi gak bisa pulang. Abi kecelakaan,” ucap saya dengan gemetar, bukan karena menahan rasa sakit, tetapi menahan rasa sedih, tak bisa bertemu Syaikhan dan merasakan sambuatn hangatnya tatkala mendengar suara motor saya tiba di depan rumah dengan berteriak, “Abi…. Abi!”

Tapi, biarlah saya nikmati kesedihan ini, karena Syaikhan berada di rumah yang melindunginya dari panas dan hujan, jauh lebih baik daripada anak yang baru saja berlalu di hadapan saya yang hanya berada di atas gerobak. Sekali lagi, biarlah saya menikmati kesedihan ini, karena meskipun saya sakit, ada adik saya yang akan menjemput dan di rumah nanti akan ada keluarga yang akan merawat saya, serta ada kemampuan yang saya miliki untuk berobat.

Sementara di tempat lain, masih banyak orang yang bernasib lebih buruk dari saya. Sakit dalam kesendirian, tak bisa berobat karena tak ada kemampuan.

Seperti ungkapan orang bijak yang mengibaratkan bahwa kehidupan ini seperti roda yang berputar, mungkin saat ini, saya berada di titik bawah roda. Beberapa kali hati saya begitu rapuh dan kedua mata ini begitu mudah basah bahkan sampai mengalirkan air mata.

Ketika sebuah stasiun televisi menayangkan sebuah acara yang memperlihatkan bagaimana seorang anak mampu menghafal al-Quran, hati saya sedih diselimuti kekhawatiran apakah saya bisa mendidik Syaikhan seperti anak tersebut.

Ketika sebuah adegan muncul dalam ‘sinetron’ di mana seorang anak berbicara dengan nada yang tinggi kepada ibunya, kembali hati saya bersedih. Saya langsung teringat bagaimana sikap saya selama ini kepada ibu yang lebih sering membuat beliau kecewa. Mengalahkan kepentingan beliau, padahal saya adalah anak lelakinya sampai kapan pun. Bakti saya kepada beliau terhalang dengan kepentingan pribadi.

Lagi-lagi saya akan mencoba menikmati kesedihan ini. Mungkin saya tidak bisa mendidik Syaikhan sendiri untuk bisa menghafal al-Quran karena saya tidak memiliki kemampuan itu, tapi insya Allah saya bisa menyekolahkannya ke sekolah yang bisa membimbingnya ke arah sana. Bukankah kondisi saya lebih baik jika dibandingkan para orang tua yang bekerja lebih keras dan lebih lama namun mereka mengalami kesulitan biaya untuk menyekolahkan anak-anak mereka?

Saya memang telah banyak mengecewakan orang tua, terutama ibu. Tapi insya Allah, masih ada kesempatan bagi saya untuk berbakti kepada keduanya. Bukankah kondisi saya boleh dikatakan lebih beruntung dibandingkan mereka yang sudah ditinggal pergi oleh orang tua? Namun kondisi ini mudah-mudahan bukan suatu sikap bergembira di atas derita orang lain.

Sekali lagi, biarlah saya nikmati kesedihan ini. Bukan untuk meratapi nasib dan menjadikan saya orang paling susah, tetapi untuk menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT.

‘dari jiwa yang masih belajar untuk ikhlas bersyukur dan bersabar’

http://jampang.multiply.com/