Selipkan Sebaris Doa untuk Palestina

Untukmu jiwa-jiwa kami. Untukmu darah kami
Untukmu jiwa dan darah kami. Wahai Al-Aqsha tercinta

Kami akan berjuang. Demi kebangkitan Islam
Kami rela berkorban. Demi Islam yang Mulia

Untukmu Palestina tercinta. Kami penuhi panggilanmu
Untukmu Al-Aqsha yang mulia. Kami kan terus bersamamu

Ya Rabbi izinkanlah kami. Berjihad di Palestina-Mu
Ya Allah masukkanlah kami. Tercatat sebagai syuhada-Mu

(Palestina Tercinta, Nasyid Shouhar)

***

Kadang terbetik sebuah pertanyaan, kenapa orang Islam, ketika menunaikan ibadah haji, menangis ketika berdoa di hadapan ka’bah Masjidil Haram atau di hadapan mimbar Masjid Nabawi? Saya kemudian berkesimpulan, karena mereka tidak sekedar melihat kab’ah atau mimbar itu sebagai benda mati. Mereka melihat rangkaian perjalanan panjang kehidupan yang menyertai keberadaan Baitullah dan Masjid Nabawi itu dan kisah-kisah panjang yang mempertemukan mereka.

Boleh jadi yang terbayang di pelupuk mata seorang yang berdoa menghadap ka’bah adalah keagungan Allah Swt yang bercampur dengan kerendahan dirinya dan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Betapa ia merasa menanggung dosa yang begitu tinggi, sedang dihadapannya adalah Allah yang Maha Dahsyat Siksanya sekaligus Maha Pengampun. Betapa ia mengadukan segala kegundahan yang meliputi hidupnya, sedang dihadapannya adalah Allah yang Maha Menyempitkan sekaligus Maha Meluaskan kehidupan. Betapa ia merasa hina, sedangkan dihadapannya adalah Allah yang Maha Menghinakan sekaligus Maha Memuliakan. Kebimbangan di antara khauf dan raja’, boleh jadi itulah yang mengahadirkan tangis dan derai air mata.

Demikian halnya ketika seorang menghadap mimbar Nabi di masjid Nabawi. Boleh yang jadi yang terbayang dipelupuk mata adalah Nabi Muhammad Saw dengan segala keagungan akhlaknya. Ia merasa lemah dalam menanggung beban kehidupan, sedang dihadapannya adalah ingatan akan Muhammad Saw yang juga menanggung beban demikian berat dalam menegakkan risalahnya, namun ia tetap sabar, tabah dan teguh dalam keimanannya. Beliau memberikan teladan terbaik dalam kehidupan manusia. Amat kasih terhadap kaum mukmin dan bersikap lembut terhadap orang-orang yang memusuhinya, sedang ia begitu jauh dari kemulian akhlak-akhlak Rasulullah Saw tersebut.

Demikian juga dengan Masjid Al-Aqsha, yang pernah menjadi kiblat pertama bagi kaum muslimin. Ia menjadi tempat tujuan Isra’ Nabi Saw, dan menjadi titik tolak Mi’raj beliau ke Sidratul Muntaha. Namanya diabadikan dengan jelas di dalam Al-Quran yang menjadi pedoman hidup ummat Islam hingga akhir zaman. Pengabadian namanya adalah legalitas dari Rabb pemilik langit dan bumi ini, dan yang maha memelihara makhluk-makhluk di dalamnya. Adalah suatu hal yang wajar, jika ummat Islam sedunia memprotes atas upaya Zionis Israel yang selalu berusaha meruntuhkan salah satu dari tiga masjid suci ummat Islam itu, untuk diganti dengan kuil yang diklaim dulunya sebagai tempat bekas kuil mereka berdiri sebelum dihancurkan oleh tentara Romawi. Padahal keberadaan kuil itu tidak didukung oleh bukti historis, hanya mengikuti persangkaan mereka (mitos)belaka.

Jelas-jelas bahwa dalam Masjidil Al-Aqsha adalah masjid yang diakui oleh Allah yang juga menurunkan kitab taurat kepada mereka, tetapi mereka tidak mau mendengarnya. Mereka tetap melakukan penggalian-penggalian di sekitar kompleks Masjid Al-Aqsha yang mengancam fondasi dan runtuhnya Masjid berkubah hijau/biru tua itu (bukan berkubah emas).

Masjid Al-Aqsha tidak hanya milik rakyat Palestina. Ia adalah milik ummat Islam seluruh dunia. Berjihad dengan harta dan jiwa untuk mengembalikan Palestina dari Zionis Israel dan membersihkan dari penjajah adalah wajib bagi seluruh muslim, baik dengan cara persuasif maupun politik. Namun pembebasan palestina bukanlah perkara mudah, karena menuntut ummat Islam bersatu dan dengan kekuatan akidahnya tidak membiarkan saudaranya terus dirundung malang.

Ingatan akan hal inilah yang kadang menjadikan seorang tidak kuasa menahan tangis ketika mendengar ceramah tentang Al-Aqsha. Ia ingat akan kesuciannya, kekejaman zionis untuk melenyapkannya, dan kelemahan ummat untuk membebaskannya. Tangisan itu adalah ekspresi bentuk ketidakberdayaan dan kelemahan manusia dihadapan Allah Swt.

***
Siang itu, di Jum’at pertama dari bulan Ramadhan, saya mendengarkan penuturan khotib tentang kondisi terakhir yang dialami Masjid Al-Aqsha dan saudara-saudara kita di Palestina. Sungguh menggetarkan dada. Rakyat Palestina yang ingin bermunajat di sana, tidak diperbolehkan masuk melainkan yang sudah berusia di atas 45 tahun. Itu pun dengan pengawalan ketat tentara Zionis Israel. Mereka yang tidak diperkenankan masuk, terutama pemuda berusia 30-45 tahun, tentu akan sedih bercampur geram. Bagaimana mungkin Masjid yang Allah telah berikan otoritasnya bagi kaum muslimin, justru mereka dilarang untuk memasukinya.

Allah berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS 2:217)

Baik Masjidilharam maupun Masjidil Aqsha, keduanya adalah masjid yang disucikan. Maka menembus barikade tentara Zionis yang menghalangi masuknya penduduk Palestina itu, bahkan jika dilakukan di bulan Ramadhan yang diharamkan berperang ini, diperkenankan oleh Allah. Hanya sayang, mereka tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan.

Khotib yang bertutur tentang kondisi Masjidil Aqsha itu, sungguh mampu mengingatkan kembali, khususnya pada diri ini, untuk tidak melupakan nasib Al-Aqsha yang terancam dan nasib saudara-saudara di Palestina yang selalu dirundung penderitaan. Tanpa melupakan kepedulian terhadap nasib penduduk negeri ini yang juga selalu dirundung duka, kepedulian terhadap mereka di Palestina adalah prioritas, meski secara lokal kita bisa melakukan upaya persuasif dan diplomasi politik. Di akhir khutbah, saya tidak kuasa membendung linangan air mata ketika sang khotib memanjatkan bait-bait doa untuk keselamatan Al-Aqsha dan mujahidin di sana.

Saya tidak cuma menangisi kemulian Al-Aqsha yang terinjak-injak, wanita dan anak-anak Palestina yang meradang, dan para pemuda yang terbunuh tanpa perlawanan. Saya juga menangisi diri ini yang kadang terlalu memikirkan diri sendiri dan keluarga, tanpa mau berpikir untuk saudara-saudara di belahan dunia sana yang dihimpit derita. Betapa diri ini selalu lupa untuk menyisihkan sebagian dana, sekecil apapun, untuk disumbang kepada mujahidin Palestina yang menjadi garda terdepan pembelaan terhadap Al-Aqsha. Betapa diri ini kadang mengeyampingkan masalah Al-Aqsha dengan alasan masih banyak carut-marut yang melanda negeri ini yang perlu diperhatikan. Padahal eksistensi dan nasib ummat Islam secara keseluruhan di muka bumi, ditentukan oleh perlawanan yang berlangsung di sana. Bukankah dengan bisa dihancurkannya Masjidil Aqsha, bisa juga dihancurkan masjid suci lainnya? Jika masjid suci yang mampu membangkitkan semangat juang kaum muslimin itu sudah dihancurkan, maka kaum muslimin menjadi laksana jasad tanpa ruh. Kapan saja bisa dibantai oleh musuh-musuh Islam.

Pada moment Ramadhan ini, di mana doa-doa orang yang berpuasa dikabulkan oleh Allah, saya mengajak kaum muslimin untuk menyelipkan doa pada setiap doa yang kita panjatkan. Baik ketika siang sedang berpuasa, ketika berbuka, ketika habis shalat fardhu, ketika bermunajat di sepertiga malam, atau kapanpun khususnya di bulan Ramadhan ini, untuk keselamatan penduduk dan mujahidin di Palestina. Cukup dengan sebaris doa: “Allahummanshur ikhwana al-mujahidiina fii Filistin (Ya Allah tolonglah saudarakamimujahidin di Palestina).”

Bagi saya yang imannya masih lemah ini, hanya sebaris doa itulah yang bisa saya persembahkan. Namun tidak tertutup kemungkinan, jika doa itu terpanjat oleh jutaan ummat Islam di seluruh dunia, dengan diiringi istighfar, hamdallah dan shalawat Nabi, Insya Allah, Allah berkenan memberikan pertolongan untuk keselamatan Al-Aqsha yang mulia. Waallahua’lam bishshawaab. ([email protected])