Sambutan Terbaik Buat Kekasih

Kring! Kring!

Telepon segera kuangkat. “Halo?”

“Assalaamu’alaikum!” suara menyahut di seberang.

“’Alaikum salaam warahmatullah,” kurasa aku mengenali suara itu. “Dari siapa, ya?”

“Saya Rofi’i, Mas Bah,” jawab laki-laki itu, tepat seperti dugaanku.

“O, ya ustadz. Ada yang bisa saya bantu?”

“Nggak. Saya cuma ingin nanya ke isteri antum. Ada beliaunya?”

“Oh, lagi belanja di warung sebelah ustadz.”

“Kalau gitu, nanti saja saya telpon lagi. Soal buku itu lho Mas!”

“Oh, ya nanti saya sampaikan, ustadz.”

***

“Tadi ustadz Rafi’i sudah telpon,” kata isteriku sambil menyiapkan makan sahur. Besok adalah hari pertama puasa.

“Oh, ya?” jawabku. “Tentang apa? Buku itu ya?”

Beberapa bulan yang lalu, isteriku pernah menitip sejumlah uang kepada Ustadz Rofi’i. Ia memesan buku yang diceritakan ustadz itu dan tertarik memilikinya. Namun, buku itu tak kunjung ada kabar; hingga kemudian ustadz Rofi’i diingatkan seseorang. Barulah beliau teringat akan amanah yang belum ditunaikan itu, namun lupa buku apa yang dipesan. Isteriku juga sudah lupa. Akhirnya, beliau menyerahkan beberapa buku untuk dipilih. Isteriku pun dalam beberapa lama belum memilih buku mana yang ia kehendaki, karena ada beberapa buku yang dititipkan ustadz melalui seseorang belum juga sampai ke tangannya. Akhirnya buku itu baru diterimanya menjelang Ramadan ini.

“Ya, tentang buku-buku itu,” isteriku menyahut, sementara tangannya menata piring di atas meja makan. “Cuma aku nggak enak aja.”

Aku menoleh padanya. “Lho, emangnya kenapa?”

“Aku sempat menyangka yang bukan-bukan sama ustadz.”

“Yang bukan-bukan, gimana?”

“Ngapain sih buku yang baru kuterima udah ditanyakan pula? Ustadz ini gimana sih? Takut bukunya hilang kubawa atau apa?”

“Lantas, apa yang ternyata beliau bicarakan dalam telpon?”

“Beliau nanya, dari buku-buku yang sudah dikirimkannya, mana yang aku pilih?”

“Sampean pilih yang mana?”

“Kusampaikan kalau aku memilih tiga judul di antaranya. Lantas aku bertanya pada ustadz, kurang berapa duitnya?”

“Apa jawabnya?”

“Sudahlah, Mbak Farida. Duit yang dititipkan saya dulu anggaplah cukup.”

“Lho, kan cuma lima puluh ribu, ustadz? Pasti harga ketiga buku itu jauh lebih besar dari duit yang saya titipkan.”

“Tak mengapa, Mbak. Saya anggap cukup. Saya hanya ingin memasuki Ramadan ini dengan plong, tanpa tanggungan. Rasanya nggak khusyu’ menjalankan ibadah puasa sementara saya masih memiliki tanggungan amanah buku sama Mbak yang belum saya tunaikan. Alhamdulillah, sekarang tanggungan saya sudah lunas.”

"Kurasa memang demikianlah ustadz Rofi’i yang aku kenal," komentarku setelah mendengar ceritanya.

"Ya itulah. Aku jadi ngerasa nggak enak. Sudah menerka yang bukan-bukan."

***

Menjelang Ramadan ini banyak SMS bertebaran masuk ke ponsel kita. Tak sedikit pula email masuk ke mailbox kita. Semua berisi ucapan senada, yakni selamat menjalankan ibadah puasa, sepenggal doa, dan tak lupa meminta maaf atas segala khilaf. Banyak juga yang kreatif dengan menyusun kata-kata sedemikian indah.

Sejauh yang kita ketahui, praktis tidak ada tuntunan agama yang khusus menganjurkan hal demikian untuk menyambut Ramadan. Namun, adakah larangan untuk saling meminta maaf dan saling mendoakan satu dengan lain?

Seyogyanya hal demikian memang bisa dilakukan kapan saja, tanpa harus menunggu momen tertentu. Ramadan misalnya. Namun, bagaimanapun Ramadan adalah bulan yang penuh hikmah, rahmat, dan ampunan. Bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an. Bulan yang di dalamnya ada sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Bahkan Rasulullah sendiri menganjurkan bersiap menyambut Ramadan jauh-jauh hari. Sejak Rajab, dua bulan sebelumnya. Beliau menganjurkan kita berdoa, “Allaahumma baariklanaa fi rajab wa sya’bana, wa baalighnaa Ramadaan.”

Jika Ramadan adalah layaknya seorang kekasih yang datang setelah tak berjumpa hampir setahun lamanya, maka tak ada salahnya kita mempersiapkan penyambutan padanya. Dengan membuat plong hati kita sebelum memasukinya. Ada yang mengirim salam. Ada yang saling meminta maaf atas segala salah dan alpa. Ada yang saling mendoakan.

Dan ustadz Rofi’i memulakan Ramadan dengan caranya sendiri, yakni menyelesaikan seluruh tanggungan amanahnya yang masih mengganjal. Semua dilakukan semata hanya ingin menjumpai Sang Kekasih dengan sambutan yang terbaik.

***

Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com