Saat Musim Khitan Tiba

"Ayah, jadi benar kan nanti liburan sekolah Zidan di sunat?" dengan gembira penuh harap, anak laki-lakiku bertanya.

"InsyaAllah, libur nanti kamu Ayah khitan. Yang pasti nilaimu harus bagus. Do’akan juga agar kerjaan Ayah lancar ya, " sambutku dengan senyum.

"Tentu dong, Ayah kan orang paling baik. Pasti kerjaan Ayah lancar deh, " ujarnya balik menyemangatiku.

Awal bulan Januari ini, praktis kegiatan belajar mengajar di beberapa sekolah berkurang. Begitu juga dengan anak ketigaku, Zidan yang duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3. THB baru saja diselesaikannya dengan baik. Nilai rata-ratanya 8, 5 dan juara ketiga di kelas.

Memang sejak awal test, aku sudah berjanji padanya, bila THB nanti dapat nilai bagus maka dia akan dikhitan. Saat itu kulihat kegembiraan yang meletup-letup di mata bocah lelakiku. Karena memang sudah ada 9 orang teman sekelasnya yang berencana dikhitan.

Bersama Ibunya sudah kupersiapkan segala keperluan untuk pesta perayaan khitan anak laki-lakiku satu-satunya, kebetulan kakaknya dua orang perempuan semua. Kami berencana membuat panggung hiburan yang cukup meriah, dengan mengundang sebuah grup marawis sebagai pembuka serta malam harinya diisi organ tunggal dengan tiga orang penyanyi.

Cukup menguras kocek juga setelah dihitung dana yang diperlukan Tapi apalah arti materi, jika untuk kesenangan anak sendiri, toh kita bekerja untuk mereka, pikirku dalam hati.

"Nanti Zidan ingin di sunat bareng teman-teman ya Yah. Di klinik depan komplek, " kata anakku.

"Lho kenapa klinik yang itu Zidan, kamu tidak takut?Di klinik hanya dilayani seorang manteri saja, " ujarku menanggapi permintaannya.

"Lebih baik di Rumah dr Husein saja, beliau lebih berpengalaman, " tambahku.

"Zidan kan ingin bareng teman-teman di sunatnya, Yah, " rengeknya.

"Baiklah kalau itu memang kehendak Zidan, Ayah akan turuti, " aku sedikit khawatir.

"Sekarang Zidan mau tidak antar Ayah?" lanjutku

"Siap, Zidan siap mengantar Ayah yang baik, " katanya dengan semangat mungkin karena permintaannya di khitan dengan teman-temannya aku kabulkan.

"Kita sekarang ke tempat penyewaan tenda, sekalian mengukur baju untukmu, lalu kita ke Depok menemui pimpinan Marawis dan organ tunggal, " jelasku.

"Marawis dan organ tunggal?" dia bertanya.

"Iya, pengisi hiburan persis sewaktu Om Harno menikah bulan lalu.
Kamu ingatkan?" aku jelaskan mengenai rencanaku bersama Ibunya.

"Buat apa sih Ayah repot-repot bikin tenda, pakai organ tunggal segala?" tanyanya dengan santai.

"Ini kan acara sekali untuk seumur hidup kamu. Jadi boleh dong kita rayakan dengan meriah, " aku bingung dengan pertanyaannya

"Tapi kan Yah, dengan bikin tenda dan mengundang organ tunggal biayanya mahal, " aku kaget dengan pertanyaannya kali ini.

"Zidan pernah dengar dari guru ngaji Zidan di TPA, kalau sekarang ini banyak orang sedang susah. Katanya untuk makan saja mereka harus kerja dari pagi sampai pagi lagi, " ujarnya dengan lugu tapi pasti.

"Lalu apa lagi yang Zidan tahu?" tanyaku dengan ragu

"Kata guru ngaji Zidan, kita semua beruntung punya orang tua yang cukup. Contohnya Ayah yang baik, bisa sekolahin Zidan, bisa kasih uang jajan Zidan. Memang Ayah tidak tahu kalau si Karsito tidak sekolah dan tidak pernah dapat uang jajan karena ayahnya sudah tidak ada?" tanyanya

"Karsito yang mana?" aku balik bertanya penuh keingin tahuan.

"Itu Karsito, yang suka nemenin Ibunya jualan nasi uduk keliling komplek kita. Kata Karsito ayahnya yang dulu kuli bangunan sekarang sudah meninggal. Karsito bilang sih karena waktu kerja bikin sekolahan ayahnya terjatuh, " jawab Zidan. Semakin kaget aku dibuatnya.

"Kasihan dia loh Yah. Sekolah aja nggak. Bagaimana bisa pintar? Ayah kan pernah bilang kalau mau pintar harus sekolah yang tinggi, " Aku sudah tidak mempunyai pertanyaan lagi untuknya.

"Coba kalau uang Ayah yang untuk sewa tenda dan bayar penyanyi dikasihkan ke orang tuanya, pasti Karsito bisa sekolah lagi deh. Bisa jadi anak pintar juga seperti Zidan."

Kali ini aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi, kupeluk tubuhnya yang mungil dengan erat, segenap ragaku luluh dalam kebanggaan. Kebanggaan seorang Ayah yang memiliki anak seperti dambaan setiap orang. Anak yang mengingatkan Ayahnya akan "kepedulian" pada sesamanya yang tidak mengukur segalanya dari materi dan kesenangan dunia semata. Kepeduliannya membuktikan, bahwa pendidikan agama yang baik adalah tiang utama menjadikan generasi kuat penerus umat negeri ini.

Aku sangat malu dengan kenyataan yang ada, saat banyak saudara di negeri ini tertimpa musibah dan bencana aku menghambur-hamburkan harta hanya untuk menyenangkan anak yang justeru tidak mengharapkan ayahnya melakukan pemborosan itu yang sebaliknya ia mengingatkanku akan kepedulian pada sesama.

Aku juga semakin malu bila ingat saat masjid tempat anakku mendapat bimbingan agama membutuhkan dana pembangunan,
dengan berat hati aku menyumbang ala kadarnya.

Ampuni atas ketidak pedulianku ini ya Rab.

(saat gerimis menyirami tanah merah di Bojong Depok Baru)

Jojo_wahyudi@manulife. Com