Satu Pelajaran Lagi!

Bau khas yang menusuk langsung menyeruak rongga pernafasan saya, mengharuskan langkah kaki bergegas meletakkan kantong plastik berisi sampah yang menggantung di tangan. Tiba-tiba ada seorang bapak pemulung muncul dari balik gerobak sampah yang di parkir tak jauh dari bak sampah di depan saya. Persis ketika saya akan membungkuk meletakkan bawaan.

“Alhamdulillah…, sampah lagi. Mari bu, sini, sampahnya buat saya”.

Bapak itu serta merta menangkap plastik di tangan saya. Senyum lebarnya tercipta demi melihat kantongtersebuttelah berpindah ke dalam genggamnya. Saya sendiri hanya bisa tersenyum kecut. Beberapa detik saya hanya mematung. Bukan karena kemunculan bapak tadi yang memang mengagetkan saya. Tetapi kata-kata yang beliau dilontarkan. Dapat sampah, bersyukur? Subhanalloh

Sekilas saya lihat penampilan si bapak pemulung. Celana belel dan kaos oblong berlambang salah satu partai peserta pemilu yang sudah pudar warnanya membalut tubuhnya yang ringkih. Kerutan sudah mulai banyak di wajahnya. Gerobak yang dimilikinyapun berpenampilan senada. Seng bekas yang sudah penuh karat menjadi dindingnya. Kumuh!

Saya bergegas melanjutkan perjalanan ke tempat kerja. Kejadian tadi masih membayang. Duh bapak! Nampak berat beban yang harus ditanggungnya. Di usianya yang sudah menua, masih bekerja seberat itu. Berangkat dari rumah dengan menyeret gerobak kumuhnya, mengais rezeki dari sisa-sisa orang lain, demi rupiah yang setiap hari tak pernah pasti jumlahnya.

Membayangkan diri sendiri. Yang berangkat dari rumah dengan kendaraan yang tak perlu banyak tenaga untuk membawanya. Menuju kantor dengan pekerjaan tetap yang rupiahnya dapat jelas tergambar.

Sungguh kontras dengan saya! Bila si bapak pemulung dengan beban beratnya tadi masih dapat mengucap syukur atas sampah yang didapatnya. Saya, yang hanya ‘harus’ membuang sampah dua hari sekali terkadang menyambutnya dengan kesal hati. Padahal yang harus saya lakukan hanyalah meletakkan kantong-kantong sampah itu ke tempatnya lalu pergi. That’s all.

Saya langsung beristighfar. Mengingat saya yang kadang berkerut-kerut hanya karena urusan tersebut.

“Males nih, bawa sampah pagi-pagi. Ntar sore aja, pulang kerja”. Begitu kilah saya biasanya kalau si kaka (khadimat kami) menginfo-kan kalau sampah sudah menumpuk dan harus segera dibuang.

Yang saya alami pagi ini, sungguh sebuah tamparan paling keras bagi saya yang terkadang masih saja mengeluh hanya karena urusan yang sebenarnya terlampau kecil. Sekedar membayangkan, seandainya saja yang berada di posisi bapak pemulung tadi adalah diri saya, tak tahulah apa yang akan saya lakukan. Apakah saya masih bisa mencipta sebuah senyuman? Wallahu’alam.

Alhamdulillah! Terima kasih ya Alloh, telah Engkau pertemukan hamba dengan seseorang yang membuat hati ini lebih menunduk syukur atas kelapanganMu. Di relung terdalam erikat janji, untuk tidak gampang mengeluh. Satu pelajaran telah saya dapatkan lagi. Semoga takkan ada lagi keluhan. Insya Alloh!

* Untuk seorang bapak yang saya temui pagi ini. Terima kasih banyak ya, pak! Semoga selalu ada kelapangan menyertai harimu …

http://yunnytouresia.multiply.com