Sejatinya Seorang Ibu

Betapa beruntungnya menjadi seorang ibu. Baginya terbentang pujian, penghormatan, dan kenangan istimewa dari tiap insan, karena setiap manusia terlahir dari "rahim" seorang ibu.

Rahim sendiri berarti kasih sayang; sepotong kata yang enak di dengar dan menentramkan. Begitu indah dan suci.

Sungguhlah tepat Allah SWT yang menganugerahi rahim dalam diri seorang ibu, menjadikannya sumber kasih sayang bagi mahluk mungil yang dilahirkannya, diasuh dan dibesarkan hingga dewasa, seterusnya bahkan sampai kapan pun jua. Kasih sayangnya akan terus mengalir. Dalam setiap doa dan pengharapan, ibu menginginkan yang terbaik bagi para buah hatinya.

Tugas ilahiah seorang ibu adalah tugas sesuai kodratnya. Sangat mulia dan berat, sehingga mustahil peran tersebut dapat dilaksanakan dengan tepat tanpa adanya keselarasan jiwa seorang ibu dengan kodrat yang telah dianugerahkan oleh Yang Mahatahu. Jiwa suci penuh nur illahi seorang ibu, akan mengantarkan putra-putrinya pada kehidupan penuh kemuliaan, kebahagiaan, ketentraman lahir bathin.

Tengoklah sosok Anas bin Malik. Sentuhan nilai moral Sang Ibu (Rumaisha binti Milhan/Ummu Sulaim) semenjak Anas masih kecil, menjadikan putranya tersebut sangat mengenal dan mengasihi Rasulullah Muhammad SAW berikut ajaran beliau yang mulia meski belum pernah sekalipun bertemu muka dengan Rasulullah SAW. Kerinduan Anas untuk bertemu dengan Rasulullah begitu membuncah, meluap-luap…. hingga ketika tersiar khabar kedatangan beliau SAW ke Madinah, betapa bahagianya ia seolah tak sabar untuk berjumpa. Anas yang masih belia pun akhirnya membaktikan diri untuk melayani Rasulullah. Dan semenjak ia tinggal bersama Rasulullah SAW, Anas bin Malik menjadi salah seorang ‘terhebat’ dalam menghafal dan menyampaikan haditsnya.

Atau ingatkah kita dengan kisah empat kakak beradik yang gugur dalam peperangan membela Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab? Pemuda-pemuda gagah nan pemberani, menjadi mujahid melalui bimbingan seorang Khansa binti Amru. Ibu yang piawai melantunkan syair ini gemar mengobarkan semangat jihad melalui syair-syairnya. Maka tatkala mengetahui ke-empat putranya gugur di medan laga dengan kemenangan Islam gilang-gemilang, Al-Khansa terus memuji Allah dengan ucapan:"Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan mensyahidkan mereka, dan aku mengahrapkan dari Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengan mereka di tempat tinggal yang kekal dengan rahmat-Nya!" Dari peristiwa peperangan itu pula Sang Ibu mendapat gelar kehormatan ‘Ummu syuhada’ .

Dua kisah tadi hanyalah wakil dari jutaan kisah hebat seorang ibu dalam membesarkan dan mendidik buah hatinya hingga menjadi insan mulia yang didambakan. Kita masih bisa menebarkan pandangan dan menemukan kisah-kisah mengagumkan dari seorang ibu yang mungkin tanpa kita sadari, berada di sekitar kita; bahkan pada diri ibunda kita sendiri.

Bayangkan petuah-petuahnya, yang meski sering kita bantah namun terus mengalir, demi menjaga kita. Atau aktivitasnya yang dulu kita anggap hal sederhana: menyiapkan keberangkatan kita ke sekolah, menemani belajar, membelikan jajan, memilihkan pakaian, memijat badan kita, memegang kening kita dengan penuh kecemasan. Ketika ibu marah, tak kan berlangsung lama…, dan setelah itu kasihnya akan jadi berlimpah ruah. Aduhai Ibu…, sungguh indah kenangan bersamamu. Sungguh tak pantas, bila kita tak berbuat baik kepadanya.

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا

“Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan…” (Al-Ahqaf: 15)

Sebagai seorang anak, doa kita tentu sangat berharga bagi beliau; diiringi dengan perbuatan kita yang senantiasa diupayakan untuk kebahagiaannya, meski tak kan mampu membalas kebaikannya…

Jika pada masa kini kita menemukan sosok ibu yang memiriskan hati; segera perlu kita pertanyakan. Gerangan apa yang menyebabkan demikian?

Mengapa seorang ibu tega meninggalkan bayi mungilnya di sembarang tempat, atau bahkan menghilangkan nyawanya terlebih dahulu dengan cara yang biadab. Atau…menipu anak-anaknya dengan memberi minum susu yang terlebih dahulu diracuni; kemudian setelah buah hatinya menghadap Sang Pencipta, ia pun menghabisi sendiri kehidupannya?
Ada pula yang tega menghinakan darah dagingnya dengan menjual kehormatannya kepada para lelaki hidung belang. Ah.., ada apa dengan ibu-ibu seperti mereka?

Tentunya para ibu ini adalah wanita-wanita yang telah mencampakkan nilai-nilai ilahiah dari relung jiwa mereka. Nilai-nilai yang raib seiring dengan pudarnya kasih sayang yang murni. Nilai kasih sayang yang telah disimbolkan dengan rahim yang dianugerahkan kepadanya. Sehingga mereka memaknai kasih-sayang dengan cinta kasih semu yang menyesatkan. Mereka mengaku kasihan kepada anak-anak yang menurut persepsinya tak memperoleh kehidupan layak, kekayaan yang tak cukup. Hingga tega membunuh jiwa-jiwa mereka.

Untuk itu, wahai para ibu…
Allah SWT telah memuliakanmu, meninggikan derajatmu, dan menjadikan sosokmu sebagai simbol kasih sayang nan suci. Kasih sayang yang diilhami oleh nilai-nilai ketuhanan.

Kemuliaan yang dapat diraih hanya dengan menunaikan ketaatan pada-Nya. Menapaki mozaik-mozaik kehidupan dalam koridor yang diridhoi-Nya, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh suri teladan umat. Insya Allah…, kebahagiaan dunia akhirat kan menyertaimu.

(Berjuta kasih & bakti, untuk bundaku: Hj. Umi Rochmah)

itsar.blogspot.com