Matahariku

“Teh, saya mau setoran Juz ’amma“. Gadis kecil yang mulai tumbuh remaja ini duduk bersimpuh dihadapanku.
“Mau surat apa“? tanyaku seraya membenarkan letak kerudungku, ba’da ashar di selasar masjid dekat rumahku sore itu.
“Mau setor semuanya teh“. Sahutnya kalem.
“Maksud Dian? satu Juz?!“ tanyaku memastikan pendengaranku barusan.
“Iya teh“ jawabnya malu malu.

“Subhanallah! berarti Dian bisa menghafalkannya lebih cepat dari jadwal yang telah kita sepakati dong?“ Aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku.

“Alhamdulillah teh“ jawabnya sambil tertunduk malu.

Kutatap lekat wajah tirus dihadapanku.
Anak ini telah menjadi yatim ketika dia masih duduk di kelas dua SD. Ibunya bekerja apa saja untuk menghidupi dia, adiknya yang masih balita beserta kakek neneknya yang sudah sangat renta. Sedari awal aku melihat anak ini mempunyai bakat untuk menjadi seorang hafidzoh. Dia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menghafal Kalamullah. Semangatnya untuk belajar Al-Quran dan menghafalkannya begitu menggelora. Walau dia tinggal di rumah yang hanya beralaskan tanah dan begitu sempitnya, bisa dikatakan dia hampir tidak pernah alfa untuk terus belajar mengaji ketika senja tiba.

“Teh, bisa saya mulai sekarang?“ tanyanya menyentak kesadaranku.
“Ok, Insya Allah. Dian masih punya wudhu kan? tanyaku sekedar mengingatkannya.
“Insya Allah teh“ jawabnya mantap

Juz 30 tuntas sudah dibacanya dengan lancar dan tartil. Dia termasuk salah satu muridku yang terbaik di kelas tahsin, sehingga aku menawarkannya untuk memasuki kelas tahfidz. Gayung bersambut. Anak ini begitu serius menghafal al-Quran. Terbukti, hanya dalam beberapa bulan anak kelas 6 SD ini sudah menuntaskan hafalan Juz ’ammanya.

Kupeluk dan kucium sayang keningnya, seraya kupanjatkan do’a kepada Allah agar dia kelak menjadi muslimah yang terjaga, berlimpah keberkahan dan selalu dalam naungan kasih sayang Allah.

Tiba tiba dia melepaskan pelukanku.

“Teh, tapi saya masih punya satu setoran surat lagi buat teteh“.

Kutatap matanya yang berbinar penuh rahasia.

“Oya? Bukankah…tadi Dian sudah murojaah semuanya? tanyaku bingung.

“Masih ada satu surat lagi teh. Yang ini special buat teteh. Dian menghafalkannya tanpa sepengetahuan teteh. Biar suprise …“ senyum sumringahnya menggoda rasa ingin tahuku.

“ehmm…oke…silahkan ….Insya Allah teteh akan menyimaknya“ jawabku seraya berusaha menebak surat apa yang akan dibaca oleh murid kecilku ini..

Dan mengalunlah surat yang begitu indah bagi jiwa dan segenap rasa kehambaanku kepada Allah. Salah satu surat yang begitu aku suka untuk membaca dan mentadaburinya. Aku tidak kuasa menahan derasnya air mata bahagia yang tertumpah ketika murid kecilku ini melantunkannya dengan begitu lembut dan syahdu. Aku tahu, dia pasti telah berusaha dengan segenap kesungguhan untuk menghafalkan surat ini hingga begitu lancar melafalkannya.

…“Fabiayyi alaa irobbikumaa tukadzibaan…
…“Tabaarokasmu robbika dziljalaali wal ikhroom….!

Bersama kami tuntaskan dua ayat terakhir surat Ar-Rohman, dengan satu rasa bahagia yang tidak bisa aku ungkapkan bahkan dengan perbendaharaan kata seluas samudra. Pun sampai detik ini, aku tidak bisa menggambarkan rasa bahagia yang hadir di hatiku kala itu. Rasa bahagia yang penuh dan utuh. Rasa bahagia yang Allah hadiahkan bagiku kala itu. Rasa bahagia ketika melihat telah tumbuh tunas baru yang kuharap akan terus tumbuh dan berkembang untuk menjadi penerus risalah ini. Untuk menjadi bala tentara Allah yang melekatkan Kalamullah dalam hati dan jiwanya.

Rasa bahagia yang juga Allah hadirkan ketika aku harus kembali mengajar murid murid mungilku di negara yang jauh dari tanah kelahiranku. Tidak serutin ketika aku masih di tanah air. Tapi cukuplah untuk sekedar menghilangkan sedikit rasa rindu.

Di lantai dua Masjid yang penuh dengan ornamen Timur Tengah, Jempol tangan kiriku digenggam erat oleh tangan mungil Ryan. Sambil mengayun-ayunkannya, dia mengulang ulang bacaan surat Al-Ikhlas. Tatap matanya tak lepas memandang gerakan dan lafaz yang keluar dari mulutku dan kemudian diikutinya dengan terbata. Dan selama itu pula tak lepas hatiku beryukur dan terus memanjatkan do’a, semoga kelak ketika dia dewasa, dia mengerti akan keberadan Allah yang satu dan tiada bersekutu.

Hamzah masih terus tekun menggunting unta dengan seorang penunggang yang mengenakan sorban putih di kepalanya.

“Hamzah, kenapa sorbannya tidak diwarnai sayang?”..tanyaku sambil menunjuk sorban di kertas gambarnya.
Tanpa melepaskan tatapannya pada gambar yang sedang diguntingnya, dengan polos dia menjawab,
“Sorban ini memang tidak akan diwarnai tante, kan warna sorban putih?” jawabnya dengan bahasa Indonesia yang bercampur Jerman.

Kurogoh sakuku yang selalu penuh dengan hadiah tak terduga dan kusodorkan sebuah permen lucu dihadapannya, sebagai apresiasiku atas jawabannya yang cerdas.

Das ist fuer mich? Tanyanya ambil memegang permen yg kuberi.
“Iyaa..itu buat Hamzah, nanti bisa dimakan kalau mengguntingnya sudah selesai, Ok?”jawabku sambil membenarkan kerah bajunya.

“Apa ini halal tante? Ada gelatin babinya nggak?” ia menghentikan sejenak aktivitasnya, memegang permen yang kuberi dan menanti jawabanku.

Ya Allah, pertanyaannya sungguh tepat mengena di ulu hatiku. Anak usia 5 tahun ini sudah bisa mensensor makanan yang akan masuk ke tubuhnya.

Aku hanya bisa tersenyum sambil mengusap lembut kepalanya,
“Insya Allah halal. Kalau tidak halal mana mungkin tante beli dan gak mungkin tante kasih ke Hamzah, oder?”.
Danke tante ” ia tersenyum ceria dan melanjutkan aktifitasnya.

Hmm…anak pintar, ganteng pula. Hari ini dia sangat manis dan penurut. Mengaji iqro nya masih belum beranjak dari huruf Jim tapi sudah hafal Al-Fatihah dan surat Al-ikhlas.

Tiba2 tubuhku ditabrak oleh sebuah benda berat dari arah belakang dan kedua lengan yang gembul merangkul erat pinggangku..

”Tantee….Maarrr…..Fatimah sudah hafal surat al-kautsar, doa masuk dan keluar kamar mandi, sama doa untuk mama papa..” suara nyaring yang tak asing lagi itu bertubi tubi mampir di telingaku

“Alhamdulillah, bagus dong kalau gitu..” jawabku sambil menyeimbangkan tubuhku.
Ini dia anak yang sedari tadi aku cari. Fatimah az-zahra. Gadis mungil yang super aktif dan tidak pernah bisa duduk tenang.

“Hadiahnya mana??? Hari ini tante Mar bawain hadiah apa buat Fatimah??”
Tangan yang gembul itu menengadah tepat di wajahku. Sorot matanya menodongku untuk segera memberinya hadiah.

“Insya Allah adaa..” Kugenggam erat kedua tangannya.
“Tapi kita praktek sholat dulu, setelah itu baru kita bicara tentang hadiah. Ok? tawarku sambil menuntunnya ke atas sajadah.
“Kalau bisa hadiahnya dulu tante, nanti setelah itu baru kita praktek sholat” ia berusaha bernegosiasi denganku.

“Hmm..biasanya anak yang sholehah itu sholat dulu, nanti kalau sudah selesai, baru kita bicarain hadiah” tanganku segera merapikan rambut dan kerudung oranye-nya yang lucu.

“Ingat ya Fatimah, kalau perempuan sholat, ia harus menutup auratnya. Yang boleh kelihatan hanya muka dan telapak tangan. Bila tidak, maka sholatnya tidak sah” terangku mengulang pelajaran sholat.

“Kenapa kita harus sholat tante?” tiba2 Fatimah bertanya ketika aku sedang membenarkan letak kakinya saat duduk tahiyat terakhir.

“Biar disayang Allah. Karena Allah memerintahkan kita untuk selalu sholat setiap hari 5 kali” jawabku sesederhana mungkin
“Terus, kalau Allah sayang sama kita?”
“Insya Allah nanti kita bisa masuk syurga”
“Di syurga ada apa aja?”
“Semua ada”
“Ada Dora emon nggak?”
“Kalau Dora emonnya rajin sholat dan patuh sama papa mamanya, Insya Allah bisa masuk syurga”
“Kalau bandel?”
“Yaa…. ga bisa masuk syurga deh..” jawabku dengan mimik sedih.

“Kalau begitu, tante Mar harus rajin sholat dan patuh sama mama papa-nya yaaa, dan jangan bandel…biar nanti bisa masuk syurga dan ketemu Fatimah disana, jadi nanti kita bisa main bersama di syurga…” mahluk mungil dihadapanku ini menasihatiku dengan gaya orang dewasa yang membuatku tersenyum dan menatapnya pasrah.

“Insya Allah…mudah2an kita semua bisa masuk syurga dan ketemu disana” jawabku singkat untuk menghentikan celotehnya.

“Tante Mar janji yaaa??! Matanya tepat bertabrakan dengan mataku.
“Janji apa?”aku menatap bingung raut mukanya yang gembul dan menggemaskan.
“Janji, kalau tante akan patuh sama Allah!
Supaya nanti bisa masuk syurga dan kita ketemu disana…” kali ini dia berbicara dengan nada dan tatapan yang sangat serius.

Aku benar2 tidak berdaya kali ini.
Semua perbendaharaan kata di kepalaku lenyap menguap.

“Tapi Fatimah juga janji sama tante Mar” kutatap tegas hitam matanya
“Janji apa?” sorot matanya menatapku patuh
“Untuk taat sama Allah dan selalu berdoa semoga kita termasuk orang2 yang dimasukkan ke syurga” jawabku dengan sepenuh hatiku.

Ia hanya menatapku lekat dan menganguk dengan semangat.

“Tanteeeeeeeeeee…ini Hanif nakaal, buku gambarku diambilnya…“ Jeritan Hamzah menghentikan pembicaraanku.

“Sebentar ya Fatimah, tante ke tempat Hamzah dulu” pamitku kepada Fatimah
“Tapi tante…”
“Ya?” kutatap sejenak Fatimah
“Aurat Tante Mar kelihatan..” katanya perlahan setengah berbisik
“Oya?! Bergegas aku memeriksa pakaianku. Mungkin tanpa aku sadari ada pakaianku yg tersingkap.
“Hmm..aurat yang mana Fatimah?! Pakaian tante kan sudah rapi menutupi semua aurat?” tanyaku heran.
“Ituuu.. rambut Tante Mar keluar2…kata tante rambut kan aurat??” bening matanya meminta persetujuanku atas ucapannya

Pfffhh…kutatap muslimah cilik ini dengan sejuta rasa….tidak ada kata2 yang keluar dari mulutku. Hanya seulas senyum tak berdaya terukir di sudut bibirku, seraya membenahi rambut dan kerudungku. Hhfff…Ternyata benar. Mengajar anak di waktu kecil itu bagai mengukir di atas batu. Begitu kuat melekat terpahat, gumamku dalam hati.

Segera kuhampiri Hamzah dan Hanif yang tengah bergulat, dua pemuda kecil ganteng yang tidak pernah bisa hidup berdampingan dengan damai. Setelah mereka berhasil kulerai dan saling memaafkan, aku kembali ke tempat Fatimah untuk melanjutkan praktek sholat yang tertunda. Tapi ia tidak kutemui lagi ditempatnya. Mataku menangkapnya di pojok ruangan sedang menikmati coklat dengan asyiknya. Ck.ck..ck….anak ini memang luar biasa aktifnya.

Kuhampiri Stefan, blasteran Indo-Jerman yang sedari tadi asik berkomat kamit dengan teman sebayanya Azzam, yang tengah mengulang hafalan Qurannya. Surat An-naba yang dilafalkannya dengan aksen Jerman yang kental sungguh menggelitik pendengaranku.

Subhanallah, inilah indahnya Islam.
Saat kita beribadah, kita mempunyai satu bahasa dan tata cara yang sama.
Saat kita membaca aturan-Nya, kitapun mempunyai Al-Quran yang sama.
Tulisan yang sama, walau dibaca oleh bangsa dengan bahasa yang berbeda, di belahan bumi mana saja.

Kumandang Adzan Dzuhur menghentikan segala aktifitas mengajarku di Masjid Ali di kota tempatku menuntut ilmu.

Keringat yang menetes deras di dahiku tidak mengurangi rasa bahagia yang penuh di dalam relung jiwaku. Tak terasa, 12 tahun sudah aku mengajar anak2 mengaji. Suatu karunia yang sungguh luar biasa bagiku. Aku begitu bersyukur telah diberi kesempatan oleh Allah untuk mengajarkan walau hanya alif ba ta tsa. Untuk mengajarkan hafalan Quran, walau hanya Al-Fatihah. Untuk selalu mengenalkan keberadaan Allah dan ajaran Rosulullah.

Begitu banyak kejadian indah dan penuh makna yang telah kulalui bersama murid2 kecilku. Malaikat kecilku. Bintang kecilku. Matahariku. Guru mungilku.

Karena sesungguhnya justru aku yang banyak belajar dari mereka. Justru aku yang selalu diingatkan oleh mereka. Justru aku yang membutuhkan mereka untuk selalu ada. Untuk selalu berusaha menjadi sebaik baik manusia. Karena Rosulullah yang mulia bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim; sesungguhnya sebaik – baik kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan Al – Qur’an”.

Ba’da Dzuhur di awal musim semi kala itu, kupanjatka do’a kepada Allah yang telah mengatur segalanya dengan sangat indah bagiku.

Allah…selalu kupinta padaMu
Jangan pernah cabut nikmat ini ya Allah
Nikmat untuk tetap kau beri kesempatan hingga berakhirnya masa hidupku
Untuk selalu bisa mengajarkan kalamMu,
Walau hanya satu alif saja ya Allah
Walau hanya satu do’a saja ya Rabb
Walau hanya sepatah kata saja tentangMu.

Sesungguhnya Allah SWT, juga malaikat serta para penghuni langit dan bumi, sampai-sampai semut yang di dalam lubangnya dan ikan hiu yang ada di lautan, semuanya memohonkan rahmat bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang banyak
[HR Tirmidzi]

My reflection. 12 tahun penuh cahaya.
Untuk semua adik2ku di Masjid Al-Ur,
bintang kecil dan matahariku di masjid Al-Jihaad
and malaikat mungilku di TPA-Frankfurt