Saya Merindukan Semangat Perindu

At Ta’beer huwa al-mir ah lee ‘isyqi al-‘aasyeeq“. Menulis bagi seorang perindu adalah ruang mendefinisikan kerinduannya. Kalimat yang ditulis besar dengan warna tinta biru, menghias dinding tepat di atas meja belajar Ameena. Kalimat yang menyemangati Ameena untuk selalu menjadi perindu yang dapat mendefinisikan kerinduannya dengan selalu menulis, menulis dan menulis.

Bagi Ameena aktivitas menulis adalah kebutuhan utama untuk nutrisi akal, jiwa dan hatinya secara bersamaan. Menulis menjadi aktivitas yang harus dia lakukan setiap hari. Satu jam dia luangkan dari dua puluh empat jam yang dimilikinya. Hanya satu jam. Menulis catatan-catatan penting, catatan perjalanan, catatan hikmah yang ditemuinya berserakan dalam jenaknya, catatan rasa sedih, gembira dan catatan kegundahannya setiap ketimpangan sosial yang dilihat dan didengarnya terjadi di sekitarnya, dan catatan apapun yang terlintas dalam ruang pikirnya adalah catatan yang mewarnai setiap halaman dari buku diarinya. Menariknya lagi buku diarinya yang tidak terhitung jumlahnya itu menjadi barang bawaan wajib baginya, setiap keluarga besarnya membawanya berpindah dari satu kota ke kota yang lain, dari satu negeri ke negeri yang lain. Aktifitas menulis catatan harian baginya adalah kenikmatan sekaligus pemenuhan kebutuhan mengekspresikan dirinya.

Setiap kali liburan berakhir Ameena membawa beberapa buku diarinya ke asrama, meminta saya dan beberapa teman yang lain untuk membacanya. Sebuah tulisan dengan bahasa Arab fushhah, dan di tulis dengan sastra yang tinggi. Saya yang masih bau kencur dalam bahasa Arab, sungguh tidak banyak mengerti dan paham dengan catatan yang dia tulis. Dengan ditemani kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, saya coba mengeja dan mencerna makna indah yang Ameena susun menjadi kalimat-kalimat yang bernas, nyaris tidak ada diksi yang sia-sia untuk mengungkap dan menjelaskan pandangannya.

“Mengapa tidak coba kamu kirim ke penerbit? agar lebih banyak orang yang mendapat kemanfaatan dari apa yang kamu tulis” Suatu kali Sarah menyarankan Ameena untuk mengirim catatan-catatan hariannya tersebut ke penerbit.

“Catatan-catatan ini bukan untuk diterbitkan, catatan-catatan ini saya buat untuk konsumsi saya, keluarga, teman, dan orang-orang yang mengenal saya saja. Kalau nantinya catatan-catatan ini Allah ridloi sebagai tulisan yang pantas untuk dibaca semua orang, saya yakin suatu saat tulisan ini menjadi warisan yang saya tinggalkan untuk generasi setelah saya” Jawab Ameena panjang lebar menjelaskan maksud keberatannya untuk menyerahkan catatan hariannya kepada penerbit.

Kebiasaan Ameena dalam menulis catatan hariannya menjadikannya sangat mudah untuk menulis dengan cepat. Sehingga saya dan teman-teman yang lain dalam satu flat menjadikannya tempat bertanya dan tempat akhir untuk mengoreksi tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Terkadang ketika kami buntu dan tidak terpikir ide untuk tulisan kami, meminta pandangan Ameena adalah solusi yang kami ambil, dan dengan cepat juga Ameena memberikan pandangannya dengan jelas lengkap dengan kerangka yang kemudian membantu kami untuk menuliskan tugas-tugas kami.

Suatu saat saya dan beberapa teman beraktivitas di penerbitan buletin ‘Isyroq’. Sebuah buletin yang kami terbitkan satu bulan satu kali. Setiap mendekati masa deadline dan masih ada rubrik yang kosong, spontan kami mencari Ameena dan meminta darinya untuk menuliskan artikel yang sesuai dengan tema yang kami ambil pada masa penerbitan tersebut. Tidak lebih dari satu jam tulisan tersebut kemudian Ameena serahkan ke meja redaksi kami. Luar biasa. Kami selalu menggelengkan kepala dengan kecepatanya dalam menampilkan pelbagai mutiara yang dimiliki dirinya dalam bentuk tulisan. Akhirnya kami mendaulatnya menjadi salah satu konstributor dalam rubrik khusus yang kami sediakan untuknya. Rubrik tersebut kemudian menjadi rubrik yang digemari dan selalu ditunggu oleh para pembaca.

“Hanya satu yang kita butuhkan dalam menulis” Suatu hari Ameena menjawab pertanyaan saya mengenai rahasia semangat yang dimilikinya untuk menjadikan menulis adalah kebutuhan yang harus dia penuhi, sebagaimana tubuh membutuhkan makan dan minum.

“Apa itu?”

“Semangat perindu untuk bertemu dengan orang yang dirindukannya. Dengan kata lain teruslah menulis sampai kamu bertemu dengan orang yang kamu rindukan” jawabnya kemudian.

“Kalau sudah ketemu dengan orang yang kita rindukan?”

“Kerinduan yang kumaksud adalah kerinduan yang tidak pendek, namun kerinduan yang dapat melintasi ruang dan waktu”

“Wah kerinduan yang bagaimana ya yang seperti kerinduan itu? apa ada?”

“Ada. Kerinduan bertemu dengan Allah adalah kerinduan yang kumaksud” Sebuah kerinduan jangka panjang yang telah menjadikan Ameena tidak berhenti menulis, menulis, dan menulis.

Saya sekarang merindukan semangatmu dalam menulis, wahai Ameena. Gumam saya dalam hati, setelah mengetahui rahasia semangatnya dalam aktifitas menulisnya. Memburu buku-buku motivasi, bergabung dengan beberapa milis kepenulisan dan belajar dari cerita-cerita sukses para penulis besar, adalah cara yang kemudian saya tempuh untuk memburu semangat seperti semangat yang Ameena miliki.