Sepeda Mini

Pelan-pelan…sepeda mini saya kayuh, memasuki gerbang kampus tempat saya bekerja. Ada perasaan gentar, gamang, ragu dan apa sejenisnya, padahal sudah hampir lima tahun ini saya mengendarainya. Agak malu, boleh dibilang begitu. Di antararatusan kendaraan yang berjajar di parkiran kampus, tak satu pun yang sejenis dengan kendaraan pribadi saya. Hanya satu kendaraan bermesin kaki, dan itu adalah milik saya. Sementara lainnya motor bagus-bagus.

Memang pernah juga rekan kerja saya menyarankan untuk mengganti dengan motor. Toh itu tidak sulit bagi saya karena ada fasilitas kredit bagi dosen dan karyawan yang ingin membeli motor…".namun hal itu rasanya tak mungkin untuk saat ini, " sahut saya waktu itu.

Sepeda itu sangat setia menemani saya. Berangkat ngantor dan pulang ke kontrakan yang jaraknya tak terlalu jauh, namun cukup menyita waktu jika harus berjalan kaki. Aneh… Mungkin begitu terlintas di benak orang-orang yang melihat. Di zaman begini, seorang dosen bersepeda onthel pergi ke kampus sementara para mahasiswanya dengan gagah mengendara motor bermerek. Saya sendiri tak pernah membayangkan apa yang dipikirkan orang-orang dan mahasiswa terhadap saya. Yang saya pikirkan justru sepeda itu sangat berjasa. Keberadaannya telah menghemat waktu sekitartiga puluh menit dalam sehari. Dengannya, perjalanan yang harusnya saya tempuh 50 menit selama bekerja, menjadi dua puluh menit. Jika sebulan berarti sepeda itu telah menghemat waktu saya 15 jam. Lumayan, bukan?

Padahal sepeda itu tak menuntutuntuk menuntut merogohkocek lebih banyakdengan menggilanya harga BBM, karena memang tak membutuhkan bensin. Hanya butuh 2000 rupiah untuk menambal bannya yang bocor sesekali atau harus mengganti ban. Cukup murah kan?

Intinya saya sangat bersyukur dengan kehadirannya. Namun itu dulu. Duluuu.ketika ‘materi’dan budaya’materialis’ belum menyelisik dalam hati. Ketika saya tegar berdiri jadi seorang abid Tuhan. Hanya tuhan Alloh, Raja dalam hati saya. Hanya Dia yagn saya pentingkan dalam hidup saya. Perintah-perintah-Nya yang utam saya perjuangkan. Dan, ketika saya masih dekat dengan teman-teman yang ‘kuat’ dan selalu menguatkan.

Sekarang… Berbeda sekali. Berbeda jauh, jauuuh sekali. Detik ini saya tak setegar dahulu. Badan pun tak setegap masa itu, manakala memasuki gerbang kampus biru itu. Kayuhan kaki juga tak sekuat masa itu, saattak pernah malu-malu mengendarainya. Semuanya telah tergerus oleh waktu, seiring dengan makin jauhnya jarak dengan Sang Raja.

***Robbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’dait hadaitanaa….. ****