Sejenak Bersama Dhuafa

Senja menjelang, sang surya mulai tenggelam di ufuk barat. Deru sirene keberangkatan Kapal Motor Pelni ‘Rinjani’ memecahkan hiruk-pikuk kesibukan di Kota Ambon menjelang waktu berbuka puasa. Sirene itu seakan mengatakan selamat berpisah bagi para pengantar sanak keluarga yangberangkat meninggalkan pelabuhan. Saatnya para pengantar kembali ke rumah masing-masing mempersiapkan buka puasa bagi keluarga yang masih tinggal. Sementara, awak kapal juga mempersiapkan makanan buka puasa buat para penumpang di ‘kampung berjalan’ tersebut.

Tidak jauh dari pelabuhan, tampak lapak-lapak yang menjajakan kue di sepanjang jalan di seberang Masjid Raya Al-Fatah dan Masjid Jami’ Ambon. Lapak-lapak itu semarak dengan pengunjung yang membeli beberapa kue guna persiapan buka puasa. Suasana Ramadhan yang cukup hidup itu seharusnya mampu menggembirakan hatiku. Tetapi entah kenapa, tiba-tiba hatiku merasa sepi, ada sesuatu yang pergi seiring dengan deru sirene keberangkatan kapal yang menuju ke Tanjung Priok, Jakarta itu. Ya, hatiku merasa sepi karena merindui orang tua dan sanak saudara di kampung halaman. Baru kali inilah aku menjalani Ramadhan jauh dari mereka, di sebuah pulau kecil yang dulu hanya kukenal dari pelajaran sekolah lewat ketokohan Pahlawan Nasional Pattimura. Sebuah pulau yang masih terbelakang dari segi kapasitas sumber daya manusia sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia Timur pada umumnya.

Aku segera beranjak menuju Masjid Besar Al-Fatah untuk mengikuti acara berbuka puasa bersama. Tak lupa aku membeli minuman dan beberapa kue sebagai bekal. Saat memasuki pelataran masjid, seperti biasa, ada saja anak-anak yang menghampiriku meminta sandal untuk dia simpankan. Insiden kecil kadang terjadi di antara mereka karena berebut sandal yang kupakai. Yang berbadan besar bilang, saya adalah langganannya. Sementara yang berbadan kecil, merasa direbut haknya. Dialah yang melihatku lebih dahulu tetapi langkahnya kalah cepat dengan yang besar dalam menghampiriku. Aku hanya bisa menghibur, Insya Allah ada gilirannya lain kali. Suatu kebahagian bagi mereka, jika mampu ‘mengkoleksi’ sandal dari para jamaah yang datang. Dengan itu mereka bisa mengumpulkan rupiah demi rupiah, guna menyambung hidup di tengah keramaian kota.

Beberapa langkah sebelum menginjak tangga masjid, kulihat para dhuafa yang berjumlah cukup banyak, berbaris rapi di teras masjid yang luas membentang. Dalam satu teras terdapat empat barisan kaum dhuafa. Barisan pertama dan kedua (demikian juga barisan ketiga dan keempat) membentuk konfigurasi berhadapan, menghadapi kue yang akan segera dihidangkan.

Aku masuk pada barisan kaum dhuafa itu. Aku harus maklum dengan aroma tidak sedap di sekeliling mereka. Boleh jadi mereka tidak mampu membeli sampo dan sabun mandi untuk sekedar membersihkan rambut dan badan; atau deterjen untuk membersihkan pakaian. Dan boleh jadi pula pakaian lusuh yang dikenakannya sudah berhari-hari belum dicuci karena jumlahnya yang sangat terbatas. Dihadapan kami masing-masing, tersaji teh manis pada gelas plastik, tiga butir kurma dan sebuah pisang kecil. Itulah menu buka puasa mereka hari itu.

***

Aku bersyukur, rasa gundah yang menggelayuti jiwaku, sedikit demi sedikit bisa berkurang ketika kujumpai orang-orang lemah itu. Berbuka bersama dhuafa memberikan hikmah kepadaku bahwa hidup dengan selalu melihat ke ‘atas’, sering menjadikan kita lupa dengan kenikmatan yang ada pada diriku sendiri. Aku kadang memikirkan kondisiku yang merana terpenjara laksana di pembuangan. Ternyata mereka tidak sekedar memikirkan, tetapi mereka mengalami sendiri kondisi yang terbuang dari kehidupan masyarakat. Mereka tidak bisa hidup layaknya kita. Mengobrol, bercanda, berkomunikasi, berkreasi dan berkarya. Mereka diliputi kegundahan yang berkepanjangan. Kegundahan karena tiadanya tempat untuk berteduh, kegundahan tiadanya pakaian penghangat tubuh, kegundahan tiadanya kepastian makanan untuk menopang gerak, kegundahan tiadanya sanak keluarga yang mampu menghibur dan memperdulikan mereka, dan kegundahan karena berkurangnya harga diri dihadapan manusia. Seandainya ditanya tentu mereka tidak menghendaki demikian. Tetapi inilah potret ketidakberdayaan di tengah tindak kedholiman yang merajalela. ‘Ya Allah, alangkah sengsaranya mereka. Pesan apa yang hendak Engkau sampaikan kepada kami yang sedikit berdaya ini?’

Aku menangkap pesan, dengan kehadiran mereka, Allah menghendaki agar kita menjauhi sifat kikir, tamak, dan serakah atas harta. Allah menghendaki agar kita menyayangi dan memperhatikan mereka, karena bagaimanapun mereka adalah saudara kita yang apabila tubuh mereka sakit, kita juga ikut merasakannya. Andai mereka gundah, kita seharusnya juga merasakan kegundahan yang sama.

Andai mayoritas muslim sadar akan kewajiban membayar zakat dan pentingnya infaq, sadaqah, dan wakaf. Tentu kesenjangan sosial bisa diminimalisir. Andai pemerintah bisa mengoptimalkan dana pajak yang menjadi sumber utama pendapatan pembangunan, tentu mereka bisa sedikit terbebas dari belenggu kemiskinan dan mulai menapaki kehidupan yang mandiri. Dan andai pemerintah bisa menjaga kekayaan alamnya dari jarahan negeri asing dan mampu mengolahnya dengan baik, tentu tidak banyak kemiskinan di negeri ini. Jumlah mereka yang begitu banyak menunjukkan bahwa masih banyak hak-hak mereka yang tertahan oleh kita yang belum menunaikan kewajiban zakat, tertahan pihak-pihak yang mengambil hak mereka secara batil, dan tertahan karenabagian darikekayaan alam yangmenjadi hak mereka, yang kita abaikan.

Cobalah bayangkan, negeri denganhamparan kekayaan dan sumber daya alam, mayoritas penduduknya muslim yang memiliki ajaran melindungi kaum dhuafa, dan potensi pajaknya luar biasa, tetapi rakyatnya terbelenggu dalam kemiskinan. Suatu hal yang ironis dan betul-betul ironis. Adakah mungkin seekor ayam mati di lumbung padi karena kelaparan? Tentu bukan karena itu.

Berbuka puasa bersama dhuafa memberikan banyak hikmah. Setidaknya kita menyadari bahwa mereka adalah cermin perilaku kita. Aku yang yang tidak berdaya hanya mampu bertanya pada diriku sendiri, sudahkan aku menunaikan kewajiban tersebut? Seringkali kita tidak mengetahui sumber kegundahan jiwa lantas kita melampiaskan dalam bentuk tindakan yang justru membuat kegundahan itu tambah menjadi-jadi. Jika kita mau berkaca, kegundahan itu sebenarnya muncul karena ditangan kita masih tertahan hak-hak orang lain.

Allah berfirman, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS 9:103)"

Ada hikmah dari perkataan ‘Ambillah’ di atas. Allah memerintahkan amil zakat untuk mengambil zakat dari muzakki, artinya bahwa asas zakat adalah penegakkan hukum bukan kesadaran pribadi. Hal ini nampak jelas dari sikap Khalifah Abu Bakar r. A. Yang memerangi orang-orang yang tidak membayar zakat. Kenapa harus ada penegakkan hukum, karena justru penegakkan hukum itumenolong dan menyelamatkan muzakki dari kebinasaan, yaitu menahan harta yang bukan haknya yang mana bisa menjerumuskannya ke dalam api neraka.

Ramadhan adalah momentum terbaik untuk menunaikan zakat. Kita tegakkan hukum di dalam diri kita masing-masing untuk segera menunaikan zakat yang menjadi hak mereka. Dengan membayar zakat maka kita telah mengeluarkan unsur kebinasaan dari dalam diri. Makaketentraman pun akan kita peroleh sebagai dampaknya.

Waalahu’alam bishshawwab.