Sabar dan Mengutamakan Kepentingan Orang Lain

Kesempatan untuk berhaji merupakan karunia dari Allah SWT yang patut disyukuri. Banyak orang yang telah mendaftarkan diri untuk beribadah haji, namun harus menunggu daftar antrian atau waiting list yang cukup panjang. Inilah tahap awal proses ibadah haji, sejak tahap pendaftaran kita harus sabar memantau waiting list haji dari tahun ke tahun. Waiting list biasa ditempel di Kantor Departemen Agama setempat, yaitu kota atau kabupaten. Kuota haji dari pemerintah Saudi Arabia untuk negara kita telah ditentukan jumlahnya. Distribusi kuota haji ke daerah disesuaikan secara proporsional sesuai jumlah penduduk muslim di daerah tersebut.

Ada juga yang telah memiliki kemampuan untuk berhaji, tetapi masih belum berencana untuk melaksanakannya. ”Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. ” (QS Ali Imran [3]: 97).

Perjalanan untuk ibadah haji memerlukan proses persiapan yang cukup panjang. Mulai dari pendaftaran dengan setoran minimal jumlah tertentu di Bank, kemudian mendaftar di Kantor Departemen Agama setempat. Setelah mendapat kepastian porsi untuk berangkat, banyak urusan harus dilakukan. Mulai dari cek kesehatan, melakukan proses administrasi pelunasan biaya perjalanan ibadah haji. Pembuatan pasfoto, fotocopy dokumen-dokumen seperti KTP dan Kartu Keluarga harus disipkan juga. Karena semua urusan harus dilakukan pada saat hari kerja, mau tak mau harus rela meninggalkan pekerjaan sehari-hari. Yang paling utama untuk persiapan ibadah haji adalah mengikuti pelatihan manasik haji.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Calon haji harus memasuki embarkasi haji untuk segera diberangkatkan ke Tanah Suci. Proses registrasi di embarkasi haji adalah titik awal prosesi ibadah haji. Semua harus mau antri dengan sabar dalam tahapan proses yang telah ditentukan.

Setelah proses registrasi calon haji selesai, dilanjutkan antri untuk pembagian paspor, boarding pass pesawat terbang dan living cost beberap saat sebelum keberangkatan dari emarkasi haji ke bandara. Makan siang dan makan malam dengan sistem kupon harus dilakukan dengan antri pula. Untuk memakai kamar mandi di Embarkasi Haji pada saat sore hari harus antri juga. Antrian bersama ratusan orang telah dimulai di Embarkasi Haji. Bagaimana nanti di tanah suci, dengan jutaan jama’ah haji untuk antri sesuatu, misalnya toilet dan tempat wudhu di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi? Pikiran berkecamuk dalam benakku.

Kunci untuk mengatasinya adalah kesabaran dan ketertiban dalam mengantri sesuatu. Aku memohon kepada Allah SWT untuk selalu diberikan kesabaran. Bukankah salah satu indikator taqwa adalah kesabaran. Taqwa tidak bisa didapatkan secara seketika. Memerlukan usaha yang istiqamah untuk mendapatkannya. Sabar, syukur, istighfar, dan banyak berbuat kebajikan sebagai indikator taqwa, merupakan kunci-kunci kenikmatan selama beribadah di Tanah Suci. Sebaik-baik bekal untuk ibadah haji adalah taqwa. ”Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. ” (Al-Baqarah [2]: 197).

Di Masjid Haram dan Masjid Nabawi, tersedia puluhan toilet dan tempat wudhu yang terletak di bawah tanah halaman Masjid. Antrian panjang saat menjelang waktu sholat wajib lima waktu merupakan pemandangan yang umum di depan toilet Masjid. Di sini terlihat karakter orang yang bermacam-macam. Ada yang sabar dalam antrian, ada yang sedikit sabar, ada yang tidak sabar sama sekali. Yang terakhir ini biasanya akan berulah dengan mengetuk toilet yang sedang terisi, maksudnya agar orang yang sedang berada di dalamnya segera ke luar.

Di Arafah dan Mina, makanan untuk jama’ah haji Indonesia disajikan secara prasmanan. Namun, jama’ah haji tidak bisa mengambil sendiri. Ada petugas yang mengambilkan nasi dan lauk ke dalam piring aluminium foil persegi panjang bersekat-sekat. Satu kloter (sekitar 300 sampai 400 orang) mendapat satu meja makan prasmanan, dilayani oleh dua orang petugas catering service. Buah-buahan dan minuman tersedia cukup banyak. Bahkan pelayanan aneka minuman seperti teh, kopi, air dalam botol kemasan dan sari buah dalam kotak kemasan tersedia selama 24 jam. Kalau antrian sedang panjang, biasanya orang mengganjal dulu perut dengan mi instant dalam mangkok yang disediakan oleh maktab haji. Tinggal dituang dengan air panas yang tersedia melimpah. Kalau antrian tinggal sedikit, kemudian antri untuk makan nasi.

Dalam antrian panjang makan siang menjelang wukuf di Arafah di bawah terik matahari, dua orang ibu yang sudah berusia lanjut dengan nada iba, memohon agar tidak usah antri. Berat bagi mereka untuk mereka berlama-lama berdiri di bawah terik matahari. Dengan ramah, seorang ibu muda yang berdiri di antrian terdepan mempersilakan mereka untuk langsung menuju meja. Antrian yang panjang di belakangnya tidak protes karena didahului orang lain. Semuanya dengan kerelaan hati mendahulukan kepentingan orang lain, padahal semua orang dalam antrian sama-sama mempunyai kebutuhan untuk segera makan.

Hal di atas mengingatkan kisah di balik perang Yarmuk. Ikrimah, seorang mujahid bersama dua sahabat yang lain terbaring dengan luka-luka sangat parah. Ketika seorang sahabat hendak memberinya minum, ia menolak dan menyuruh air itu diberikan ke teman di sebelahnya. Ketika air itu akan diberikan ke sebelahnya, orang tersebut juga menyuruh diberikan lagi ke sebelahnya pula. Ia memilih mengalah pula pada saat-saat yang penting tersebut. Namun orang ketiga yang dimaksud sudah wafat dalam keadaan syahid, ketika kembali lagi si pemberi minum ke sahabat yang tengah, ternyata ia sudah syahid juga. Dan ketika beranjak ke Ikrimah, ia pun telah syahid. Subhanallah dalam detik-detik terakhir kehidupan atau di saat-saat kritis sekalipun mereka tetap mendahulukan kepentingan orang lain.

Peristiwa hijrah Rasulullah SAW beserta sahabat dan pengikut Islam dari Makkah ke Madinah, memberikan contoh lain di mana kepentingan orang lain lebih diutamakan. Dalam hal ini kaum Anshor rela berkurban untuk kepentingan kaum muhajirin. ”dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung ”. (QS Al-Hasyr [59]: 9)

Mendahulukan kepentingan orang lain dalam interaksi sosial sehari-hari adalah suatu kebajikan. Sekadar contoh, masuk ke dalam bis kota dengan antri secara tertib merupakan hal yang kelihatannya ringan tetapi bernilai mulia. Atau memberikan tempat duduk dalam bis kota kepada orang yang sudah lanjut usia dan ibu-ibu yang membawa bayi. Seperti oase di padang pasir yang menyejukkan, di tengah-tengah fenomena kehidupan saat ini yang hedonis dan individualis terdapat orang yang mempunyai empati demikian terhadap orang lain, semata-mata mencari ridho Allah SWT.