Masjidku Sayang, Masjidku Malang

Waktu Maghrib menjelang. Adzan pun berkumandang, baik berasal dari kotak ajaib di ruang keluarga rumah saya, maupun dari bangunan Masjid Al-Makmur yang berjarak hanya sekitar lima puluh meter dari rumah saya. Sedetik kemudian, para muadzin dari masjid atau mushola di lain tempat pun saling bersahutan. Tetapi, ada lagi kumandang adzan yang terasa lebih dekat. Suara adzan itu berasal dari bangunan di depan rumah saya. Kondisi tersebut baru saya temui setelah saya kembali menikmati kehidupan menjelang Maghrib di kampung halaman saya.

*********

Dahulu, tanah tempat berdiri bangunan tersebut hanyalah berisi tanaman dan rumput liar, bahkan di salah satu bagiannya sempat dijadikan tempat pembuangan sampah sementara. Tak terurus. Namun kemudian, si pemilik tanah tersebut mengalihfungsikan menjadi lapangan bulu tangkis. Mulanya beralas tanah saja, tapi kemudian berubah drastis. Lapangan tanah tersebut disulap menjadi lapangan dengan lantai dari semen. Pagar tanaman hidup di sekeliling lapangan diganti menjadi tembok dari bata. Lampu penerangan pun di tambah. Semakin ramailah lapangan bulu tangkis tersebut tiap malamnya.

Untuk menjaga keseimbangan antara kesehatan jasmani dan kesehatan ruhani, akhirnya diadakanlah pengajian rutin seminggu sekali dengan materi yang berbeda setiap pekannya. Mulai dari aqidah, fiqih, cinta rasul, dan masalah-masalah aktual. Jika dalam satu bulan ada lima pekan, maka d pekan yang tersisa akan didatangkan guru dari tempat lain selain guru tetap.

Alhamdulillah, pengajian tersebut cukup menarik penduduk sekitar. Tak hanya kaum adam, kaum hawa pun ikut menghadiri pengajian tersebut. Bahkan, tak sedikit yang datang adalah pasangan suami istri. Lalu bertambah lagi jamaah dari golongan anak-anak.

Namun masih ada kondisi yang disayangkan. Ketika guru fiqih menjelaskan bab tentang shalat, khususnya tentang keutamaan shalat berjama’ah di masjid, sedikit sekali yang tergerak untuk mempraktekkannya. Padahal rumah mereka tak jauh dari masjid. Di saat azdan berkumandang, kebanyakan dari mereka shalat Maghrib di rumah. Setelah selesai, barulah satu per satu datang ke lapangan untuk mengikuti pengajian yang dimulai ba’da Maghrib hingga sekitar pukul dua puluh.

Manakala cuaca cerah, pengajian yang dilakukan di lapangan yang tak beratap itu akan berjalan lancar tanpa masalah. Masalah mulai muncul ketika datang musim hujan. Jika hujan turun, para jamaah berhamburan untuk mencari tempat berteduh. Sebagian memilih duduk di balai dengan atap seadanya, sementara sebagian lain pindah ke teras rumah warga yang berada di seberang lapangan. Meski demikian, pengajian tetap berlanjut hingga selesai.

Melihat kondisi demikian, pemilik lahan kemudian mendirikian bangunan permanen di sebelah lapangan bulu tangkis tersebut. Bangunan permanen tersebut tampak cukup megah dan mewah jika dibandingkan dengan bangunan-bangunan rumah di sekelilingnya dan pastinya memakan biaya yang tidak sedikit. Berlantai dua dengan beberapa ruangan di dalamnya. Dindingnya dilapisi marmer. Tembok kelilingnya pun ditambah beberapa centimeter. Kegiatan keagamaan pun tak hanya dilakukan sepekan satu kali dan lebih beragam. Sungguh menakjubkan. Nama tempat tersebut pun lalu berubah, yang semula berupa persatuan bulu tangkis, menjadi sebuah majlis ta’lim.

*********

setelah berwudhu, saya keluar rumah untuk menuju masjid. Di gang yang saya lalui, saya berpapasan dengan seorang lelaki yang berpakaian lengkap layaknya orang yang ingin shalat berjama’ah di masjid. Ia mengenakan buju koko, kain sarung, dan berpeci putih. Namun arahnya berlawanan dengan saya. Akhirnya saya tahu, bahwa ia akan shalat di majlis ta’lim, bukan di masjid. Dan sepertinya bukan satu dua orang yang shalat berjamaah di sana. Sepulang dari masjid saya menengok ke bangunan tersebut, ada sekitar sepuluh sampai dua puluh orang yang membentuk dua shaf shalat berjama’ah.

Sungguh ironi, warga yang rumahnya lebih dekat dengan masjid malah memilih shalat di tempat yang lebih jauh dan bukan berupa masjid. Ada banyak pertanyaan yang mengganjal di hati saya dengan apa yang saya lihat. Kenapa orang-orang itu lebih senang shalat berjam’ah di tempat itu, bukan di masjid? Apakah karena pemiliknya adalah orang kaya dan terpandang? Kenapa para guru tidak mengingatkan mereka bahwa yang namanya shalat berjamah yang diutamakan itu di masjid? Apa ini pertanda umat semakin terpecah? Atau jangan-jangan saya yang salah memandang? Wallahu a’lam.

http://jampang.multiply.com