Rindu Menjelang Ramadhan

Suatu pagi menjelang siang, di pelabuhan Yos Sudarso-Ambon, saya bersama dengan dua orang rekan, sedang menunggu kedatangan kapal yang membawa dua orang sahabat dari Pelabuhan Tanjung Perak-Surabaya. Hari itu adalah hari libur kantor. Tidak ada aktivitas bersama yang mengharuskan kami turut serta, jadi kami bisa seharian meluangkan waktu guna menyambut kedatangan dua orang sahabat itu di pelabuhan utama kota Ambon itu.

Berita tentang kedatangan dua orang sahabat itu sudah kami terima beberapa hari sebelumnya. Kami bertiga yang tinggal di jantung kota, dan hanya berjarak beberapa ratus meter dari pelabuhan, mendapat kepercayaan rekan-rekan perantauan di sini untuk menjemput mereka. Bagi kami, kedatangan mereka adalah sebuah berita yang cukup menggembirakan. Tidak hanya mereka berdua, setiap sahabat yang hendak menapakkan tugas di kota utama di pulau kecil ini, kami menyambutnya dengan suka cita.

Ibarat dalam situasi perang, maka kedatangan mereka adalah laksana tambahan pasukan yang bisa memperkuat barisan para pejuang. Ibarat berada di gurun pasir, maka kedatangan mereka adalah laksana kafilah yang membawa persediaan air, yang mampu melepaskan dahaga kami akan jalinan persaudaraan. Yang tidak sekedar diikat oleh persamaan etnis tetapi diikat oleh persamaan pemikiran dan perasaan buah dari hasil keimanan.

Awan cerah menaungi kota Ambon saat itu. Suasana pelabuhan hari itu tampak meriah. Begitulah warna hari-hari ketika kapal hendak merapat ke pelabuhan, yaitu setiap Senin, Rabu, dan Jum’at. Kesemarakan dan kesibukan nampak terjadi di setiap area pelabuhan. Truk-truk besar segera mengambil antrian di sepanjang jalan masuk guna menjemput barang yang hendak dibongkar-muat. Para penumpang yang hendak bepergian berduyun-duyun datang dengan membawa beberapa tas berisi aneka perbekalan, ada yang jalan kaki, naik becak, naik angkot, diantar sepeda motor, atau diantar oleh mobil pribadi. Petugas bongkar muat barang (kuli pelabuhan) pun tidak kalah sibuk dengan penumpang yang berdatangan. Dengan seragam khas-nya, mereka hilir mudik membantu para musafir mengangkat sejumlah tas besar di pundak dan di tangannya.

Rasanya sudah lama kami berdiri dan berjalan-jalan di sekitar ruang tunggu, namun belum nampak juga tanda-tanda kapal segera datang ke Pelabuhan. Kejenuhan mulai menghinggapi sebagian para penjemput dan penunggu di sana. Nampak beberapa orang bermain catur dan kartu gaple guna mengusir kebosanan akibat lama menunggu. Nampak pula beberapa orang yang ngemil dan memakan makanan yang dibawanya dari rumah. Sesekali terdengar teriakan dan tangisan anak-anak karena tidak sabar menunggu kapal yang belum kunjung tiba.

Yah, memang kapal itu memiliki jam keberangkatan dan kedatangan yang diperkirakan. Namun, terkadang ada saja aral melintang yang mengganggu perjalanan kapal di sepanjang perjalanan dan tempat persinggahannya.

Saat saya terpekur mentafakkuri kebesaran Allah dan pengendalian-Nya atas perjalanan sebuah kapal, tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan seorang anak yang melihat sebuah titik kecil di kejauhan yang diyakini adalah sebuah kapal yang ditunggu-tunggunya. Ia berteriak kegirangan,

“Woi..!, Kapal sudah datang..! Itu dia, kapalnya sudah datang!”

Anak kecil berkulit hitam dan berambut keriting itu, berteriak dengan rona yang memancarkan kebahagiaan. Meski hitam, dengan rona keceriaannya itu menjadikan wajahnya sedap dipandang. Hati saya membatin, siapapun yang datang, pastinya dia adalah orang yang dicintai dan dirindukan kehadirannya.

Titik kecil itu makin mendekat, makin menampakkan bentuk utuh sebuah kapal. Sang nakhoda memberi peringatan akan kedatangannya, dengan mendengungkan sirene khas tiga kali berturut turut.

“Teet…teet…teet…”

Kebahagiaan memancar di area sekitar pelabuhan. Sirene itu menandakan bahwa para anak buah kapal (ABK) tengah bersiap-siap memuluskan kapal merapat di dermaga. Saya hanya tersenyum menyaksikan kebahagiaan orang-orang yang berada disekeliling kami. Itulah hikmahnya Allah menciptakan perpisahan dan pertemuan. Ada rasa rindu yang membuncah, ada cinta yang berkobar, ada haru ketika bertemu, ada bahagia ketika bersama, dan ada tangis ketika berpisah.

Warna hati yang berubah silih berganti, jalan kehidupan yang turun-naik mengikuti irama kehendak sang pencipta, dan dinamika kehidupan yang mengikuti siklus alamiahnya, justru menjadikan hati-hati makin kuat dalam satu ikatan cinta yang tulus. Ikatan cinta antara orang tua dengan anak-anaknya, antara kakak dengan adik-adiknya, antara suami dengan seorang isteri yang setia menunggu di kampung halaman, dan antara orang yang mencintai dengan orang yang dicinta, baik yang memiliki hubungan kekeluargaan maupun tidak.

Kapal besar itu makin mendekat. Nampak para penumpang berkumpul di geladak (deck) kapal mencari-cari dan menyapa orang-orang yang menyambutnya. Sementara, para petugas pelabuhan dan bongkar muat, sibuk bersiap-siap menerobos masuk kapal yang belum sempurna merapat ke dermaga. Jangkar telah ditancapkan. Tali-tali pun segera dilemparkan. Tangga-tangga segera diturunkan. Akhirnya, prosesi merapatnya badan kapal ke dermaga pun berakhir dengan sukses. Alhamdulillah.

Begitu sisi badan kapal merapat dan tangga-tangga menyentuh ke dermaga dengan sempurna, para pekerja pelabuhan dan kuli pelabuhan segera berhamburan menuju ke dalam kapal. Petugas kapal membantu bongkar muat barang yang harus dibawa oleh truk-truk besar, sementara para kuli pelabuhan sibuk menawarkan jasa angkut barang bagi penumpang yang memerlukannya.

Para penumpang nampak turun satu persatu dengan tertibnya, terutama mereka yang hanya menentang beberapa tas kecil yang tidak memerlukan jasa porter pelabuhan. Sementara para penumpang dengan tas bawaan yang besar, keluar belakangan bersama porter yang mengangkut barang-barangnya.

Kami melihati kesibukan yang terjadi dengan perasaan terhibur. Oh, alangkah indahnya sebuah pertemuan. Keceriaan menghiasi semua wajah para penumpang yang turun. Teriak histeris tak terelakkan ketika mereka bertemu karena luapan rindu yang sudah lama terpendam. Mereka saling berpelukan, berangkulan, bertangisan, bersenda gurau riang, dan berjuta ekspresi keceriaan terbinar dari wajah-wajah yang berbeda. Subhanallah. Saya yang sekedar menyaksikan, bisa merasakan nuansa kebahagiaan itu. Apalagi bagi yang mengalaminya. Sungguh, sebuah pertemuan yang luar biasa.

Setelah lama memperhatikan wajah-wajah mereka. Saya tengokkan wajah ke arah atas kapal. Nampak dua orang muda yang belum turun. Pandangan mereka sepertinya mencari sesuatu. Ah, apakah mereka itu sahabat kami itu. Feeling saya merasakan demikian. Saya sentuh bahu kawan di samping, apakah betul mereka? Ya, merekalah dua orang sahabat yang kami tunggu-tunggu itu. Segera kami melambaikan tangan. Mereka pun menyambut lambaian tangan kami dengan perasaan lega.

Di dermaga, kami menyambut mereka penuh persaudaraan. Jabat dan peluk erat mewarnai suasana di siang hari itu. Selamat datang saudaraku, selamat meniti kehidupan di kota baru nan jauh dari kampung halaman. Mari kita bergandeng tangan menyusuri hari-hari perjuangan yang panjang membentang. Insya Allah kita lebih kuat menanggung beban penderitaan yang boleh jadi adalah awal dari sebuah kenikmatan. Semoga kehadiranmu memberi keberkahan kepada kami.

***

Fragmen kehidupan menyambut kedatangan saudara di pelabuhan itu, terkenang dipelupuk mata di saat-saat mengingat Ramadhan yang kian menjelang. Suasana hati para penjemput pada saat itu, penuh bahagia menyambut kedatangan sanak keluarga yang lama dirindukannya. Bukan sekedar rindu karena tidak lama bertemu, tetapi rindu akan bayangan keberkahan hari-hari yang akan dilalui bersama. Yah, Ramadhan tidak ubahnya adalah “orang” yang dirindukan. Bahkan bagi orang-orang beriman, kerinduan kepadanya melebihi kerinduan kepada anak, isteri, ataupun keluarga. Bagaimana tidak, datangnya Ramadhan itu berarti datangnya sapaan Allah Swt dan Rasul-Nya kepada kita. Sapaan lembut penuh cinta dengan anugerah cinta-Nya yang teragung. Allah Swt dan Rasul-Nya begitu mencintai kita. Maka Allah Swt mengutus Ramadhan kepada kita, sebagai wujud sayang dan cinta, karena dengannya Allah Swt hendak mensucikan lahir dan batin sehingga kita pantas mendapatkan pengampunan-Nya dan memasuki surga-Nya.

Orang-orang beriman pasti merasakan rindu bersangatan ketika Ramadhan datang menjelang. Siapa yang tidak melapangkan dada dan menyambut Ramadhan dengan mesra serta senang hati, maka patut diduga bahwa keimanannya belum merasuk ke dalam lubuk jiwa. Kebahagian menyambut Ramadhan adalah konsekuensi iman yang sejati. Dan kebahagiaan ini adalah kebahagiaan yang juga dirasakan oleh Rasulullah SAW beserta sahabat-sahabat beliau.

Sebagaimana orang bahagia menyambut kedatangan orang tercinta. Semua orang pun bahagia menyambut Ramadhan. Sudah terbukti bahwa Ramadhan adalah bulan kebaikan dan kebahagiaan bagi semua manusia, karena secara fithrah, manusia itu cenderung kepada kebaikan dan beriman kepada Rabbnya. (QS 7:172). Kebahagiaan yang dirasakan oleh semua manusia ini menunjukkan suatu fakta bahwa sapaan cinta Ramadhan demikian halusnya, menyentuh sisi jiwa terdalam dari bangunan fithrah manusia.

Hari-hari menjelang Ramadhan adalah parameter keimanan. Sungguh merugi jika kerinduan itu tidak bisa dirasakan atau dirasakan namun sekedarnya saja. Bila demikian, sangat mungkin jika ada banyak kotoran dunia yang melingkupi bangunan fitrah manusia. Fithrah manusia adalah merindui Rabb-Nya, namun karena tertutupi oleh kecintaan dunia yang berlebihan, kerinduan itu tidak pernah hadir di pelupuk mata.

Jelang Ramadhan ini, mari kita jaga jarak terhadap pusaran arus dunia. Siapkan hati terbaik untuk menyambutnya.

Sungguh jika manusia mengetahui, keberhasilan Ramadhan itu bisa dilihat dari saat ini, yaitu adanya iman yang dibuktikan dengan hadirnya rindu bersangatan akan tibanya bulan Ramadhan. Rasul Saw bersabda, “Barang siapa yang berpuasa di Ramadhan dengan Iman dan penuh perhitungan, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.

Waallahua’lam bishshawaab.
([email protected])

Kenangan bersama sahabat di Kota Ambon, 1995