Senja di Tepi Barat

Menjalankan ibadah puasa nikmatnya tiada tara. Bacaan merdu ayat-ayat suci Alquran dilantunkan di segenap penjuru. Bulan suci Ramadhan bagai gemericik air tenang yang menyejukkan. Datangnya selalu dinanti, pulangnya selalu ditangisi. Subhanallah. Bertadarus Alquran dan memahami maknanya, shalat malam, berkumpul dengan orang shalih, berpuasa, dan berzikir di sepertiga malam adalah karunia terbesar. Selain menentramkan jiwa, lima hal tersebut bisa menjadi penawar rindu dengan Allah azza wa jalla sekaligus obat hati.

***

Sepulang kerja dini hari itu, saya mampir ke daerah Wonocolo, Surabaya. Di kawasan kampus IAIN Sunan Ampel tersebut, saya berniat membeli nasi bungkus untuk santap sahur. Jam menunjukkan pukul dua pagi saat itu. Pada saat bersamaan, di sebuah pertigaan kampung, di daerah Wonocolo, saya berpapasan dengan sekelompok bocah berumur sekitar 7-14 tahun.

Mereka berada tak jauh dari sebuah masjid besar di situ. Berselempang sarung dan alat-alat seperti botol, kaleng bekas, kentongan, dan ecrek-ecrek (alat musik dari tutup botol), mereka rupanya bersiap-siap untuk membangunkan warga sekitar agar segera bersantap sahur. Tak ada orang dewasa yang membimbing mereka. Saat saya tanya kepada salah seorang di antara mereka, saya mendapat jawaban bahwa hal itu adalah inisiatif mereka sendiri. Dia menerangkan bahwa hal tersebut biasa mereka lakukan tiap memasuki Ramadhan.

Alhamdulillah, anak-anak itu telah melakukan hal terpuji tanpa dikomando. Suara anak-anak yang kompak meneriakkan, ”Sahur.. Sahur..” lazim terjadi di beberapa daerah. Suasana Ramadhan di kampung memang begitu dirindukan setiap orang yang tinggal di kota. Yang membahagiakan, saat azan magrib menyapa, menyantap hidangan berbuka nikmatnya seakan tak bisa terlukis dengan kata-kata. Saya begitu terharu ketika menatap anak-anak yatim berbuka bersama di sebuah panti asuhan di Surabaya. Wajah-wajah mereka begitu ceria.

Doa berbuka diucapkan, kemudian mereka meneguk air kolak di meja. Setelah mengucapkan hamdallah, mereka secara teratur melakukan shalat berjamaah lebih dulu sebelum menyantap hidangan. Tak sengaja, mata saya basah, yang saya sembunyikan ketika berwudu setelah melihat pemandangan itu.

***

Hati saya ikut gerimis menyaksikan suasana Ramadhan di Palestina. Ketika mentari tenggelam yang siap disambut dengan bahagia, peluru tentara Israel membuyarkan keceriaan anak-anak di perbukitan Burqein, kawasan utara Tepi Barat. Senapan dari tank Merkava menembak membabi buta. Salah satunya mengenai Ratib, bocah lelaki berumur sepuluh tahun. Ketika azan magrib tinggal beberapa menit, Ratib wafat dengan luka menganga di kepalanya. Timah panas menghancurkan kepala yang mencecerkan otaknya. Dia tak sempat berbuka. Innalillahi wa innailaihi rajiuun.

Invasi dan kekejaman tentara Israel sering merampas keceriaan dan kesyahduan warga dan anak-anak Palestina ketika menyambut bulan penuh berkah ini. Seorang wartawan perang melaporkan, setiap hari selalu ada warga Palestina yang meninggal. Seorang ibu tewas di rumahnya saat meninabobokan bayinya atau menyiapkan hidangan buka puasa. Anak-anak tewas di kamar tidur saat bermain di halaman, pergi ke sekolah, atau ketika belajar di ruang kelas. Lelaki dewasa mati saat berbelanja atau dalam perjalanan ke masjid. Mereka diterjang peluru panas yang dimuntahkan tentara Israel tanpa alasan jelas.

Di wilayah Tepi Barat dan jalur Gaza suasana tampak sangat mengenaskan saat Ramadhan tiba. Sejak konfrontasi memuncak beberapa tahun silam, warga Palestina tidak bisa menikmati Ramadhan seperti tahun-tahun sebelumnya. Banyak keluarga mati syahid. Perjuangan intifada tiada henti diserukan oleh anak-anak kecil dan remaja Palestina.

Mereka berpuasa di bawah serangan mendadak Israel yang ngawur. Mereka berpuasa seakan yang terakhir. Sebab, mereka sadar bahwa ajal bisa menjemput nyawa mereka kapan saja saat tentara zionis memberondong warga sipil tak berdosa tersebut. Subhanallah.

***

Syahdu suara orang membaca Alquran di masjid masih terdengar. Ibu penjual nasi untuk bersantap sahur menegur dan membuyarkan lamunan saya. Saya merogoh selembar uang sepuluh ribuan kepadanya. Di atas motor, saya menatap anak-anak di kampung Wonocolo itu. Sebungkus nasi dan teh hangat siap saya bawa pulang.

Wajah-wajah mereka tampak ceria. Semangat membangunkan orang untuk segera sahur. Terlintas pula wajah-wajah anak-anak muslim di Tepi Barat. Mereka tak tahu apa-apa tentang perang. Keceriaan mereka saat menyambut azan magrib bisa hilang karena muntahan mortir dan peluru jahanam tentara Israel. Mata ini kembali basah saat perjalanan pulang di atas motor. Mereka, anak-anak Palestina, juga saudara-saudara kita.

Hanya doa yang bisa saya panjatkan kepada mereka. Semoga Allah senantiasa menjaga keceriaan mereka seperti halnya kebahagiaan kami menyambut bulan suci ini. Wallahu ‘alam bishshawab. Laa ilaaha illa Anta, subhanaka inni kuntumminadzdzalimiin… [email protected]