Daripada Kufur dan Takabbur, Lebih Baik Bersyukur

Seiring perjalanan waktu yang telah kita lalui, maka semakin banyak orang-orang yang mengisi ruang-ruang dalam kehidupan kita. Mulai dari kawan sepermainan ketika masa kanak-kanak, teman sekelas di sekolah dasar, SMP, SMA, kampus, bahkan teman-teman seperjuangan di kantor atau perusahaan. Secara bergantian, satu per satu mereka datang dan pergi.

Pernahkah suatu ketika kita berjumpa lagi dengan kawan-kawan lama tersebut? Baik dalam sebuah pertemuan besar semacam reuni, atau mungkin sekedar berpapasan di suatu tempat yang tidak pernah direncanakan. Di saat-saat seperti itulah, terkadang, kita terjebak dalam sebuah keadaan untuk membandingkan keadaan diri ini dengan keadaan mereka.

Ada mungkin seorang kawan yang kehidupannya sungguh sangat mapan. Pekerjaan dengan gaji yang luar biasa, tempat tinggal yang megah di salah satu komplek perumahan elit, dilengkapi dengan mobil yang mewah. Ada juga seorang kawan yang sudah mondar-mandir ke luar negeri karena mendapat beasiswa S2, S3, atau sekedar short course selama beberapa bulan. Ada pula kehidupan seorang kawan lain yang sepertinya sangat berbahagia dengan pasangan hidup dan putra-putrinya.

Di sisi lain, ada juga kehidupan seorang kawan yang sepertinya masih luntang-lantung. Bulan ini dapat pekerjaan, namun beberapa bulan kemudian menganggur kembali karena statusnya hanya sebagai pegawai kontrak. Ada juga yang mungkin mengalami putus-nyambung dalam masalah perjodohan, atau mungkin masih berusaha keras untuk mendapatkan keturunan.

Ketika membandingkan dengan keadaan kawan yang kondisinya jauh lebih baik, maka terjebaklah diri ini dalam sebuah perasaan gagal dalam kehidupan. Sejurus kemudian, hilanglah rasa syukur atas apa yang sudah berada dalam genggaman tangan dan melekat di badan. Kufur akan nikmat yang Allah berikan setiap detik dalam kehidupan di dunia ini. Selanjutnya bisa jadi hati ini terjangkit penyakit iri.

Pun ketika kita membandingkan dengan kondisi kawan yang tidak seberuntung diri ini, kita terjebak dalam sebuah kesombongan. Menganggap mereka lebih hina dari kita. Lalu kita pun lupa, bahwa semua yang kita miliki adalah buah dari kasih sayang Allah.

Ternyata keduanya menjebak kita kedalam dua hal yang sangat tidak disukai Allah SWT, kufur atau tidak mau bersyukur dan takabbur atau merasa sombong.

Mungkin, langkah yang terbaik agar dapat menghindarkan diri ini dari sifat kufur dan takabbur adalah dengan bersyukur dengan apa yang ada. Sehingga, bila ada seseorang dengan keadaan yang lebih baik dari diri kita, bukan menjadikan kita melupakan nikmat yang telah kita terima, namun menjadikan diri ini terpacu untuk menjadi lebih baik. Dan bila ada seseorang dengan keadaan yang tidak seberuntung diri ini, kita bisa menjadi orang-orang yang tetap bersyukur.

Wallahu a’lam.

http://jampang.multiply.com