Sepotong Surat untuk Pembunuh Ayah Saya

Assalamualaikum….
Pak, masih ingatkah Bapak pada seseorang bernama ‘Mulchias’?
Dia, lelaki yang memunyai seorang isteri dan tiga orang anak laki-laki. Dia, lelaki yang pernah punya usaha cukup sukses di daerah Pulo Gadung, Jakarta Timur. Dia, lelaki yang masih terhitung paman Bapak sendiri. Dia, lelaki yang telah membantu Bapak mengatasi masalah keuangan. Dia, lelaki yang Bapak berhasil bunuh dua dekade silam….

Saya percaya: Bapak masih ingat semuanya dengan baik. Asal-usul, peristiwa, dan ganjaran yang Bapak terima dari pengadilan. Tujuh tahun, ibu saya menuturkan. Dalam penjara, mendekam di balik jeruji. Atas penghilangan satu nyawa manusia, saya kira, hukuman yang Bapak terima terlalu ringan. Mungkin itu lantaran Bapak membunuh tanpa direncanakan. Ibu memberitahu kalau ayah saya terbunuh dalam sebuah perkelahian dengan Bapak. Perkelahian yang hitam, kelam, dan membawa ke luarga saya masuk ke dalam koran. Kami sempat terkenal, tapi untuk sesuatu yang tidak kami inginkan sama sekali.

Sebenarnya saya ingin bertanya, kok Bapak tega membunuh ayah saya? Memangnya beliau salah apa? Memangnya beliau punya dosa apa pada Bapak? Memangnya ibu, dua kakak, dan saya punya salah apa pada Bapak?

Bapak tidak pernah menjawab. Pun saya tidak pernah tahu seperti apa wajah Bapak; wajah orang yang membuat saya kehilangan sosok ayah dalam ke luarga. Membuat kakak-kakak saya kehilangan sosok bapak untuk dewasa. Membuat ibu saya janda di usia yang (relatif) muda.
Dan, parahnya lagi, nestapa itu belum semuanya terurai. Apa Bapak tahu kalau keadaan ke luarga saya—perlahan-lahan—harus terjungkir setelah kepergian ayah saya? Jungkir balik karena ibu saya harus mengatasi dan menggantikan semua tugas kepala ke luarga—itupun dengan catatan: beliau tidak pernah meninggalkan posnya sebagai seorang ibu.

Dua fungsi, satu raga. Pontang-panting cari nafkah, mengurusi sekolah…, sangat lelah. Ibu saya sangat lelah, Bapak. Sewaktu Bapak membunuh ayah saya, tiga anaknya masih kecil-kecil; yang paling tua baru berumur 9 tahun, nomor dua 7 tahun, sedang saya di usia 2 tahun. Siapa di antara kami yang dapat meringankan tugas beliau? Apakah Bapak pernah memikirkan semua itu? Apakah Bapak pernah merasakan semua itu, semua akibat yang ditimbulkan oleh dosa Bapak? Dosa membunuh seorang muslim tanpa hak atau syarat yang dibenarkan agama.

Saya dengar Bapak kini tinggal di Padang. Berdagang. Saya tidak tahu pasti kapan, tapi yang pasti Bapak sudah menghirup udara kebebasan selama belasan tahun. Bagaimana rasanya, Pak? Bagaimana rasanya setelah ke luar dari hotel prodeo? Legakah? Atau sesakkah?
Ibu saya bercerita kalau sebenarnya Bapak pernah ke Jakarta, dan ingin bertemu ke luarga kami—entah untuk apa. Tapi, kenapa tidak jadi, Pak? Apakah karena malu atau memang Bapak belum punya cukup mental menghadapi seorang wanita dan tiga orang anak yatim? Apa Bapak takut ada cukup dendam di hati kami untuk melumatkan Bapak dari muka bumi?
“Sa, kalau Asa ketemu orang yang membunuh Papa, Asa dendam nggak?”

Suatu pagi, tanpa pernah saya duga, ibu saya melontarkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang aneh, pertanyaan yang membuat saya ‘kaget’. Ya, apakah saya punya dendam untuk Bapak? Apakah saya masih menyisakan hati untuk marah dan mengutuk Bapak seumur hidup?

Pak, asal Bapak tahu: saya punya cukup alasan untuk menuntut Bapak di dunia dan akhirat. Tidak hanya saya, tapi juga seluruh personil ke luarga. Hutang uang, bayar uang. Hutang nyawa, balas nyawa. Menyeramkan, bukan? Itu resiko yang Bapak ciptakan sendiri di masa lalu. Itulah resiko yang, mau tidak mau, harus Bapak telan bulat-bulat.

Namun, Pak… harus saya katakan: Bapak beruntung. Kami, anak-anak dari lelaki yang Bapak bunuh, tidak pernah diajarkan menyimpan dendam. Bersyukurlah Bapak membunuh lelaki beristri pemaaf. Selama bertahun-tahun kami tumbuh dan hidup, tidak pernah sekali pun ibu saya mengobarkan api pembalasan pada jiwa anak-anaknya. Kami tidak pernah melihat dan mendengar beliau menyebut-nyebut nama Bapak dengan mata menyalang serta emosi yang meluap-luap. Kami tidak pernah dibentuk jadi prajurit pengemban murka; yang terjadi justru sebaliknya. Ibu saya sudah memaafkan Bapak, dan begitu pula yang diharapkan beliau pada anak-anaknya. Saya sendiri tidak paham: dari apa Allah menjadikan hati ibu saya. Mungkin dari tanah, mungkin juga dari cahaya. Bagi saya: wanita yang mampu memaafkan pembunuh

Suami tercintanya adalah wanita yang luar biasa. Tidak ada sebutan yang cocok selain itu.
Saya tidak tahu dengan dua saudara saya, tapi saya pribadi tidak ingin mengecewakan ibu saya. Karenanya, saya tidak akan menyemai dendam pada Bapak. Semoga itu cukup meringankan dosa Bapak di hadapan Allah kelak.

Saya sadar: Bapak manusia biasa, yang bisa salah dan lupa. Yang bisa dosa, dan neraka. Satu hal yang saya harapkan dari Bapak adalah pertaubatan. Jangan hanya menyesal di depan jamaah manusia, tapi juga pada Yang Maha Esa. Dia lebih pantas Bapak takuti hukumannya. Dia lebih layak Bapak cemasi pembalasan-Nya. Sudahkah Bapak mohon ampun? Sudahkan Bapak menangisi semua kejahatan yang Bapak pahat di kitab amal?

Terakhir, saya sempat mendengar bagaimana reaksi Bapak jika salah satu ke luarga dari ayah saya menemui Bapak. Bapak selalu menunduk, menghindar dari tatapan mata. Saya makin yakin: Bapak sudah menyesal. Bapak masih menyesal. Dan, Bapak terus menerus menyesal. Bersyukurlah untuk itu, Pak. Kenapa? Karena tidak semua orang bisa menyesali kesalahannya. Ada di antara mereka yang malah berbangga hati atas kejahatan yang dilakukannya. Allah benci orang seperti itu. Allah murka pada hati orang-orang seperti itu. Hati yang menandakan betapa gelap dan sesat pemiliknya. Tidak ada celah untuk cahaya kebenaran masuk. Pengap, tanpa udara, dan jauh dari rahmat-Nya.

Tapi, hati Bapak tidak begitu. Saya tahu dan saya ingin sekali percaya hal itu. Saya doakan Bapak jadi orang salih di sisa umur Bapak. Dekat dengan kebajikan, jauh dari keburukan. Mencegah kejahatan, manfaat bagi orang lain—sebagai ganti amal buruk di masa lalu.

Ketahuilah, Pak: amal-amal baik itu membakar amal-amal buruk seperti api memakan daun-daun kering. Untuk itu, akan selalu ada harapan. Akan selalu ada kesempatan. Jangan Bapak pikir Bapak tidak bisa jadi orang baik-baik. Bapak bisa dan pasti bisa.
Semoga Allah memberi jalan terbaik bagi kita semua.
Wassalam….