Sebelum Hilang Cinta

Ketika ada biasa saja, ketika tiada begitu berharga. Gambaran inilah yang sering kita rasakan ketika orang yang kita cintai telah pergi meninggalkan kita. Ketika seseorang itu ada, hadir di tengah-tengah kita, kadang kita bersikap biasa-biasa saja. Namun ketika dia telah pergi meninggalkan kita, kadang baru terasa dia sungguh berharga dan bermakna. Kitapun menyesal ketika belum bisa melakukan yang terbaik untuknya semasa masih hidup dulu.

Saya mempunyai cerita tentang hal ini. Bukan kisah saya, tapi kisah seorang sahabat saya yang kini menetap di Kota Makasar. Saya pertamakali berkenalan dengannya ketika sama-sama menjadi delegasi pada acara Musyawarah Nasional (Munas) Forum Lingkar Pena (FLP) di sebuah hotel yang dingin sekitar Kaliurang Jogjakarta di tahun 2005. Kesan pertama, dia begitu kalem, rapi dan murah senyum. Setelahnya, saya menjalin komunikasi dengannya melalui dunia maya. Banyak cerita yang sempat terlontar, tak hanya seputar kepenulisan tetapi juga tentang kisahnya yang bagi saya sangat mengharukan.

Sahabat saya ini pernah kehilangan orang yang begitu dicintainya, dialah isteri tercintanya. Isterinya itu harus meninggalkannya lantaran sakit ketika usianya masih cukup muda, kelahiran tahun 1983 dan meninggal tahun 2005. Wanita itu meninggal ketika cinta sedang mekar di antara mereka, ketika benih-benih cinta mulai tertanam. Tapi, takdir berkata lain. Mereka harus terpisahkan, kematian begitu cepat menghantarkan wanita itu meninggalkan dunia fana ini.

Saya membayangkan bagaimana perasaan sahabat saat tadi ketika mendapati kenyataan isterinya telah tiada. Sedih tentu saja menyelimuti relung jiwanya. Layaknya seorang isteri, tentu ia adalah sumber inspirasi dan penyemangat hidupnya, menjadi mitra dalam kehidupan kesehariannya di kala senang maupun susah. Sahabat saya itu mengenangkan bagaimana ketika isterinya memberikan semangat “Bang skripsinya, ayo dong lekas dirampungkan”. Itu salah satu kata yang sempat terngiang, sederhana namun begitu dalam dirasakannya karena ucapan itu keluar dari isteri tercintanya.

Ketika mengenangnya, kesedihan, tentulah dirasakan sahabat saya. Tapi dia tak mau terus terusan berkeluh kesah dan meratapi kepergian isterinya itu. Dia mencoba bangkit, mencoba tegar untuk memulai hidup baru. Bagaimanapun juga, itulah kenyataan yang mesti dihadapinya. Mencoba kembali menapaki langkah tanpa kehadiran isterinya.

Hem… kematian memang misterius. Dia pasti datang tapi kita tidak tahu kapan persisnya.

Namun, bagi seorang muslim justru kematian menjadi jalan untuk bertemu kekasihnya, dialah Allah SWT. Yang terpenting adalah bekal yang cukup untuk kelak bisa bertemu denganNya.

***

Dari pengalaman seorang sahabat itu, kita bisa belajar untuk menghargai orang yang kita cintai. Sebelum hilang cinta, sebelum dia tiada, hargailah ia. Siapapun, entah dia adalah orang tua kita, teman-teman kita, isteri atau suami kita, yang pasti lakukan yang terbaiknya untuknya, berikan sesuatu yang membuatnya merasa bahagia.

Perlakukan ia sebaik-baiknya, sepanjang yang kita bisa agar dia bisa memperlihatkan senyum tersimbul dari bibirnya, sebuah tanda atas kebahagiaan. Mudah mudahan dengan cara demikian, kelak kita tidak dihinggapi rasa bersalah atas kematian orang yang kita cintai karena belum bisa memberikan yang terbaik semasa hidupnya. (yon’s revolta)

~Snow man in the mountain~, Agustus 2006

[email protected]